Kisah di Balik Pemulihan Pascabencana Gempa Sulteng, Saling Berbagi Makanan hingga Dilarang Bekerja

Sebagian warga setempat melarang para pekerja membersihkan puing-puing. Alasannya, mereka hendak memanfaatkan kembali sisa-sisa reruntuhan.

Editor: Doan Pardede
(Dok. Humas Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR)
Situasi pascabencana gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami di Kota Palu, Sulawesi Tengah, akhir September 2018 

Kisah di Balik Pemulihan Pascabencana Gempa Sulteng, Saling Berbagi Makanan hingga Dilarang Bekerja

TRIBUNKALTIM.CO - Penanganan pascabencana tak cuma soal evakuasi korban bencana yang selalu menjadi tayangan utama di media massa. Orang lupa, ada hal sangat penting yang secepatnya harus dilakukan, yakni pemulihan sarana dan prasarana infrastruktur agar penanganan bencana itu sendiri bisa berjalan lancar sampai akhir.

Satu contoh paling nyata adalah penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah. Gempa berkekuatan magnitudo 7,4 yang diikuti tsunami menghancurkan Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018).

Bencana itu pun memakan ratusan korban jiwa dan ribuan orang terluka.

Bangunan yang terdiri dari fasilitas umum dan sosial, bangunan komersial, rumah penduduk, dan infrastruktur banyak yang rusak berat.

Tak cuma manusia yang mendapat pertolongan, rusaknya kondisi infrastruktur pun menjadi perhatian pemerintah pusat dalam pemulihan pascabencana gempa bumi, likufaksi, dan tsunami yang melanda Sulteng pada akhir September 2018 lalu itu.

Kompas.com pada akhir September lalu melansir, Kepala Stasiun Geofisika Kota Palu Cahyo Nugroho mengatakan, tsunami menyebabkan sebuah kapal melintang di tengah jalan yang berlokasi di Kecamatan Mamboro, Kota Palu.

Jalan raya rusak seperti terbelah atau aspalnya terangkat. Bangunan rusak berat bahkan rata tanah di wilayah sepanjang pantai di Teluk Palu.

Gelombang tsunami menghancurkan perumahan di sekitar Teluk Palu. Amblesan dan pengangkatan permukiman juga terjadi di Balaroa.

Tak cuma itu, likuefaksi menenggelamkan permukiman di Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya. Sejumlah jembatan yang menjadi akses masyarakat pun rusak berat.

Penyelesaian tahap akhir pemulihan jalan longsor di jalan nasional Palu-Toli-toli (pantai barat)
Penyelesaian tahap akhir pemulihan jalan longsor di jalan nasional Palu-Toli-toli (pantai barat) ((Dok. Humas Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR))

Sebagai sarana pendukung mobilitas masyarakat dan akses logistik bantuan bencana, fasilitas umum seperti jalan dan jembatan menjadi prioritas utama untuk dipulihkan.

Namun, dalam kondisi serba sulit itu, banyak kendala dihadapi para pekerja untuk menangani kerusakan infrastruktur jalan maupun jembatan tersebut.

Rudy Rachadian, anggota Tim 10 Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengaku sempat kesulitan mendapat peralatan penunjang kerja.

Rudy berkisah, alat berat yang akan digunakan mengangkut material dari sisa bangunan atau rangka jembatan mesti didatangkan dari luar Sulawesi Tengah, seperti Balikpapan di Kalimatan Timur dan Gorontalo.

Setelah alat berat datang, untuk mobilisasinya pun sempat mengalami kendala lantaran sejumlah akses jalan mengalami kerusakan. Tak cuma itu, untuk mengoperasikan alat berat pun tak bisa begitu saja dilakukan. Pasalnya, bahan bakar untuk alat berat, seperti solar, sempat susah didapatkan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved