Tekad Pangeran Arab Saudi Menjadi Negara Islam Moderat Disambut Skeptis, Bagaimana dengan Wahabi?

Klaim Pangeran Mohammad bakal menghadapi sambutan skeptis dari dunia internasional. Sebab, ulama garis keras dinilai masih

Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman bin Abdulaziz Al Saud 

Dikutip dari Wikipedia, Ibnu Abdul Wahhab dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibnu Taymiyyah dan mempertanyakan interpretasi Islam dengan mengandalkan Alquran dan hadits.

Ia mengincar "kemerosotan moral yang dirasakan dan kelemahan politik" di Semenanjung Arab dan mengutuk penyembahan berhala, pengkultusan orang-orang suci, pemujaan kuburan orang yang saleh, dan melarang menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.

Raja Salman berswafoto bersama Megawati dan Puan Maharani saat berkunjung ke Indonesia
Raja Salman berswafoto bersama Megawati dan Puan Maharani saat berkunjung ke Indonesia ()

Ada cerita yang tersisa dari kunjungan Raja Salman dari Arab Saudi beberapa bulan lalu yang mendapat sambutan antusias dari berbagai lapisan masyarakat. Media melakukan liputan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sang Raja.

Dari situlah terlihat bagaimana ia berperilaku atau bagaimana ia merespon beragam sambutan dari masyarakat luas. Secara umum, terlihat bahwa sikapnya moderat, tidak sebagaimana gambaran yang tercipta pada pengikut Wahabi yang terkesan kaku dan memandang segala sesuatu dari sudut halal-haram.

Tak heran kunjungan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengembangkan Islam moderat. Dalam MoU tersebut bahkan ada kata-kata yang menyatakan bahwa keragaman tetap bisa dijaga termasuk juga perbedaan dalam paham keagamaan.

Dikutip dari situs NU, sebagai pemimpin tertinggi dari negara yang menganut wahabisme, tentu tindak-tanduknya mencerminkan sebagian keyakinan yang dianutnya. Kelompok Wahabi di Indonesia selalu merujuk Saudi Arabia sebagai Islam paling otentik, yang mencerminkan tafsir mereka atas teks Al-Qur’an dan Hadits.

Tapi ternyata, ketika melihat perilaku Raja Salman, dalam banyak hal, perilakunya tidak jauh berbeda dengan kebiasaan Muslim Indonesia secara umum. Pakaian yang dikenakannya isbal atau sampai di bawah lutut. Wahabi dan Salafi garis keras selalu menekankan haramnya isbal dengan menyertakan sejumlah dalil untuk menguatkan pendapatnya.

Juga tidak terlihat adanya tanda hitam di dahinya sebagaimana terlihat pada kelompok Wahabi di Indonesia. Sudah jamak di Indonesia, shalat selalu menggunakan sajadah. Lalu bagaimana bisa muncul tanda hitam tersebut? Itu yang masih menjadi pertanyaan. Para kiai NU yang menghabiskan malam-malamnya dengan tahajud pun nyaris tidak terlihat ada tanda hitam di keningnya.

Hal lainnya, Raja Saudi Arabia ketujuh ini pada saat pertemuannya dengan Jokowi menyampaikan maksudnya ingin bertatap muka dengan cucu Soekarno. Ia memiliki kenangan indah dalam perjumpaannya dengan presiden pertama RI ini dengan kalimatnya saat berpidato, yaitu “saudara-saudara”.

Saat dipertemukan dengan Puan Maharani dan Megawati Soekarnoputri, mereka pun bersalaman dan menerima permintaan untuk berswafoto tanpa canggung. Foto itu akhirnya viral karena mampu menunjukkan sisi kemanusiaan di antara para pemimpin, bukan foto formal berjajar bersama di antara para tokoh yang merupakan sesi resmi dalam setiap kunjungan antar pemimpin pemerintahan.

Bagi kelompok Wahabi dan Salafi, bersentuhan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dianggap berdosa.

Apakah Raja Salman tidak cukup memahami ajaran Islam sehingga berperilaku seperti itu?

Tentu naif jika mempertanyakan hal tersebut. Ia diajar oleh ulama-ulama istana nomor satu dalam sekolah khusus untuk para pangeran. Bahkan pada usia 10 tahun ia sudah mampu menghafalkan Al-Qur’an 30 juz. Satu prestasi istimewa yang bagi orang Timur Tengah sebagai pengguna bahasa Arab pun susah dicapai.

Jika Arab Saudi berusaha menjadi lebih moderat dan membuka diri dengan dunia luar, kelompok-kelompok Wahabi di Indonesia ingin menjadikan Indonesia seperti Saudi Arabia yang konservatif. Indonesia yang secara alamiah merupakan wilayah terbuka akan dijadikan wilayah yang secara sosial tertutup dan tersegregasi.

Laki-laki dan perempuan dipisahkan, ada pemisahan identitas antara kami dan mereka untuk atas dasar perbedaan pemahaman agama.

Jika di Saudi Arabia berusaha memperluas akses perempuan terhadap kehidupan publik, kelompok Wahabi di Indonesia berusaha mengurangi akses perempuan dalam kehidupan publik dengan berbasis tafsir-tafsir agama yang di Saudi Arabia sendiri kini dipertanyakan keabsahannya. Visi Saudi 2030 salah satunya mendorong keterlibatan perempuan dalam dunia kerja dari 22 persen menjadi 30 persen.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved