Uang Rp6.000 Trilun Dibuang Percuma. Makjleb, Sindiran Jusuf Kalla pada Pemerintahan Masa Lalu

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia memiliki dua kesalahan pokok dalam mengambil kebijakan ekonomi selama 20 tahun terakhir.

Tribunnews.com
Wapres Jusuf Kalla 

TRIBUNKALTIM.CO, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia memiliki dua kesalahan pokok dalam mengambil kebijakan ekonomi selama 20 tahun terakhir.

Hal ini disampaikan Kalla saat memberikan kuliah umum kepada Peserta Program Pendidikan Reguler (PPRA) ke-56 dan Program Pendidikan Singkat (PPSA) ke-21 Lemhanas Tahun 2017, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (28/8/2017).

Kesalahan pertama, kata Kalla, adalah saat Indonesia memutuskan untuk mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kebijakan ini terjadi di era Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri.

"Kita berikan BLBI yang berlebihan sehingga negara berutang, mengeluarkan dana hampir lebih dari Rp 600 triliun hanya dalam waktu dua tahun," ujar Kalla.

"Rp 600 triliun waktu itu apabila dihitung sekarang segala macam bunganya bisa kira-kira Rp 3.000 triliun," kata dia. 

Massa dari Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera berunjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/5/2014). Mereka antara lain mendesak KPK untuk mengusut kasus dugaan penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Massa dari Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera berunjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/5/2014). Mereka antara lain mendesak KPK untuk mengusut kasus dugaan penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (KOMPAS/HERU SRI KUMORO) (Kompas.com)

Lalu kesalahan kedua adalah kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini dilakukan selama dua periode pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Di periode pertamanya, SBY berpasangan dengan Kalla.

"Kita menyubsidi BBM kita begitu besar dalam waktu sepuluh tahun. Yang menikmati orang punya mobil seperti kita semua di sini," ucap Kalla.

"Apabila digabung semua itu mungkin kira-kira Rp 6.000 triliun yang kita telah buang untuk menyelesaikan masalah-masalah," tuturnya.

Menurut Kalla, dua kesalahan inilah yang menyebabkan kemajuan ekonomi Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Kalla berandai-andai, misalkan dana tersebut setengahnya saja dipakai untuk membangun infrastruktur, seperti yang digenjot di era pemerintahannya bersama Presiden Joko Widodo saat ini.

"Sekiranya setengah saja kita pakai untuk infrastruktur, infrastruktur kita tidak akan kalah dari negara tetangga. Tidak akan kalah," ucap Kalla.

Fitra: Kasus BLBI Hampir Jadi Fosil

Sebelumnya, FITRA mengapresiasi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaikkan status kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke tingkat penyidikan.

Dalam kasus BLBI itu, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung sebagai tersangka.

KPK butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelidiki kasus BLBI.

"SKL ini diincar KPK jadi pintu masuk untuk membongkar kasus korupsi yang hampir jadi mumi, jadi fosil," ujar Deputi Sekjen Fitra, Apung Widadi di Seknas Fitra, Jakarta, Rabu (26/4/2017).

Bahkan, kasus BLBI sudah menjadi skandal sebelum KPK didirikan. Sebelumnya, ada sejumlah Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang ditangani Kejaksaan Agung dan Polri.

Namun, sebagian besar dari kasus tersebut menguap, tidak ada penyelesaiannya secara pidana.

"Banyak putusan bebas. Ada yang sudah divonis, tapi tidak ditangkap. Jadi proses hukumnya tidak tuntas," kata Apung.

Apung berharap, penetapan Syafruddin sebagai tersangka jadi pintu masuk KPK untuk menetapkan tersangka lainnya dalam kasus BLBI.

Termasuk menjerat para obligor penerima SKL yang belum melunasi utangnya.

Ia menganggap, kasus BLBI ini merupakan kejahatan ekonomi besar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Apung berharap, Presiden Joko Widodo memberi perlindungan kepada KPK untuk mengusut kasus BLBI agar tidak diintervensi atau diteror.

"Kalau tidak dijaga, misteri BLBI akan tetap ada," kata Apung.

Sekjen Fitra, Yenny Sucipto mengatakan, pengusutan kasus BLBI ini telah melewati lima rezim pemerintahan.

Berbagai kebijakan diterbitkan pada masing-masing era kepresidenan. Pada era BJ Habibie, 65 bank dalam penyehatan yang dikelola BPPN.

Kemudian, pada era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pemerintah merekapitulasi Bank Niaga dan Bank Danamon, serta dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan dengan Keppres 177/1999.

Pada era Megawati Soekarnoputri, ia menerbitkan Instruksi Presiren Nomor 8 Tahun 2002, soal pemberian jaminan kepastian pada obligor yang kooperatif dan sankai terhadap obligor yang tidak kooperatif.

Namun, ada sejumlah obligor yang belum melunasi utangnya malah menerima SKL.

"SKL ini bisa dimanfaatkan oknum tertentu di eksekutif ataupun korporasi. Korporasi yang dapat keuntungan besar," kata Yenny. (Ihsanuddin/Ambaranie Nadia Kemala Movanita)

Berita ini tayang di Kompas.com dengan judul; "Wapres Sindir Kebijakan BLBI hingga Subsidi BBM di Masa Lalu"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved