Wanita Ini Bukan Bidan, tapi Perannya Menangani Ibu Hamil di Kampungnya Sungguh Luar Biasa
Perempuan asal Sulawesi Selatan ini, sudah menghabiskan separuh usianya untuk menolong para ibu hamil di kampungnya.
Rohani berprinsip, sesama perempuan harus saling memperhatikan. Ibu enam anak ini juga mengaku, yang dilakukannya hanyalah bagian dari kasih dan kepeduliannya terhadap mereka.
Tak ada bayaran sepeser pun. Hanya kelegaan dan bahagia, melihat ibu hamil yang ditolongnya bisa melahirkan dengan pertolongan bidan. Ibu dan anak juga dalam keadaan sehat.
Ia sendiri merasakan perbedaan yang berarti di masyarakat, sebelum dan sesudah ia menjadi relawan.
Misalnya kesadaran untuk anak-anaknya diimunisasi. Hasilnya, anak-anaknya terlihat lebih sehat dan pintar.
Melihat kondisi anak-anak Rohani, para ibu di desanya akhirnya termotivasi. Mereka lebih terbuka terhadap Posyandu dan berkonsultasi ke Puskesmas.
Melahirkan dalam perjalanan
Rohani mengatakan, jarak antara desanya dengan Puskesmas yang hanya 3-4 jam sudah cukup bagus.
Masih banyak desa yang lebih jauh lagi. Seperti desa Mak Lenteng di kabupaten Gowa. Dulu sebelum ada kendaraan, mereka harus enam jam berjalan kaki dari desanya menuju Mak Lenteng.
Pernah satu kali, Rohani menolong salah seorang ibu hamil dari sana. Dalam perjalanan, si ibu keburu melahirkan, di atas tandu darurat yang mereka buat.
Awalnya mereka tidak menyadari. Tapi ketika mengetahuinya, mereka pun mempercepat langkah menuju Puskesmas.
Mereka tidak ingin mengambil risiko memotong plasenta di jalan.
Baru sesampainya di Puskesmas, ibu dan bayi langsung ditangani petugas kesehatan. Kejadian ini, sebut dia, beberapa kali terjadi sebelum ada angkutan menuju Mak Lenteng.
Tapi Rohani bersyukur, selama kiprahnya menjadi relawan, tidak ada satupun ibu hamil yang harus meninggal di jalan.
Di sela-sela kesibukannya menjadi relawan, Rohani berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keluarganya menanam cabai, kunyit, dan sayuran.
Setiap panen kunyit, bisa sekitar 20 karung. Lalu Rohani akan membawa ke pasar untuk dijual.
Uniknya, di pasar, Rohani tidak hanya berjualan. Tapi juga mengingatkan ibu-ibu hamil di pasar untuk datang ke Puskesmas.
“Biasanya saya datangi ibu hamil itu dan bertanya apakah dia sudah periksa kehamilan ke Puskesmas atau belum, “ ujarnya polos.
Kalau belum, ia akan menawarkan bantuan untuk menemani si ibu. Soalnya Rohani paham betul, banyak ibu hamil yang takut datang ke Puskesmas.
Karena kebiasaannya itu, di pasar ia selalu disegani. Setiap kali ia datang untuk berjualan, orang-orang di pasar berbisik-bisik. “Itu Puang Tene, si kader,” kata mereka.
Artinya hampir semua orang sudah mengenal Rohani sebagai relawan di Puskesmas.
Siap sedia kapan saja
“Terkadang aktivitas memasak di dapur pun ditinggalkan ketika mendadak ada warga yang mau melahirkan,” kisah Rohani.
Ia sepenuhnya sadar, relawan harus siap sedia kapan pun dibutuhkan. Dedikasinya terhadap kesehatan ibu hamil ini memang butuh pengorbanan.
Akan tetapi, aku Rohani, selama kakinya masih bisa berdiri dan tubuhnya masih sehat, ia tidak akan berhenti dari pekerjaan baik ini.
Niatnya tulus untuk membantu sesama. Apalagi kebanyakan warga juga merasa terbantu dengan kebaikan hati Rohani.
Mereka merasa lebih nyaman kalau datang ke Puskesmas bersama si Puang Tene.
Rohani memang selalu berusaha mendapatkan hati para ibu itu.
