Ledakan Bom di Samarinda

Bomber Samarinda Residivis Kasus Bom Buku, Bukti Kegagalan Program Deradikalisasi?

Peneliti terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menilai serangan itu dipersiapkan secara cermat.

Editor: Amalia Husnul A
Repro/Tribunkaltim.co/Anjas Pratama
Kondisi terduga pelaku pengeboman di halaman parkir Gereja Oikumene, Minggu (13/11/2016). Foto didapatkan dari warga saat terduga pelaku tertangkap. 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA -- Serangan di depan Gereja Oikumene, Kota Samarinda dilakukan oleh J, residivis kasus bom buku tahun 2011.

Bom yang digunakan berupa bom pipa atau bom lontong.

Peneliti terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menilai serangan itu dipersiapkan secara cermat.

"Targetnya sangat spesifik, gereja, pelakunya orang yang lama tinggal di sekitar lokasi serangan, " ujar Ridlwan kepada Tribunnews.com, Minggu (13/11/2016).

Korban paling banyak adalah anak anak yang sedang bermain di pelataran Gereja.

Baca: VIDEO – Korban Ledakan Bom Dipindahkan dan Kesaksian Warga di Gereja

Ridlwan menilai pelaku tidak sendirian, dia dibantu oleh jaringannya.

"Ini direncanakan dan sudah dipersiapkan, " kata Ridlwan.

Lebih lanjut terkait eksekutor Juhana alias J adalah residivis kasus bom buku kelompok Pepi Fernando. Pepi sendiri sekarang masih di lapas Nusakambangan.

"Pepi berbaiat setia pada Amman Abdurahman, sekarang Amman adalah pimpinan utama kelompok Isis yang ada di dalam Nusakambangan, " jelas Ridlwan.

Baca: Ledakan di Depan Gereja, Ini Pesan Ketua MUI Kaltim

Pelaku, menurutnya, pernah ditangkap polisi di Pare Pare Sulawesi karena membawa bendera ISIS.

"Sangat disayangkan kewaspadaan aparat lengah, padahal seharusnya diawasi terus, " ucap Ridlwan.

Menurut alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI itu, tindakan Juhana ini menambah panjang jumlah kegagalan deradikalisasi.

"Tidak ada institusi yang secara spesifik ditugasi untuk memonitor pergerakan residivis setelah bebas, " ujarnya.

Baca: Ketua FKUB Minta Masyarakat Tak Terprovokasi Aksi Pengeboman di Depan Gereja

Dia melihat BNPT program-programnya masih berupa seremonial.

"Seminar dan ceramah saja tidak bisa mengubah hati dan pikiran residivis kembali ke jalan yang benar, " kata Ridlwan.

Idealnya, ada pendampingan orang per orang bagi residivis teroris. Namun, hal itu membutuhkan banyak biaya dan menyita energi.

"Saya kira sudah saatnya diatur dengan tegas," sarannya.  (Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau)

*****
Baca berita unik, menarik, eksklusif dan lengkap di Harian Pagi TRIBUN KALTIM
Perbarui informasi terkini, klik  www.TribunKaltim.co
Dan bergabunglah dengan medsos:
Join BBM Channel - PIN BBM C003408F9, Like fan page Facebook TribunKaltim.co,  follow Twitter @tribunkaltim serta tonton video streaming Youtube TribunKaltim
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved