Kolom Rehat

Dari Hujan Bulan Juni hingga Wedang Ronde

Memang terkadang ada kalanya lama tidak turun hujan, seolah seperti kemarau, tapi itu jarang sekali. Mungkin hanya lima tahun sekali.

TRIBUN KALTIM
Arif Er Rachman 

Oleh: ARIF ER RACHMAN

SAAT saya menulis kolom Rehat edisi ini, di luar sedang hujan deras. Dan ini bulan Juni. Bulan yang menurut pelajaran SD kita dulu, sama sekali bukan merupakan musim hujan.

Tapi ini Balikpapan, yang setahu saya memang tidak begitu mengenal musim penghujan dan musim kemarau. Yang ada hanya musim hujan sedikit dan musim hujan banyak.

Memang terkadang ada kalanya lama tidak turun hujan, seolah seperti kemarau, tapi itu jarang sekali. Mungkin hanya lima tahun sekali.

Karena sekarang sedang hujan dan ini bulan Juni, tentu saja saya ingat pada Hujan Bulan Juni, puisi paling fenomenal dari Sapardi Djoko Damono selain Aku Ingin.

Tapi, menurut saya, puisi yang ditulis pada 1989 itu -- seperti halnya hujan yang terjadi pada bulan Juni -- sudah menjadi banal di Balikpapan. Menjadi sangat biasa karena kehilangan konteks tempat dan kekinian. Kecuali mungkin kita bisa melakukan interpretasi ulang yang hasilnya terlepas dari persoalan seputar cinta dan kerinduan yang tak sampai.

Karena itu, saya tidak jadi saja menulis soal Hujan Bulan Juni yang versi novelnya baru diluncurkan penyair berusia 75 tahun itu pada Minggu, 15 Juni, lalu.

Saya sebenarnya lebih tertarik menulis tentang kopi mengingat film Biji Kopi Indonesia yang judul internasionalnya Aroma of Heaven baru saja menang sebagai Film Dokumenter Terbaik di ajang Festival Film Hainan 2015 (21st Century Maritime Silk Road) yang dihelat 12-14 Juni lalu di Kota Haikou, Tiongkok.

Namun, karena menulis tentang kopi sudah menjadi agak mainstream dan saya tidak mau dibilang ikut-ikutan, saya juga tidak jadi menulis soal kopi. Bagaimana kalau kita ngobrol soal wedang ronde saja, karena pada malam dingin-dingin seperti saat saya menulis ini, menikmati wedang ronde bisa jadi pilihan yang sama sekali tidak membosankan.

Meski terlihat seperti asli lokal Indonesia, ronde adalah makanan tradisional Tiongkok dengan nama asli Tangyuan. Nama Tangyuan merupakan metafora dari reuni keluarga.

Ronde terbuat dari tepung yang dicampur sedikit air dan dibentuk menjadi bola, direbus, dan disajikan dengan kuah manis. Ukurannya bisa kecil atau besar, diberi isi maupun tidak. Dulunya Tangyuan hanya disajikan saat Festival Yuanxiao atau Festival Lampion atau pada setiap perkumpulan keluarga, misalnya saat pesta pernikahan dan sebagainya.

Menurut legenda, pada masa Dinasti Han (tahun 206 SM hingga 220 M), hiduplah seorang dayang kerajaan bernama Yuanxiao yang sangat merindukan kedua orangtuanya. Ia hanya bisa menangis karena tidak boleh meninggalkan istana. Ia bahkan memutuskan bunuh diri kalau saja tidak ditolong seorang menteri.

Syaratnya, Yuanxiao harus membuat Tangyuan sebanyak mungkin (yang merupakan masakan terbaik yang bisa ia buat) sebagai persembahan kepada dewa pada tanggal 15 bulan 1 Imlek.

Yuanxiao berhasil melakukannya dan sang kaisar merasa puas. Yuanxiao diizinkan bertemu kedua orangtuanya. Semenjak saat itu, pada tanggal 15 bulan 1 penanggalan Imlek diadakan Festival Yuanxiao atau Festival Lampion.

Di Indonesia, ronde ini menjadi wedang ronde. Wedang adalah bahasa Jawa yang merujuk pada minuman panas. Wedang ronde adalah ronde yang disajikan dalam air jahe panas dan manis yang berasal dari gula kelapa. Di dalamnya juga biasa ditambahi kacang tanah goreng, potongan roti, kolang-kaling, dan pilihan lain sesuai selera. Mirip dengan sekoteng yang minus ronde di dalamnya.

Sungguh menyegarkan, menghangatkan, sekaligus bisa menghilangkan gejala flu. Wedang ronde baik juga jadi pilihan menu buka puasa.

Sesekali kita tidak perlu lah tergoda dengan sirup-sirup super manis nan mewah atau minuman bersoda menyegarkan seperti tayangan iklan.

Dengan menyantap wedang ronde yang sederhana, kita ikut mempertahankan minuman tradisional berumur 2.000 tahun lebih sekaligus membantu para pedagang kecil agar tidak makin tergilas oleh korporasi. Betul?

Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tetaplah sederhana. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved