Komandan Militan Irak Dukung Lebanon Serang Israel Menyusul Pengakuan AS atas Kota Yerusalem

Qais berseragam militer ketika meninjau perbatasan dengan Israel bersama anggota kelompok militan Hizbullah Lebanon

Pemimpin pasukan khusus Irak, Ahl Al-Haq, Qais Al-Khazali - Haidar Mohammed Ali / AFP 

TRIBUNKALTIM.CO, BAGHDAD - Seorang komandan militan Irak yang kuat dan didukung Iran telah berkunjung ke perbatasan Lebanon-Israel dan mengutarakan dukungan pada Lebanon dan Palestina melawan negara Yahudi itu.

Qais al-Khazali, pemimpin kelompok militan Asaib Ahl al-Haq, atau Liga Kaum yang Benar, sebuah kelompok yang melancarkan serangan besar terhadap pasukan Amerika sebelum penarikan mereka dari Irak tahun 2011, tampak berseragam militer dalam video ketika meninjau perbatasan dengan Israel bersama anggota kelompok militan Hizbullah Lebanon.

Qais al-Khazali, pemimpin kelompok militan Asaib Ahl al-Haq berbicara kepada pengikutnya dalam parade di Karbala, Irak - REUTERS/VOA
Qais al-Khazali, pemimpin kelompok militan Asaib Ahl al-Haq berbicara kepada pengikutnya dalam parade di Karbala, Irak - REUTERS

Kunjungan tersebut dikecam oleh Perdana Menteri Saad Hariri yang mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kunjungan itu melanggar hukum Lebanon, serta menambahkan bahwa hal itu terjadi 6 hari yang lalu. Hariri memerintahkan agar al-Khazali dilarang memasuki Lebanon lagi.

Video kunjungan al-Khazali itu ditayangkan oleh stasiun televisi "al-Ahd" milik kelompok Asaib Ahl al-Haq pada Kamis (7/12/2017) seperti dikutip VOAIndonesia.

Sementara itu seorang pejabat tinggi telah mengukuhkan bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak akan bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Mike Pence di Tepi Barat bulan ini, karena pengakuan Amerika pada Yerusalem yang disengketakan sebagai ibu kota Israel.

Keputusan Presiden Donald Trump baru-baru ini adalah peralihan dari kebijakan Amerika yang sudah lama. Israel mengatakan pihaknya tidak akan menyerahkan bagian apapun kota itu, sementara Palestina menghendaki sektor timur yang dianeksasi Israel sebagai ibu kota mereka di masa depan.

Menurut konsensus internasional, nasib kota itu akan ditentukan dalam perundingan.

Penasihat diplomatik Abbas, Majdi Khaldi, mengatakan hari Sabtu (9/12) bahwa Abbas tidak mau bertemu dengan Pence “karena Amerika telah melanggar garis merah” mengenai Yerusalem.

Abbas sebelumnya memandang hubungan yang erat dengan Washington penting secara strategi, karena peran Amerika sebagai penengah Timur Tengah. Penolakan pertemuan dengan Pence itu menandakan memburuknya hubungan dengan tajam.

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, menuai kecaman dari seluruh dunia.

Korea Utara ( Korut), yang notabene merupakan musuh AS, tidak ketinggalan mengecam langkah politik presiden 71 tahun itu.

Melalui kantor beritanya KCNA, seperti dilansir AFP, Sabtu (9/12/2017), Pyongyang menyatakan tidak terkejut dengan aksi Trump yang mereka sebut sebagai dotard atau "orang tua yang punya penyakit mental".

"Orang tua berpenyakit mental ini sudah sering menyerukan kehancuran di negara anggota PBB yang berdaulat," sindir KCNA.

Kim Jong Un (kiri) dan Donald Trump (kanan).
Kim Jong Un (kiri) dan Donald Trump (kanan) - KCNA/Reuters dan AFP Photo/Frederic J Brown

Korut melanjutkan, pengakuan ini telah menunjukkan siapa sesungguhnya yang bisa dianggap sebagai penghancur kedamaian dan keamanan dunia.

Pyongyang menegaskan dukungannnya bahwa Yerusalem bukanlah milik Israel, dan mereka bersama rakyat Palestina yang tengah memperjuangkan legitimasi negara mereka.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved