Ini Dia Upaya Penyelamatan Benteng Terakhir Sungai Mahakam

Sementara, 91 persen wilayah Delta Mahakam berstatus Hutan Produksi, dan sisanya berstatus Area Penggunaan Lain (APL).

Penulis: Rafan Dwinanto |
TRIBUN KALTIM / RAFAN DWINANTO
Berbagai pihak yang peduli dengan Delta Mahakam berkeliling di Pusat Informasi Mangrove (PIM) 

Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Rafan A Dwinanto

TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Delta (muara) Mahakam, menjadi benteng terakhir untuk keberlangsungan Sungai Mahakam yang membelah Provinsi Kaltim.

Dan Selasa (24/10/2017) menjadi momentum penting pelestarian hutan mangrove di Delta Mahakam.

Bertempat di Pusat Informasi Mangrove (PIM), Desa Saliki, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, para pihak yang peduli dengan keselamatan Delta Mahakam, berkumpul.

Mereka berasal dari LSM, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, perangkat Desa Saliki, perusahaan, dan masyarakat, berembuk mengidentifikasi persoalan yang terjadi di Delta Mahakam.

Singkat kata, mereka mengeroyok persoalan di Delta Mahakam.

Sebagai latar, Delta Mahakam terbentang di tiga Kecamatan di Kukar. Yakni Sangasanga, Anggana dan Muara Badak. Delta Mahakam terdiri dari banyak pulau yang terbentuk dari sedimentasi yang terbawa arus Sungai Mahakam.

Luas daratan Delta Mahakam yang terdiri dari pulau-pulau kecil sekitar 106 ribu hektare. 65 ribu hektare, atau 61 persen luas daratan Delta Mahakam, diantaranya dimanfaatkan sebagai tambak oleh warga. 

Delta Mahakam juga masuk dalam kawasan objek vital nasional. Di dalamnya ada tiga perusahaan minyak dan gas. Sebagian kecil kawasan juga dimanfaatkan untuk perkebunan sawit.

Sementara, 91 persen wilayah Delta Mahakam berstatus Hutan Produksi, dan sisanya berstatus Area Penggunaan Lain (APL).

“Tantangan menyelamatkan Delta Mahakam sangat kompleks,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Wahyu Widhi Heranata.

Tantangan besar, yang dimaksud, Didit, sapaan Wahyu Widhi Heranata adalah, menyejahterakan warga dan tetap melestarikan Delta Mahakam.

Sementara, beragam aktivitas di Delta Mahakam membuat 85 persen Hutan Mangrove di kawasan tersebut, dalam kondisi kritis.

Tantangan pelestarian Delta Mahakam terungkap dalam pertemuan tersebut. Salah satunya yang disampaikan Idam Khalid.

Idam, warga Desa Saliki merupakan keturunan ke empat dari keluarganya yang turun temurun menghuni Delta Mahakam. Perubahan status kawasan Delta Mahakam menjadi Hutan Produksi, membuat Idam tak memiliki kepastian lahan. 

Persoalan lain juga diungkapkan Kepala Desa Saliki, Hariyadi. Selain warga tak bisa mengurus legalitas lahan, mangrove yang tumbuh di sekitar tambak juga turut berkontribusi terhadap menurunnya produksi hasil tambak warga.

“Daun yang jatuh ke tambak, itu membusuk dan membuat air tambak jadi asam,” ujar Hariyadi.

Belum lagi persoalan tumpang tindih kepentingan antara tambak, objek vital, pendidikan dan penilitian, serta upaya pelestarian, juga terjadi di Delta Mahakam.

“Delta Mahakam ini benteng terakhir Sungai Mahakam. Supaya tidak terjadi intrusi air laut ke Mahakam. Bayangkan kalau intrusi, kan kita semua jadi susah air. PDAM berhenti berproduksi,” kata Didit.

Didit yakin, pola perhutanan sosial, atau kemitraan masyarakat, perusahaan, LSM dengan pengelola kawasan hutan yang ditunjuk pemerintah, bisa menyelesaikan beragam konflik yang terjadi di Delta Mahakam.

“Siapa bilang di kawasan hutan tidak boleh ada tambak? Boleh kok. Kebun? Boleh. Tapi ada aturannya sesuai UU. Makanya nanti digunakan pola kemitraan dengan pemangku kawasan hutan,” kata Didit.

Sementara, Ketua Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim, Prof Daddy Ruchiyat mengatakan DDPI akan terus mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pelestarian Delta Mahakam. Seperti yang sudah dilakukan Pemprov Kaltim di beberapa kawasan hutan lainnya.

“DDPI mendorong upaya kolaborasi para pihak di Delta Mahakam. Agar wilayah ini jadi wilayah yang hutannya baik, masyarakatnya tetap bisa beraktivitas dan syukur jika ke depan bisa jadi akses wisata,” ucap Daddy.

Konsep pembangunan Kaltim Hijau, lanjut Daddy, bertujuan agar upaya pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi bisa berjalan beriring. “Karena Kaltim menyadari pembangunan ekonomi selama ini menimbulkan dampak. Khususnya degradasi kualitas lingkungan. Termasuk di Delta Mahakam,” tutur Daddy. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved