Kisah Inspiratif

Gabung dengan Pasukan PBB di Wilayah Konflik, Inilah Kisah Pratu Ringga Prajurit Terbaik Korem 091

Tidak semua prajurit TNI dapat terlibat dalam misi kemanusiaan di bawah naungan PBB.

DOK/PRIBADI
Pratu Ringga Manggar Aprilia selama bertugas di Sudan, Darfur. 

Laporan wartawan tribunkaltim.co, Christoper D

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Tidak semua prajurit TNI dapat terlibat dalam misi kemanusiaan di bawah naungan PBB.

Pasalnya hanya prajurit yang memiliki kemampuan terbaik, dapat bertugas di tengah daerah konflik.

Dan, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi prajurit yang terpilih bertugas membantu warga di Sudan, Darfur.

Sama halnya yang dialami oleh, prajurit Korem 091/Aji Surya Natakesuma (ASN), Pratu Ringga Manggar Aprilia, pria kelahiran 23 Aprlil 1991 itu, berkesempatan menjadi salah satu prajurit yang bertugas di sana, yang tergabung dalam Satgas Batalyon Komposit TNI Konga XXXV-V/United Nations Mission in Darfur (Unamid).

Dirinya bersama 25 prajurit dari Batalyon Infanteri 611/Awang Long (Awl), terpilih seleksi untuk dapat bertugas dan bergabung dengan prajurit dari negara lain, guna mengemban misi kemanusiaan, dan memelihara perdamaian dunia.

"Tidak semua prajurit bisa bertugas di sana, karena ada tahapan seleksi yang dilakukan oleh Mabes TNI," tuturnya saat ditemui di Makorem 091/ASN, Selasa (22/8/2017).

Baca: Misteri Terkuak, Lebih dari Setengah Abad Mencari Akhirnya Pria Ini Temukan Yeti

Baca: Ini Pengakuan Roro Fitria soal Namanya Masuk dalam Daftar Penunggak Pajak Kendaraan Mewah

Baca: Bantah Dana Calon Jemaah First Travel Dipakai untuk Gaya Hidup Glamor, Tapi Inilah Temuan PPATK

Baca: Negara Rugi Rp 7 Miliar! Polisi pun Dor Pelaku, Apa Kasusnya?

Baca: Sudah Idealkah Berat Badan Anda? Coba Hitung Yuk dengan Rumus Ini

Setelah melewati tahapan seleksi, dan terpilih, pada April 2016 prajurit pilihan itu berangkat ke Sudan, guna bertugas selama kurang lebih satu tahun.

Saat itu, Indonesia mengirim 800 prajurit, guna dapat bergabung dengan pasukan lainnya, di super camp.

"Tepatnya di daerah El Geneina, selain menjaga keamanan, kita juga ajak anak-anak disana belajar, membagikan makanan, dan obat-obatan, karena daerah ini sangat tertinggal, tidak ada listrik, fasilitas pendidikan," ucapnya.

Wilayah tersebut memang tergolong tertinggal dan terpencil, jarak pusat kota dengan wilayah ini, dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama 3 hari, sedangkan melakui jalur udara, dapat ditempuh dengan 2 kali berganti helikopter.

Sedangkan, jarak antara super camp dengan pemukiman penduduk, yang paling dekat jaraknya 10 kilometer.

Lanjut dia menjelaskan, 2-3 bulan pertama menjadi awal yang sulit, bahkan Pratu Ringga sempat sakit diawal dirinya bertugas, kendati sakitnya tidak parah.

Lalu, perbedaan iklim juga sangat menyulitkan misi tersebut, terlebih saat angin kencang, yang membuat daerah gurun itu sangat tidak bersahabat bagi pendatang.

"Saya sempat batuk pilek saat awal di sana. Kalau angin kencang, itu juga diantisipasi, karena angin bercampur pasir pernah membuat camp rubuh," tutur pria yang menguasai bahasa Inggris dan Arab tersebut.

Hal itu belum ditambah dengan minimnya pasokan air, yang membuat seluruh pasukan disana, harus menghemat air. Bahkan, tak jarang prajurit sampai tidak mandi berhari-hari.

"Jadi, setiap harinya ada patroli water point, ini yang bertugas mencari air. Kalau tidak mandi berhari-hari sudah biasa disana, terlebih saat patroli," ucapnya.

Selama disana, perlengkapan tempur lengkap selalu dibawa dalam patroli harian, mulai dari senjata laras panjang, pistol, lengkap dengan amunisinya, lalu body safety, helm, serta logistik.

Pasalnya, patroli dilakukan tidak hanya dilakukan dalam hitungan jam saja, melainkan bisa sampai berhari-hari.

Bahkan, kendala diperjalanan kerap terjadi, yang membuat pasukan perdamaian PBB itu bisa sampai lebih dari tiga hari diperjalanan, seperti mobil terjebak di gurun.

"Biasanya kalau mobil terjebak di gurun, bisa seharian, kadang pernah sampai bermalam. Yang jelas, perlengkapan lengkap selalu digunakan, karena disana daerah konflik, jadi harus siaga," ungkapnya.

Kendati bertugas di daerah konflik, namun selama disana, dirinya dan pasukan lainnya, tidak pernah terlibat kontak senjata maupun fisik dengan penduduk.

Hal itu pun disyukurinya, yang menandakan pasukan perdamaian di sana diterima oleh penduduk.

"Kita ke sana untuk membantu mereka, jadi kita sangat diterima disana. Sehari-hari kalau berkomunikasi dengan warga disana, pakai bahasa Arab, kalau dengan prajurit lain pakai bahasa Inggris," ucap pria asal Malang, yang pernah bertugas di Ambon, pada 2013 silam itu.

Kendati masih belum berkeluarga, namun dirinya tetap rindu keluarga, dan suasan yang ada di Indonesia, terlebih saat lebaran idul fitri lalu.

Sulitnya sinyal telepon, membuat dirinya selama bertugas disana, hanya menelpon keluarganya kurang lebih 6 kali saja.

"Tentu rindu sama keluarga, rindu suasana di Indonesia. Tapi ini tugas mulia, membawa nama Indonesia, jadi harus dijalankan sebaik mungkin," tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved