Tak Cuma Maknyus Loh, Bondan Pernah Pusing Dituntut Rp2 Triliun Saat Bongkar Skandal Emas Busang
Bondan encoret skenario bunuh diri dari kemungkinan penyebab kematian de Guzman. Ia menyodorkan hipotesis lain: kematian de Guzman adalah palsu
TRIBUNKALTIM.CO - Bondan Winarno, akrab disapa Pak Bondan (67). Ia menghembuskan nafas terakhir di RS Harapan Kita, Rabu (29/11/2017) pagi karena penyakit jantung.
Namanya dikenal luas sejak menjadi penulis dan presenter kuliner, engan mengajak pemirsa berkliling ke senatero negeri, bahkan luar negeri.
Ia terkenal dengan tagline "pokok'e maknyus". Rekan almarhum selaku sesama pakar kuliner, Arie Parikesit mengungkap Bondan memiliki riwayat penyakit jantung.
"Beliau memang ada riwayat jantung," kata Arie saat dihubungi pada Rabu (29/11/2017), sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com.

Namun menurut Arie, Bondan juga memiliki penyakit komplikasi. Ia belum dapat memastikan hal tersebut. "Sepertinya juga ada komplikasi (penyakit) lain. Aku belum bisa memastikan (penyakit lain)," lanjut dia.
Tahukah kamu, selain dikenal sebagai penulis dan presenter kuliner, almarhum juga seorang wartawan yang andal. Bahkan tidak sedikit yang mengakuinya sebagai kampiun jurnalis investigasi.
Salah satu hasil investigasinya yang menggemparkan adalah penelusurannya di balik kematian Michael De Guzman, geolog dan manajer eksplorasi Bre-X., 19 Maret 1997. Geolog sempat menghebohkan dunia karena temuan kandungan emas di Busang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, yang diklaim sebagai yang terbesar sejagad.
Hari itu Guzman dikabarkan jatuh. Tak ada yang menyangka, ia terjatuh dari helikopter Alouette III yang membawanya dari bandara Temindung, Samarinda ke base camp tambang emas Busang di desa persiapan Mekarbaru, Busang.
Empat hari setelah insiden itu, jenasah de Guzman ditemukan tertelungkup di dekat rawa pada petak 85 areal penebangan hutan milik PT. Sumalindo Group oleh tim SAR. Jenasahnya ditemukan Martinus, seorang karyawan Bre-X, dan sulit dikenali karena sebagian mata dan sebagian pipinya telah hilang membusuk.
Menurut dokter yang melakukan otopsi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, identifikasi semata-mata didasarkan pada pakaian yang dikenakan dan gambaran umum ciri-ciri tubuh si mati seperti dinyatakan oleh orang-orang yang mengenal de Guzman.
Tapi Bondan tidak mau percaya begitu saja. Ia bersikap skeptis, menduga Michael De Guzman masih hidup, hingga melakukan penelusuran ke sejumlah kota di Kanada hingga Filipina.
Hasil investigasinya ia tuangkan dalam sebuah buku Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Terbit tahun 1997 di era pemerintahan Soeharto. Buku itu disebut-sebut sebagai salah satu laporan investigasi terbaik. Namun tidak banyak yang bisa membacanya, karena keburu "hilang" dari banyak toko buku.
"Melalui email pula, saya minta tolong mantan pemimpin redaksi Suara Pembaruan itu mengirimkan kepada saya foto kopi bukunya yang berjudul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi itu.," tulis Oryza Ardyansyah Wirawan, kontributor sindikasi majalah Pantau.
Melalui review berjudul Bre X, yang terbit di Pantau, 10 tahun kemudian, Oryza menyebut buku Bondan ini sempat membuat malu pemerintah Indonesia di tahun-tahun terakhir menjelang runtuhnya rezim Soeharto. Sebuah buku yang ditulis berdasarkan liputan panjang yang melelahkan, yang menyingkap topeng para aktor skandal tersebut.
Oryza bercerita, tak disangka, Bondan membalas emailnya begitu lekas. Ia berjanji segera mengirimkan satu eksemplar buku tersebut.
“Sebagai rasa solidaritas sesama jurnalis,” kata Oryza menirukan ucapan Bondan.
"Buku itu saya terima dengan hati berbunga-bunga. Di halaman sampul bagian dalam terdapat tanda tangan Bondan dengan tulisan “Untuk Oryza”. Dan saya mulai membuka halaman pertama, bab pertama: sebuah petikan dari karya Mark Twain."
A mine is a hole in the ground owned by a liar. Sebuah tambang tak ubahnya sebuah lubang dalam tanah yang dipunyai seorang penipu. Kisah sang penipu. Itulah inti cerita Bondan.
Penemuan jenasah de Guzman memicu Bondan Winarno untuk mulai menulis buku tentang Bre-X. Penemuan jenasah di tengah hutan Kalimantan yang dikenal sangat lebat dalam waktu tak sampai sepekan itu terasa aneh.
“Kondisi tubuh yang dideskripsikan dalam berita itu juga tidak cocok dengan kondisi tubuh seseorang yang jatuh dari ketinggian 800 feet. Dari sepotong info ini, saya membuat satu kesimpulan berdasar professional skepticism bahwa semua cerita ini adalah palsu. Karena itu saya sangat berminat melakukan investigasi,” kata Bondan dalam sebuah emailnya kepada Oryza.
Bondan mengatakan bahwa investigasi itu adalah keisengan di tengah sepinya bisnis perusahaan tempat di mana ia menjadi presiden direktur. “Seingat saya, total waktu investigasi sekitar 4 minggu. Naskah sudah selesai saya tulis 8 minggu setelah mulai investigasi, dan dicetak dalam waktu 2 minggu,” kata Bondan lagi dalam email.
Selain membongkar bertumpuk dokumen dan referensi lain, Bondan juga berburu narasumber di Jakarta, Samarinda, Balikpapan, Busang, Manila, Toronto, Calgary. Ia harus dua kali ke Busang, sekali ke Manila, dan sekali ke Toronto dan Calgary di Canada. Ia menghubungi kurang lebih 30 narasumber.
Tidak semua narasumber bersedia memberi keterangan resmi kepadanya. Apalagi, ia hanya bekerja sebagai jurnalis independen waktu itu, tanpa media yang menaunginya.
Modalnya adalah sopan santun dan kerendahan hati dalam melakukan wawancara, sehingga banyak pihak yang bersedia bicara. Bahkan, dalam pengantar bukunya, Bondan mengaku bertemu dengan sejumlah “Deep Throats” di lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi dan Bre-X.
Berdasarkan temuan-temuan di lapangan ini, Bondan pun mencoret skenario bunuh diri dari kemungkinan penyebab kematian de Guzman. Ia menyodorkan hipotesis lain: kematian de Guzman adalah palsu.
Di mata Bondan, pria berusia 41 tahun itu tidak memiliki profil seseorang yang berkeinginan melakukan bunuh diri. Ia justru menyebut de Guzman sebagai penikmat kehidupan. De Guzman menikahi sejumlah perempuan, di antaranya warga Indonesia dan dikenal royal dalam urusan harta.
Adik de Guzman, Jojo de Guzman, juga menyangsikan sang abang bunuh diri. “Dia tak punya alasan untuk bunuh diri. Dia punya keluarga yang menyenangkan dengan enam orang anak yang manis,” katanya.
Kematian de Guzman masih misteri. Namun, Bondan bersikukuh pada tesisnya soal kematian palsu.
“Kalau saya benar-benar menganggur dan tidak punya urusan lain, saya akan mencari Michael de Guzman. Saya punya beberapa lead menuju ke sana. Michael telah menyengsarakan begitu banyak orang (khususnya pensiunan) di Kanada karena memakai semua tabungan mereka untuk membeli saham Bre-X,” kata Bondan kpada Oryza.
Sayangnya, kendati sudah memiliki petunjuk tentang de Guzman, Bondan ternyata tidak berniat untuk membuat sekuel tentang skandal Busang. “Tidak. Tidak ada gunanya,” katanya kepada saya.
Jangankan menulis sekuel, terjemahan bahasa Inggris buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi yang sudah selesai disunting Wendy Thomas (Kanada) pun urung diterbitkan.
“Saya tidak bersedia menghadapi lembaga peradilan yang korup di Indonesia. Untuk masalah buku ini saya sudah hilang banyak uang,” katanya.
Saat diterbitkan pertama kali, bukunya langsung dicekal oleh seorang yang berpengaruh di masa Orde Baru melalui tangan hukum. Sang pejabat bahkan berani mengganti biaya operasional Bondan untuk menerbitkan buku itu, asal ia tidak diedarkan.
Dengan penuh rasa frustasi, Bondan pernah berniat menghancurkan 5.000 eksemplar buku yang tersisa. Namun turunnya Soeharto pada Mei 1998 membuat optimismenya bangkit. Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi kembali diedarkan dalam situasi yang lebih bebas. Pada Juni 1998, buku itu beredar di pasaran.
Namun, kebebasan itu belum sepenuhnya terbuka. Kali ini Bondan justru diserang lewat lembaga peradilan. Ia dituntut Rp 2 triliun oleh mantan Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana yang menuduhnya mencemarkan nama baiknya.
Selain itu, Bondan juga dituntut memasang iklan permintaan maaf di 10 media cetak di Jakarta dan dua koran di Bali.
Beberapa dosa Bondan di mata Sudjana, antara lain menyangkut konklusi yang ditulis dalam buku Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi mengenai “kesalahan” pada proyek kerja sama antara Bre-X dengan mitra domestik PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.
Sudjana menggunakan apa yang tertulis di halaman 186-187, tepatnya dalam bab 8 ‘Ida Bagus Sudjana’, untuk menghantam Bondan. Dalam bab itu, Bondan menulis tentang inkonsistensi Sudjana dalam menangani Busang dan soal permintaan setoran dana Rp 50 miliar ke rekening Pak Menteri.
Kendati merasa yakin sudah menyajikan fakta, tuntutan Rp 2 triliun membuat Bondan pusing juga. Kepada Tempo, ia mengaku stres. “Angka nolnya saja ada dua belas,” ujar pria yang saat itu tengah menjadi konsultan Bank Dunia di Jakarta.
[A Bintoro, dari Tribunews, Pantau, dan sumber lainnya]