Tragis, Bocah Itu Lumpuh dan Bisu Digigit Ular di Rumahnya, Bagaimana Agar Ular Tak Masuk Rumah?

Dia digigit saat tidur beralaskan tikar di rumahnya. Akibat gigitan, dia mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan tidak mampu bicara.

Ananda Yue Riastanto 

TRIBUNKALTIM.CO - Manusia mau tidak mau harus hidup berdampingan dengan satwa. Dalam kondisi tertentu, manusia dan satwa bisa konflik, termasuk dengan ular.

Cara terbaik untuk mencegah konflik adalah mengenal perilaku satwa dan mencoba berbagi habitat dengannya serta melakukan pencegahan konflik.

Untuk menghindari kasus gigitan ular misalnya, manusia bisa mengembangkan cara tertentu agar ular tak masuk rumah.

Herpetolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, mengungkapkan, penting untuk menjaga rumah bersih dan harum.

“Rumahnya yang bersih. Tiap hari dengan wewangian. Ular tidak suka wewangian,” ucap Amir saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/9/2017).

Kasus gigitan ular berbisa terakhir menimpa Ananda Yue Riastanto (8), anak Peduhukan Dhisil, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dia digigit saat tidur beralaskan tikar di rumahnya yang baru dibangun. Akibat gigitan, dia mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan tidak mampu bicara.

Amir mengungkapkan, bahwa pada kasus Ananda, kemungkinan weling mencari tempat hangat untuk bisa tetap aktif.

ular
ular ()

Meski hidup di pinggir sungai atau sawah, weling tak selamanya hidup di tempat lembab. Kadang satwa itu mencari tempat hangat.

“Weling sangat mungkin mencari tempat hangat. Badan kita. Pas kita gerak, secara tidak sadar, welingnya bisa jadi ketindih. Dia (weling) butuh panas untuk bisa aktif,” kata Amir.

Saran lain untuk menangkal ular juga diberikan oleh pakar toksikologi dan bisa ular DR Dr Tri Maharani Sp EM. Tri.

Ia menyarankan untuk tidak tidur di lantai. Tempat yang aman adalah tidur di atas kasur yang cukup tinggi. “Ada guideline dari WHO ada penelitiananya," kata Tri.

Bagi yang tinggal di dekat hutan atau sawah, Tri menyarankan untuk tidur di atas ranjang serta menggunakan kelambu agar ular tidak bisa menerobos.

Bila terlanjur tergigit, Tri mengatakan agar tak perlu panik. Yang diperlukan adalah melakukan imobilisasi dengan menghimpit bagian digigit dengan kayu atau kardus layaknya patah tulang.

Setelah sampai di rumah sakit, anti-bisa yang digunakan haruslah cukup kuat. Bila tidak, maka masih ada racun yang tersisa di dalam tubuh.

“Pemberian antivenom harus adikuat. Artinya betul-betul harus terus dilakukan selama tanda dan gejalanya serta hasil lab masih menandakan abnormalitas," katanya.

"Selain anti venom, pemberian oksigen ventilator, infus harus dilakukan,” pungkas Tri

Lumpuh dan Bisu

Sungguh malang nasib Ananda Yue Riastanto, bocah berusia delapan tahun asal Kulon Progo, Yogyakarta. Sembilan bulan yang lalu dirinya digigit ular weling.

Tepatnya 5 Januari 2017 pukul 03.00 WIB, Ananda sedang terlelap tidur lalu tiba-tiba ada ular weling menggigit ujung telunjuk kakinya, melansir dari Kompas.

Ayahnya, Sugiyanto langsung membawa anaknya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

"Awalnya ke rumah sakit di Wates, paginya baru dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito," ucap Sugiyanto.

Andanda merasa mual dan tubuhnya kemudian menjadi kaku. Hal tersebut diduga karena efek racun ular yang berada di dalam tubuhnya.

Setidaknya Ananda menghabiskan 32 hari di rumah sakit tersebut. 

Setelah diizinkan pulang, bocah kelas satu SD itu tetap harus melakukan pengobatan satu bulan sekali ke rumah sakit.

Kendati sudah mendapatkan pengobatan, kondisi Ananda belum sehat 100 persen seperti sedia kala. Hingga sekarang tubuhnya mengalami kelumpuhan.

Penglihatan anak dari pasangan Sugiyanto dengan Deni Rianingsih itu pun tidak normal usai mendapat gigitan ular weling.

Kini Ananda tidak bisa melakukan banyak hal, termasuk untuk makan. Di hidungnya terpasang sebuah selang yang berguna menyalurkan makanan ke perut.

Ia hanya bisa mengeluarkan suara seperti dengkuran. Hanya itu yang bisa menandakan dirinya masih bisa merespon orang-orang di sekitarnya.

Menurut hasil diagnosa, Ananda mengalami ensepalofati atau kerusakan otak besar.

Efek dari penyakit tersebut menyebabkan Ananda tidak berbicara dan mengalami kelumpuhan.

Ya, ensepalofati yang diderita Ananda itu tidak lain karena gigitan ular weling.

Sembilan bulan berlalu sejak digigit, kondisi Ananda tidak memperlihatkan kemajuan pesat. Tapi di beberapa kesempatan putra Sugiyanto itu sudah bisa menunjukkan ekspresi sedih atau senang.

Tiga kali kalau enggak salah, sekali tersenyum ketika tidur, sekali sama saya ketika saya ajak bercanda, dan sekali sama istri. Dia juga menangis kalau minta sesuatu atau sedang marah ," ujar Sugiyanto.

