BKSDA Ajak Perusahaan Pemegang Konsesi Lahan Ikut Konservasi Orangutan
Orangutan banyak hidup di HPH (hak pengelolaan hutan), HTI (hutan tanaman industri), tambang, perkebunan sawit, dan kebun masyarakat.
Penulis: Rafan Dwinanto | Editor: Fransina Luhukay
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Peran perusahaan swasta, pemegang konsesi lahan dalam konservasi orangutan, sangat vital. Pasalnya, sekitar 80 persen populasi orangutan ini hidup di luar kawasan konservasi.
Hal ini diungkapkan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Sunandar.
Sunandar mengajak para pemegang konsesi lahan dan berbagai pihak lainnya, untuk serius menangani persoalan konservasi orangutan, di luar kawasan konservasi. "Bisa dibayangkan jika persoalan ini tak ditangani serius. Karena, 70-80 persen hidup di luar Taman Nasional dan Hutan Lindung. Orangutan banyak hidup di HPH (hak pengelolaan hutan), HTI (hutan tanaman industri), tambang, perkebunan sawit, dan kebun masyarakat," ujar Sunandar.
Sepanjang 2018, BKSDA mendapat sekitar 15 laporan terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan. Jumlah laporan ini, diakui Sunandar terus berkurang. "Dulu itu banyak orangutan yang dipelihara masyarakat. Sekarang sudah tidak ada lagi. Kalau laporan konflik, itu ada sekitar 15 yang masuk," katanya.
Kebanyakan laporan konflik antara manusia dengan orangutan terjadi di kawasan timur, Kaltim. Yakni Kutai Timur, Bontang, Kutai Kartanegara, dan Berau. "Justru dari Kutai Barat, Mahakam Ulu, itu tidak ada. Dari Kaltara juga tak ada laporan," kata Sunandar.
Berbagai pihak, termasuk perusahaan swasta, diakui Sunandar, sudah memiliki kesadaran tinggi terhadap konservasi orangutan. Beberapa perusahaan bahkan sudah membentuk satuan tugas (satgas) konservasi. "Jadi saat ada orangutan masuk ke area perkebunan misalnya, langsung digiring balik, bila dekat habitatnya. Jika jauh, ya direlokasi," kata Sunandar.
Sementara, Koordinator Peneliti dari Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrops), Yaya Rayadin, menuturkan, solusi konservasi orangutan berbeda untuk tiap konsesi. Pada HTI misalnya, kata Yaya, regulasi mewajibkan HTI memiliki kawasan konservasi. Minimal 10 persen dari luas konsesinya. "Untuk HTI enak, karena diwajibkan punya kawasan konservasi. Jadi, tinggal menjaga kawasan konservasinya agar tak dijarah orang. Karena kalau dijarah orangutannya bisa keluar," sebut Yaya.
Hal berbeda berlaku untuk perkebunan sawit. Menurur Yaya, tidak ada aturan yang mewajibkan sawit menyisakan area konsesinya untuk kawasan konservasi. Perkebunan sawit harus memiliki kawasan konservasi untuk mendapatkan The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). "Tapi RSPO ini sifatnya sunnah. Bukan wajib. Jadi, jika sawit bikin kawasan konservasi, patut diapresiasi. Karena menjalankan sunnah," kata Yaya.
Namun, Yaya menyarankan perkebunan sawit tetap membangun kawasan konservasi yang terkoneksi dengan buffer zone, hutan lindung, maupun taman nasional. "Karena kalau tak terkoneksi, hanya akan menjadi jebakan. Dan orangutan tetap akan memakan sawit," urai Yaya.
Begitu pula dengan pertambangan yang tak diwajibkan memiliki kawasan konservasi. Menurut Yaya, pertambangan bisa memanfaatkan sebagiabn kecil areanya yang tak ditambang, sebagai habitat orangutan. "Konsesi tambang kan besar. Tidak semuanya akan ditambang. Nah, yang tak ditambang ini bisa jadi habitat orangutan. Karena orangutan juga tidak merugikan tambang," katanya lagi.
Yang cukup sulit, yakni mengatasi konflik antara orangutan dengan masyarakat. Namun, soal ini, Yaya mengaku sudah memiliki pola penyelamatan orangutan. Pola ini sudah dipraktikkan pada bentang alam Kutai. "Jadi perusahaan harus punya satgas. Sehingga, saat ada konflik orangutan dengan masyarakat, masyarakat bisa lapor ke satgas. Begitu yang terjadi pada bentang alam Kutai. Membeli peralatan untuk satgas orangutan, lebih murah dibandingkan beli seperangkat alat golf. Paling hanya sumpit, jala, kandang, tenaga, dan nasi bungkus," tutur Yaya.(*)