Misalnya dengan perlakuan yang lemah lembut dan pendekatan yang tidak membuat para ibu semakin enggan datang ke Puskesmas.
Walau tidak mendapat imbalan, Rohani ikhlas dalam aksinya. Bagi dia, rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan.
Sehingga ia tidak pernah merasa rugi ketika menolong orang lain. Bagi Rohani yang tahun lalu melayani enam ibu hamil ini, rezeki bukan melulu soal uang.
Karena rupanya kebaikannya juga berbalas kebaikan.
“Kadang ketika saya sakit, warga yang pernah saya tolong datang ke rumah untuk membantu saya dalam pekerjaan rumah tangga,” kata Rohani dengan tatapan penuh syukur.
Pernah dicibir
Begitulah kehidupan, walau kita melakukan perbuatan baik, kadang-kadang juga masih dicibir.
Rohani juga tidak luput dari itu. Berhubung karena secara garis keturunan, Rohani berasal dari keturuan darah biru, namanya keturunan Balasuka.
Sebetulnya jika diukur dari kasta masyarakat setempat, seharusnya ia tidak pantas menolong kaum lain. Itulah sebabnya, sapaannya Puang.
“Ada yang bilang, Puang Tene keturunan raja, mau-maunya menyusahkan diri tengah malam untuk bantu orang lain,” ujar Rohani.
Tapi omongan orang itu diabaikan Rohani. Ia sudah mantap untuk menolong orang lain tanpa memandang golongan.
Selain itu, keluarga intinya sangat mendukung aktivitasnya. Suami dan anak-anaknya sekalipun tidak pernah mengeluh.
“Makan nasi dengan garam dan lombok saja mereka mau, ketika saya tidak sempat memasak untuk mengantar ibu hamil,” tutur lulusan SMP Negeri Tembolok Pao ini.
Pertemuan Intisari dengan Rohani saat itu adalah untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Jakarta.
Sekaligus merupakan pengalaman pertama bagi anak ketiga dari 10 bersaudara ini naik pesawat terbang.
Dan hatinya bangga, sebab di hadapan banyak orang, ia menerima penghargaan dari GE Healthcare dan Women in Global Health sebagai The Heroines of Health, bersama dengan 13 perempuan pejuang kesehatan lainnya dari 11 negara di dunia.
“Saya sangat bersyukur, terima kasih,” pungkasnya dengan mata berkaca-kaca.
Tetap semangat melanjutkan perjuanganmu Puang Tene!
Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia tinggi
Jika satu pesawat mengalami kecelakaan, setidaknya 200-300 orang bisa jadi tewas dalam peristiwa itu.
Dan seluruh dunia akan menaruh perhatian terhadap peristiwa tersebut.
Sedangkan kejadian kematian ibu karena kehamilan, melahirkan, dan nifas mencapai 4.912 kasus di Indonesia pada 2016.
Namun, kata Dr. Eni Gustina, MPH, Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), tidak banyak yang menaruh perhatian terhadap tingginya angka kematian para ibu hamil itu.
Bukan berarti mengecilkan peristiwa pesawat, namun Eni menggambarkan betapa kurangnya perhatian banyak pihak mengenai keselamatan ibu ketika hamil dan melahirkan.
Salah satu penyebab mengapa kasus kematian ibu begitu tinggi di negeri kita adalah masih belum meratanya fasilitas dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil.
Kurangnya akses untuk periksa kehamilan dan melahirkan di pusat pelayanan kesehatan, membuat banyak ibu yang tidak menerima pelayanan maupun pertolongan medis.
Karena itu aksi yang dilakukan oleh Rohani, sangat diapresiasi Kemenkes RI.
Eni berharap akan ada Rohani-Rohani lain dapat berkontribusi di daerah-daerah yang belum terjangkau pelayanan kesehatan.
Kontribusi sederhana namun berdampak besar seperti yang dilakukan Rohani, harapannya dapat menginspirasi banyak orang untuk peduli terhadap kesehatan ibu hamil.
Dengan begitu, angka kematian ibu-bayi di negeri kita dapat berkurang.
(Ditulis oleh Tika Anggreni Purba. Seperti dimuat di Majalah Intisari edisi November 2017)
Artikel ini telah ditayangkan Intisari Online dengan judul Bukan Bidan, Apalagi Dokter, Tapi Wanita Ini Sering Jadi Pahlawan Bagi para Ibu Hamil di Kampungnya