Profil

Kisah Mbah Jan, Pawang Hujan Sangatta yang Dibayar Sukarela

Mbah Jan juga mengaku pernah membantu memindahkan hujan selama berhari-hari di tengah pengerjaan proyek pembangunan Masjid Agung Islamic Centre.

Penulis: Syaiful Syafar |
TRIBUN KALTIM / SYAIFUL SYAFAR
Mbah Jan, Pawang hujan 

TRIBUNKALTIM.CO, SANGATTA - Seorang lelaki renta duduk menyendiri di kursi plastik, tak jauh dari pepohonan sawit di halaman Kantor Camat Sangatta Utara, Jl Sudirman, Rabu (4/2/2015).

Pandangan lelaki itu kerap tertuju ke langit. Sesekali kedua tangannya dikepal, lalu mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra.

Lelaki itu adalah Mbah Jan. Ia sengaja menyendiri karena sedang fokus bekerja. Di saat semua orang sibuk menyaksikan deklarasi ormas G20Mei, Mbah Jan justru berusaha keras mengendalikan sesuatu yang di luar nalar.

"Sudah saya pindahkan (hujan), jauh di sana...," ujarnya kepada TRIBUNKALTIM.CO, sambil menunjuk ke arah timur, wilayah Dusun Kenyamukan. (Baca juga: Manusia Perahu Sebagai Pawang Ombak Bantu Pencarian Korban AirAsia).

Percaya atau tidak, meski langit sempat mendung, tapi hujan tak turun sepanjang berlangsungnya acara di Kantor Camat Sangatta Utara. Mbah Jan sangat yakin, itu berkat usaha dan doanya. "Saya hanya memohon, semua kehendak Gusti Allah," katanya dengan logat bahasa Jawa yang kental.

Mengenakan blangkon, kemeja batik berwarna emas, celana kain hitam dan sandal jepit lusuh, Mbah Jan berbagi cerita tentang kiprahnya sebagai pawang hujan. Profesi itu sudah dilakoninya sejak bertahun-tahun. Jasanya sering dipakai oleh instansi pemerintah, perusahaan, hingga komunitas masyarakat.

"Dari zaman Pak Awang Faroek jadi bupati sampai sekarang, saya masih sering dipanggil. Terutama kalau ada acara-acara besar," katanya.

Mbah Jan juga mengaku pernah membantu memindahkan hujan selama berhari-hari di tengah pengerjaan proyek pembangunan Masjid Agung Islamic Centre di kawasan Bukit Pelangi. Dari pagi sampai sore, ia duduk mengamati cuaca sambil membaca mantra. Begitu seterusnya, sampai jasanya dianggap cukup.

Mbah Jan menyebut usahanya hanya sekadar memindahkan hujan. Bukan menolak hujan datang. Sebab, pernah satu waktu, ia tak bisa menunaikan tugasnya karena hujan mengguyur hampir seluruh wilayah Sangatta.

"Kalau hujannya merata, yo wes... Angkat tangan saya," paparnya.

Memindahkan hujan, kata Mbah Jan, bukan perkara mudah. Harus dilakukan dengan persiapan yang matang dan niat yang bersih. Biasanya sebelum berangkat bertugas, ia wajib keramas. Ini diyakini sebagai syarat agar usahanya berhasil. Selain itu, ia juga menjalankan puasa selama tujuh hari berturut-turut.

"Alhamdulillah selama ini tugas saya lancar-lancar saja dan berhasil, kecuali kalau hujannya merata ya nggak bisa...," jelasnya.

Semasa bekerja sebagai pawang hujan, Mbah Jan tidak pernah mematok harga. Jasanya dibayar sukarela. Paling sering ia terima Rp 1 juta dalam sehari. Walaupun menurutnya, tarif pawang hujan biasanya mencapai puluhan juta sehari. Informasi yang dihimpun TRIBUNKALTIM.CO, jasa Mbah Jan dipakai selama tiga hari oleh panitia deklarasi G20Mei dengan bayaran Rp 3 juta.

"Kalau saya seikhlasnya saja. Yang penting ada juga tambahan untuk uang rokok," ucapnya dengan nada ringkih.

Kini, usia Mbah Jan sudah memasuki 103 tahun. Lelaki asal Kendal, Jawa Tengah ini memiliki enam anak (tiga laki-laki dan tiga perempuan). Istrinya telah wafat sejak 2005 silam. Sekarang ia tinggal bersama salah satu anaknya di daerah Kampung Kajang, Desa Singa Geweh, Kecamatan Sangatta Selatan.

Dari keenam anaknya, Mbah Jan memiliki 16 cucu dan 9 cicit. Selain dikenal sebagai pawang handal, Mbah Jan juga masih aktif memimpin kelompok kesenian Kuda Lumping di Sangatta. Baginya, kesenian Kuda Lumping adalah cinta kedua setelah keluarga yang harus tetap dilestarikan. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved