Kisah Pilu Transmigran dari Jawa yang Dianggap Perambah Hutan, Padahal. . .
Puluhan tahun lalu, Sutrimo yang merupakan transmigran dari Pulau Jawa itu mengolah lahan yang pada mulanya memang disediakan negara untuk dirinya.
TRIBUNKALTIM.CO, BENGKULU - Sutrimo (57), petani kopi yang juga menjabat ketua Basis Serikat Petani Indonesia (SPI) di Desa Bandung Baru, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, memiliki cerita kelam selama menjadi petani kopi.
Puluhan tahun lalu, Sutrimo yang merupakan transmigran dari Pulau Jawa itu mengolah lahan yang pada mulanya memang disediakan negara untuk dirinya di Bengkulu.
Namun, belakangan, ia dan rekannya sesama transmigran, dianggap sebagai perambah hutan.
Sutrimo mengisahkan, pada 1950, ia bersama ratusan transmigran lainnya dari Pulau Jawa ditempatkan di kawasan Bukit Kaba, Kabupaten Rejang Lebong, untuk kemudian berladang kopi.
Namun, karena beberapa hal, ia dan puluhan transmigran lainnya kembali ke Pulau Jawa.
Beberapa tahun kemudian, mereka kembali ke Rejang Lebong. Mereka berupaya membuka kembali kawasan hutam yang sempat mereka tinggalkan.
Baca: Polisi Telusuri Pelaku Perambah Hutan Bangkirai
Namun, ketika membuka kembali hutan tersebut, Sutrimo dan para transmigran lainnya dianggap sebagai perambah hutan karena lahan mereka sudah ditetapkan sebagai hutan lindung.
"Saat ini kalau dikatakan kawasan itu adalah kawasan taman wisata alam (TWA) mungkin kami tidak masuk karena kami mulai transmigrasi itu tahun 1950 dan kami sudah mengolah tanah itu karena pada waktu itu ada permasalahan kami pindah sementara sehingga lokasi itu kami tinggal dan saat kami kembali lokasi itu sudah ditetapkan sebagai TWA sekarang namanya TWA Bukit Kaba," kata Sumitro.
Sejak saat itu, ia dan rekannya merasa diintimidasi penegak hukum. Sumitro mengatakan bahwa pohon kopi mereka ditebangi, pondok-pondok mereka dibakar, dan mereka dicap sebagai perambah hutan.
"Kami dikeluarkan dan kami dikalungi tulisan 'Perambah Hutan' dan difoto dengan merek perambah hutan lindung kemudian yang mau difoto itu diberikan uang sebesar Rp 160.000," kenang Sumitro.
Setelah ia diperlakukan seperti itu, pada 1999, perusahaan besar masuk ke kawasan hutan lindung, yang saat ini menjadi TWA Bukit Kaba tersebut.
Baca: Perambahan Taman Nasional Kutai Rugikan Negara Rp 600 Juta
Pemerintah setempat kemudian memberikan izin melakukan operasi produksi ke sebuah perusahaan perkebunan.
Perusahaan itu masuk ke kawasan tersebut dan membuka lahan seluas 3.000 hektare. Menurut Sumitro, perusahaan tersebut kemudian membabat habis hutan untuk diambil kayunya.