AJI Nilai Pidato Presiden Jokowi Mengancam Kebebasan Pers
AJI menilai, Jokowi justru bersikap hipokrit dengan pernyataannya itu, karena sehari sebelum dia berpidato, telah menganugerahkan penghargaan...
TRIBUNKALTIM.CO - Pengekangan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan ancaman serius bagi kebebasan pers.
Untuk itu, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) meminta Presiden Joko Widodo jangan membawa Indonesia kembali ke era pengekangan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers seperti di masa Orde Baru.
Ketua Umum AJI Suwarjono menyatakan, ada tiga sinyalemen yang memperlihatkan kecenderungan Jokowi akan mengekang kebebasan berpendapat yang mengancam kebebasan pers.
Pertama, melalui draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan diajukan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat, dengan menghidupkan lagi pasal penghinaan kepala negara yang sudah dihapus melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.
"Korban pertama bila pasal tersebut kembali diberlakukan adalah pers. Pasal penghinaan kepala negara ini lentur dan bisa ditafsirkan dengan sesuai keinginan. Bila ada narasumber atau media kritis, dengan mudah penguasa membungkam," kata Jono, panggilan akrab Suwarjono dalam rilisnya kepada Tribunnews.com, Sabtu (15/8/2015).
BACA juga: AJI Balikpapan Kecam Kekerasan Polisi Terhadap Wartawan Tribun Lampung
Atas upaya pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan kepala negara ini, AJI prihatin dan mendesak agar DPR dan pemerintah tidak membahasnya. Bila tetap dibahas, ini merupakan langkah mundur dan bisa berakibat buruk bagi kelangsungan demokrasi.
Sinyalemen kedua, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga tidak berupaya menghapus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di ranah internet.
Draf revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disusun Kemenkominfo masih memuat ancaman pemidanaan terhadap kebebasan berpendapat, tidak menghapuskan seperti yang didesakkan oleh masyarakat sipil.
"Pasal pidana sebaiknya disinkronkan dengan Rancangan KUHP yang akan dibahas DPR, sehingga semua materi di UU yang terkait pidana, cukup di KUHP," kata Suwarjono.
Sinyalemen ketiga dari upaya Jokowi membelenggu kebebasan berpendapat adalah seperti disinggung dalam pidatonya di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jumat (14/8/2015).
"Lebih-lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif," kata Jokowi dalam pidatonya.
BACA juga: Jokowi Sudah Dengar Kasus Salah Tangkap Wartawan Tribun
Meski tidak eksplisit, Jokowi menempatkan dua pernyataan tendensius dalam satu paragraf yang sama, sehingga mengesankan, semua media, termasuk yang sungguh-sungguh bekerja melayani publik, sebagai kambing hitam.
AJI menilai, Jokowi justru bersikap hipokrit dengan pernyataannya itu, karena sehari sebelum dia berpidato, telah menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputra Utama kepada Surya Paloh, pemilik stasiun televisi MetroTV.