Kolom Rehat
Coffee Break
Aktivitas rehat ngopi berawal dari kegiatan para istri imigran Norwegia yang mengambil waktu sekitar 10 hingga 20 menit dari pekerjaan mereka
Oleh:
Arif Er Rachman
Manager Produksi Tribun Kaltim
SAYA lebih suka menyebutnya 'rehat ngopi'. Mungkin karena saya lebih suka nama yang lebih Indonesia, maka rubrik ini pun diberi nama 'Rehat' bukan 'Coffee Break'. Saya harap Anda setuju.
Tapi, mengapa judul tulisan ini Coffee Break bukan Rehat Ngopi? Ada dua alasan. Pertama, karena ini bukan rubrik khusus bahasa. Dan kedua, karena saya ingin mengajak Anda kembali ke akhir abad ke-19 ketika istilah coffee break bermula.
Meski masih bisa diperdebatkan, sejumlah ahli sejarah dan beberapa literatur menyebutkan coffee break bermula di kota kecil Stoughton, Wisconsin, pada 1880. Kota itu, meski berada di Amerika Serikat, 80 persen penduduknya adalah imigran dari Norwegia. Hampir semua dari mereka tinggal di daerah Coffee Street.
Aktivitas rehat ngopi berawal dari kegiatan para istri imigran Norwegia yang mengambil waktu sekitar 10 hingga 20 menit dari pekerjaan mereka di pabrik-pabrik, setiap menjelang siang dan menjelang sore, untuk pulang dan melihat keadaaan anak-anak mereka di rumah. Pada saat-saat itulah mereka menggunakan waktu untuk minum secangkir dua cangkir kopi.
Sejak itu, hingga detik ini, kota Stoughton setiap tahun pada musim panas menggelar 'Stoughton Coffee Break Festival' untuk mengenang tradisi lama para pendahulu mereka. Untuk tahun ini, festival itu digelar pada Agustus mendatang.
Pada tahun 1902, Barcolo Manufacturing Company, sebuah perusahaan di New York, secara resmi menyatakan coffee break merupakan bagian penting untuk para pekerjanya.
Berdasarkan cerita surat kabar di saat itu, para pekerja di bawah naungan sarikat pekerja bernegosiasi untuk dapat beristirahat singkat saat menjelang siang dan sore hari. Dan sejak itu istilah “coffee break” resmi pertama kali dicetuskan.
Soal waktu rehat ngopi menjadi isu besar nasional Amerika Serikat pada 1964. Pada Juni tahun itu, majalah Time melaporkan adanya negosiasi alot antara sarikat pekerja otomotif (United Auto Workers) dengan perusahaan-perusahaan pembuat mobil.
Para pekerja menuntut perusahaan bersedia mematikan mesin selama 15 menit setiap hari agar mereka bisa menikmati coffee break. Tuntutan ini hampir membuat seluruh pekerja melakukan mogok massal.
Tiga bulan setelah peristiwa itu, sekitar 74.000 pekerja perusahaan mobil Chrysler meminta diberi istirahat kurang dari satu jam sedangkan perusahaan memberikan jalan tengah dan setuju membebasan 12 menit sehari untuk coffee break.
Saat ini, sebagian besar pekerja kontrak secara khusus mendapatkan setidaknya sekali coffee break setiap shift 8 jam, dan banyak perusahaan mendapati bahwa menyediakan kopi gratis untuk karyawan selama coffee break sangat bermanfaat dan berdampak pada bertambahnya keuntungan perusahaan.
Beberapa waktu lalu, polling yang dilakukan oleh Harris Interactive pada pekerja di AS menemukan bahwa:
* 80% perkeja berdasarkan survey merasa lebih dihargai ketika diberi kopi gratis.
* 76% merasa kopi dapat membuat rileks.
* 79 % mengatakan bawa mereka lebih produktif ketika mereka mendapat akses kopi.