Awalnya Pusing Tujuh Keliling, Kini Sigit Sigalayan Bersyukur Ada BPJS Kesehatan, Kenapa?
Anaknya menderita hemofilia sejak lahir. Setiap pekan, selama hidupnya, harus disuntik konsentrat antihemofilia faktor. Biayanya Rp 36 juta/bulan.
TRIBUNKALTIM.CO, TRIBUN - Kehadiran BPJS Kesehatan terbukti membantu jutaan keluarga pasien. Satu diantaranya adalah Sigit Sigalayan di Samarinda. Ia tak mengeluarkan uang serupiah pun untuk membiayai pengobatan anak keduanya, Satria Dananjaya Sigalayan, hingga puluhan juta rupiah per bulan. Satria menderita hemofilia sejak lahir.
Tak sanggup Sigit membayangkan beratnya kesulitan yang akan ia alami jika BJPS Kesehatan tidak ada. Sebagai penderita hemofilia, anaknya harus rutin mendapat suntikan konsentrat faktor VIII atau cryoprecipitate. Dalam sepekan diperlukan tiga vial. Satu vial Rp 3 juta. Satu bulan Rp 36 juta. Lain bila terjadi pendarahan, kebutuhannya tentu akan lebih besar lagi.
"Bayangkan, Rp 36 juta per bulan. Itu harga dulu saat satu vial masih Rp 3 juta. Sekarang mungkin sudah naik. Karena itu saya bersyukur sekali ada BPJS Kesehatan yang memungkinkan kepesertaan mandiri dan mengkaver semua penyakit, termasuk penyakit khusus yang dialami anak saya" ungkap Sigit kepada Tribunkaltim.co di Lotus Garden Kafe, Jl AW Syahranie Samarinda, Minggu (19/12/2015).
Baca: Tahun 2016, Premi BPJS Kesehatan Naik Ro 10 Ribu
Kepala SMK TI Airlangga Samarinda ini menuturkan, ia dan istrinya, Dwinita Aquastini, baru mengetahui kelainan itu saat Satria berusia delapan bulan. Sedang lucu dan lagi belajar merangkak seperti bayi kebanyakan. Istrinya menyadari kalau di lengan dan tungkai Satria seringkali timbul lebam-lebam.
Hasil pemeriksaan laboratorium, dokter menyatakan kadar pembekuan darah Satria sangat rendah, di bawah 1 persen. Dokter memvonis Satria sebagai bayi dengan Hemofilia A berat. Sungguh kaget keduanya.
Hemofilia adalah kelainan genetik pada darah akibat kekurangan faktor pembekuan darah. Ia menyadari bahayanya penyakit ini. Bila terjadi luka sedikit saja, maka luka akan sulit mengering. Darah akan terus membanjir hingga satu-dua pekan. Ada faktor VIII, IX, X, XI dan XII. Pada Satria, faktor VIII (FVIII) yang hilang.
Sejak itu Satria harus mendapat terapi suntikan antihemofilia faktor (AHF). Kebutuhannya minimal 12 vial per bulan. Jika tidak, akan timbul pembengkakan diikuti rasa nyeri luar biasa, bahkan bisa berakibat fatal seperti cacat permanen.
Sigit masih merasa beruntung karena istrinya seorang pegawai negeri sipil, sehingga seluruh biaya pengobatan saat itu ditanggung sepenuhnya oleh Askes (sebelum menjadi BPJS Kesehatan). Ia dapat merasakan beratnya beban keluarga ratusan penderita hemofilia lainnya, yang bukan peserta Askes.
Kecemasan mulai muncul saat Satria semakin besar dan kuliah. Ketentuan Askes, anak ditanggung hanya sampai usia 21 atau 25 tahun jika kuliah. Lalu bagaimana selepas usia itu? Tidak ada asuransi kesehatan lainnya yang mau mengkaver pengobatan penyakit khusus hingga selama itu.
"Saya benar-benar pusing memikirkan itu. Bingung bagaimana membiayai kelanjutan paska-Askes. Itu angka yang sangat besar. Terpikir oleh saya ketika itu untuk membeli tanah demi tanah saja agar kelak bisa kami jual untuk biaya pengobatan nanti," jelasnya.
Di luar dugaannya ternyata pemerintah membentuk program BPJS Kesehatan per 1 Janauari 2014, yang memungkinkan kepesertaan mandiri. Maka, kini ia tidak lagi pusing memikirkan biaya besar yang diperlukan anaknya.
Ringannya iuran juga memungkinkan semua penduduk bisa jadi peserta. Hanya dengan iuran Rp 59.900 (kelas 1) per bulan, Satria akan tetap mendapat jaminan pengobatan selama hidupnya. Satria sendiri yang kini kuliah di Fakultas Kedokteran Unmul telah menjadi pemuda tampan dan gagah.
"Karena itu saya tidak habis mengerti kalau masih ada yang tidak mau membayar iuran. Saya sendiri kalau bisa memilih, sakit atau bayar iuran, tentu akan lebih memilih bayar iuran saja ketimbang sakit. Kalau kita sehat terus, ya alhamdulilah. Anggap saja sebagai sedekah," jelas Sigit.
Baca: Industri Batu Bara Bangkrut, 587.993 Peserta BPJS Kesehatan Tunggak Premi