Fisik Ananda memang terlihat sehat, ia pun sudah bisa mendengar. Namun untuk urusan penglihatan dan berbicara, bocah yang pernah ranking satu di sekolahnya itu masih harus menunggu waktu lagi.

"Itu teman-temannya sendiri yang bilang. Mereka bilang tidak ada teman yang bisa ditanyai lagi. Guru pun masih berharap, Ananda bisa segera sembuh dan bisa sekolah lagi. Rapornya masih disimpan oleh guru jika mau kembali sekolah," ujar Sugiyanto.

Mengikat Bekas Gigitan Ular

Ketika Sugiyanto mengetahui anaknya terkena gigitan ular, dirinya langsung mengikat bagian kaki Ananda. Ia berharap agar bisa ular tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Tapi apakah itu sudah benar.

Melansir dari Kompas.com, pakar toksikologi dan bisa ular DR Dr Tri Maharani Sp EM menjelaskan paradigma yang ada di mayarakat soal penanganan pertama gigitan ular salah besar.

Masyarakat meyakini bisa ular tidak akan menyebar jika bekas gigitannya diikat.  Selain itu ada juga tindakan menyayat bekas luka.

Padahal upaya tersebut sebenarnya tidak tepat.

“Kalau diikat hanya membuat kondisi seolah-olah bisa ular berhenti. Padahal yang diikat adalah pembuluh darah. Akibatnya pembekuan darah hingga amputasi,” ujar Tri.

Cara untuk mencegah racun menyebar, menurut Tri, tidak perlu dengan cara mengikat bekas gigitan. Cukup bagian tubuh yang terluka tidak banyak bergerak.

Adapun langkahnya bisa menggunakan bambu atau alat lain untuk menghimpit bagian luka layaknya pananganan terhadap korban yang patah tulang.

Perawatan tepat saat kondisi darurat akan menentukan kesintasan seseorang melewati sebuah kecelakaan atau kejadian fatal, tak terkecuali perawatan usai mengalami gigitan ular.

Pakar toksikologi dan bisa ular DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM mengatakan, ada pemahaman masyarakat soal penanganan pertama ketika mengalami gigitan ular yang salah besar.

Umumnya, tindakan pertama dilakukan dengan mengikat daerah disekitar area gigitan ular. Tujuannya adalah untuk menghentikan pergerakan bisa ular agar tak menyebar ke seluruh tubuh.

Tindakan lainnya yang sering dilakukan adalah membuat sayatan di dearah gigitan untuk mengeluarkan darah. Tujuanya pun sama, menghindari penyebaran bisa ular.

Menurut Tri, kedua tindakan tersebut salah besar, tidak membantu sama sekali. Bisa ular akan tetap menyebar ke bagian tubuh lainnya.

“Kalau diikat hanya membuat kondisi seolah-olah bisa ular berhenti. Padahal yang diikat adalah pembuluh darah. Akibatnya pembekuan darah hingga amputasi,” kata Tri saat dihubungi, Minggu (10/9/2017).

[

Tri menjelaskan, cara penanganan yang tepat adalah dengan membuat bagian tubuh yang terkena gigitan tak bergerak.

Caranya sebenarnya tak sulit. Anggota tubuh dihimpit dengan kayu, bambu, atau kardus layaknya orang patah tulang.

“Betul-betul tidak bergerak sehingga bisa ular hanya ada di tempat gigitan, tidak menyebar ke seluruh tubuh,” kata Tri.

Bila bagian yang digigit ular telah berhasil diimobilisasi, waktu yang dimiliki untuk pergi ke rumah sakit atau klinik guna mendapatkan perawatan dan antibisa ular sebenarnya cukup lama.

"Anak teman saya di Papua dia kena neurotoksin. Karena tinggal di base camp di atas gunung untuk turun ke Puskesmas butuh 2 hari. Anak ini selamat dengan imobilisasi. Masih hidup sampai sekarang,” ujar Tri.

Tri menambahkan, bila klinik atau tempat kesehatan tak mengetahui jenis bisa ular, siapa pun bisa menghubungi dirinya pada Remote Envenomation Consultan Service (RECS) melalui blog recsindonesia.blogspot.com atau melalui pesan WhatsApp di nomor 085334030409.

Kesalahan penangan pertama terjadi pada Ananda Yue Riastanto (8) yang digigit ular weling (Bungarus candidus) pada 5 Januari 2017 lalu.

Anak asal Peduhukan Dhisil, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Khusus Yogyakarta itu diberikan pertolongan pertama dengan mengikat bagian yang tergigit.

Beruntung, dengan jenis bisa neurotoksin, Ananda masih selamat dari kematian meskipun mengalami enselofati yang berakibat pada kelumpuhan dan ketidakmampuan bicara.

“Neurotoksin memang berakibat lebih fatal karena bisa menimbulkan kelumpuhan otot pernafasan yang berakibat kematian. Kalau hemotoksin kan racunnya menyerang, membuat pendarahan, jadi matinya itu lama. Kalau neurotoksin matinya cepat,” ucap Tri.

Tri menuturkan, saat seseorang dengan luka gigitan ular, tenaga medis harus dapat mengatur jalannya pernafasan. Pasien harus segera dibawa ke inkubasi, dipasang fentilator dan dibantu dengan pernapasan buatan. Jika terjadi gagal jatung, tenaga medis dapat melakukan pijat jantung. {LUTFY MAIRIZAL PUTRA)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved