Liputan Khusus

Kisah Saryono Dulu Supervisor Perusahaan Kayu, Kini Dagang Sayur

Siapa sangka, Saryono yang biasa dikenal warga setempat sebagai penjual sayur ternyata dulunya ia bekerja di salah satu perusahaan kayu ternama

Penulis: Cornel Dimas Satrio Kusbiananto |
TRIBUN KALTIM / CORNEL DIMAS SK
Saryono dulu bekerja sebagai supervisor di perusahaan kayu. Akibat hancurnya industri kayu, Saryono beserta istrinya menjadi pedagang sayur pasar malam tiap Sabtu di Jl. Kemangi Kelurahan Karang Asam Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda. 

Laporan wartawan Tribun Kaltim, Cornel Dimas

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA – Sabtu malam Jalanl Kemangi Kelurahan Karang Asam Ulu ramai dipadati pedagang yang berjualan tepat di depan pemukiman warga.

Pada ujung jalan, tampak seorang pria paruh baya menawarkan dagangan sayur-mayurnya kepada pembeli.

Penjual sayur itu bernama Saryono (60) yang mengaku berdagang di pasar malam sejak tahun 2003.

Siapa sangka, Saryono yang biasa dikenal warga setempat sebagai penjual sayur ternyata dulunya ia bekerja di salah satu perusahaan kayu ternama Samarinda.

Bahkan dulunya ia menduduki jabatan elit di perusahaan tersebut, yakni sebagai supervisor.

Sebelum tahun 2000 ketika perusahaan kayu memasuki masa jayanya, Saryono ikut merasakan masa-masa itu. Di perusahaan kayu tersebut, ia juga sempat melalang buana hingga ke negeri orang, Kamboja. Bisa dibilang, pada saat itu dia termasuk kalangan atas berpenghasilan mapan.

Istri Saryono yang ikut berjualan sayuran di pasar malam di sekitaran kota Samarinda
 

“Saya dulunya supervisor plywood, perusahaan kayu. Gajinya 3- 5 jutaan, waktu itu tergolong tinggi gaji saya. Saya sempat di Kamboja 2 tahun, di sana gaji saya 1.000 dollar per bulan atau kira-kira 12 juta,” ungkapnya sambil mengemas sayuran.

Pada masa itu bersama istri dan dua anaknya ia hidup melimpah dan telah memiliki rumah. Iapun juga memiliki kendaraan mobil Toyota Kijang Super, yang kala itu hanya orang-orang tertentu yang bisa memiliki.

Aris (22) anak bungsunya juga sempat merasakan masa jaya ayahnya. “Kami dulu punya mobil kijang super, kalau mau kemana-kemana nggak susah. Waktu bapak kerja di kamboja saya masih TK, tapi saya merasakan kebutuhan keluarga selalu terpenuhi,” ucapnya yang turut membantu ayahnya bekerja di pasar malam.

Sayangnya, nasib berkata lain. Pada medio 1999 industri kayu mulai goyah. Hingga akhirnya tahun 2000 Saryono terkena pengurangan pegawai.

Keadaan itu membuat keluarganya syok. Mereka tak mengira kondisi akan berbalik secepat itu.

Menurut sang istri, keluarganya tak mudah melewati periode sulit itu. Bahkan setahunan pasca Saryono tak bekerja lagi, mereka hidup semampunya hanya mengandalkan pesangon yang jumlahnya 2 kali lebih rendah dari gaji yang biasa diterima Saryono.

“Pas bapak kena pengurangan pegawai itu, kami satu keluarga seperti nggak ada harapan lagi. Susah mas waktu itu. Ada satu tahunan lah kami bingung seperti orang linglung. Tiap hari Cuma mengandalkan pesangon bapak. Setahunan itu kami nggak ngapa-ngapain, bapak dan saya nggak kerja, sementara anak-anak masih sekolah. Bapak itu hampir stres, karena biasanya kerja keras, eh malah di rumah nggak ngapa-ngapain,” kata istri Saryono yang juga menemani berdagang di pasar malam.

Setahun kemudian, akhirnya Saryono bertindak. Bermodalkan uang hasil penjualan mobil dan sisa-sisa pesangon merekapun beralih profesi sebagai pedagang. Saat itu dengan modal sekitar dua juta mereka berdagang telur di pasar tradisional Kemangi, dekat tempat tinggalnya.

Sumber: Tribun Kaltim
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved