Jerat Model Pakaian Ketat

Jerat Model Pakaian Ketat di Kaltim, Aktivis Perempuan Desak Kampus dan Keluarga jadi Ruang Aman

Gelombang kasus penipuan berkedok tawaran model yang menyasar mahasiswi di Kalimantan Timur membuka sisi kelam eksploitasi digital

Penulis: Sintya Alfatika Sari | Editor: Budi Susilo
HO/Disya Halid
SKANDAL FOTO MODEL - Eksploitasi digital yang menyasar mahasiswi di Kalimantan Timur bukan hanya soal penipuan ekonomi, tetapi cerminan dari budaya patriarki dan penyalahgunaan kekuasaan di ruang maya. Aktivis perempuan Disya Halid menegaskan bahwa penyebab utama bukan cara berpakaian korban, melainkan niat jahat pelaku, serta menuntut adanya dukungan sistemik dan literasi digital yang berpihak pada perempuan. (HO/Disya Halid)  

Ringkasan Berita:
  • Korban umumnya mengalami trauma dan kecemasan berkepanjangan;
  • Pola serangan pelaku merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender online, yang tidak sekadar memanipulasi;
  • Dalam banyak kasus kekerasan berbasis gender online, perempuan sering kali justru disudutkan.

 

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA — Gelombang kasus penipuan berkedok tawaran model yang menyasar mahasiswi di Kalimantan Timur membuka sisi kelam eksploitasi digital terhadap perempuan muda.

Modus ini tidak hanya meninggalkan luka ekonomi, tetapi juga trauma psikologis mendalam yang berujung pada hilangnya rasa aman di ruang digital.

Aktivis perempuan sekaligus Koordinator Paralegal Perempuan Mahardhika Samarinda, Disya Halid, menegaskan bahwa pola serangan pelaku merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender online, yang tidak sekadar memanipulasi, tetapi juga menghancurkan rasa percaya diri korban terhadap ruang sosialnya.

“Dampak psikologis yang biasanya dialami korban eksploitasi digital seperti ini lebih ke trust issues, bahkan paranoid terhadap media sosial. Yang seharusnya jadi ruang kebebasan malah jadi ruang ketakutan karena khawatir foto-foto mereka disebar tanpa persetujuan,” ujar Disya pada TribunKaltim.co, Rabu (12/11/2025) di Samarinda.

Ia menjelaskan, korban umumnya mengalami trauma dan kecemasan berkepanjangan, bahkan cenderung menghindari gawai pribadi karena ingatan akan kejadian yang menimpanya.

Baca juga: Lowongan Kerja Bermodus Foto Sensual Berhijab Resahkan Mahasiswi Samarinda, TRC PPA Kaltim Kawal

Menurutnya, kondisi ini menunjukkan betapa eksploitasi digital telah menjadi bentuk kekerasan yang nyata, meski berlangsung di ruang maya.

Disya menilai, pelaku eksploitasi digital kerap menargetkan perempuan muda dan mahasiswi karena dianggap berada pada posisi rentan baik secara ekonomi maupun sosial.

Ia menyebut modus seperti ini tidak berdiri sendiri, melainkan terstruktur dengan pola manipulasi emosional yang halus.

“Banyak mahasiswi berasal dari luar daerah, hidup ngekos, dan ekonominya pas-pasan. Jadi ketika ada tawaran ekonomi yang terlihat menguntungkan, mereka tergiur. Pelaku tahu betul celah ini dan memanipulasinya dengan manis,” jelasnya.

Disya menyoroti persoalan yang lebih dalam mengenai stigma sosial dan budaya menyalahkan korban.

Dalam banyak kasus kekerasan berbasis gender online, perempuan sering kali justru disudutkan oleh masyarakat.

Baca juga: Jebakan Modeling Berbayar Mahal, Puluhan Mahasiswi di Kaltim Diduga jadi Korban Eksploitasi Foto

“Korban sering merasa bersalah karena adanya stigma. Masyarakat kita masih menyalahkan korban, dengan komentar seperti ‘siapa suruh mau’. Judgement netizen seperti ini membuat korban semakin merasa bersalah, padahal tidak sesederhana itu,” tegasnya.

Menurut Disya, pola pikir semacam ini memperparah luka psikologis korban, karena mereka kehilangan ruang aman bahkan setelah kejadian.

Sebagai paralegal, Disya mendorong korban untuk berani melapor dan menempuh jalur hukum berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved