Tinggal 8 Tahun di Mentawai Indonesia, Pria Bule Ini Mendapatkan Jati Dirinya
Tidak tanggung-tanggung, Henry sudah menetap di sana selama lebih dari delapan tahun.
TRIBUNKALTIM.CO - Menemukan jati diri tidak mesti di tanah kelahirannya sendiri. Bagi sebagian orang, jati diri itu muncul justru di tempat yang jauh dari asalnya.
Bule Australia Rob Henry ini membuktikannya.
Laki-laki asal Melbourne ini dulunya bekerja sebagai peselancar.
Namun, kini dia memilih tinggal di kepulauan Mentawai yang terletak di lepas pantai barat Sumatera bersama penduduk asli suku bangsa Mentawai.
Tidak tanggung-tanggung, Henry sudah menetap di sana selama lebih dari delapan tahun.
Hal ini dilakukan Henry tak lama setelah krisis keuangan global mengguncang dunia pada tahun 2008.
Buatnya, krisis ekonomi ini menjadi katalisator untuk memikirkan kembali caranya menjalani kehidupan.
“Saya perlu menjauh dari sana (Melbourne) dan melihat apa arti kehidupan. Saya merasakan ada sesuatu yang mungkin lebih bermakna dan ada cara hidup yang lebih baik. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan Melbourne dan mencari hal itu,” kata Henry seperti dikutip dari ABC, Kamis (14/12).
Mula-mula Rob memang tidak langsung menuju ke Mentawai.
Dia mengunjungi Indonesia untuk berselancar di sebuah resor dan melakukan pekerjaan terkait proyek film.
Sampai akhirnya, dia bertemu seseorang yang membuatnya kembali berpikir tentang kehadirannya di dunia.
“Dia seorang anak muda asli Mentawai bernama Andy yang sudah bekerja di resor itu selama setahun. Dia memiliki hubungan luar biasa dengan tempat itu (Mentawai) yang kemudian membuat saya berpikir, jangan-jangan budaya dan kebebasan yang selama ini dipahami justru sebenarnya adalah sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama ini,” jelasnya.
Baca: Sebelum Nikahi Anaknya, Ibunda Salmafina Sempat Titip Pesan ini ke Taqy, Bikin Nangis
Baca: Terenyuh, Anak-anak Bisu Berdoa Sebelum Makan, Netizen: yang Tinggal Ucap Aja Kadang Suka Lupa
Bertemu dengan Andy dirasa Henry sebagai sesuatu yang sangat menyegarkan.
Membangkitkan rasa penasarannya untuk merasakan langsung.

“Saya ingin tahu apa yang dialami dan diketahuinya, yang tidak kita ketahui,” sambungnya.
Menyanggupi rasa penasarannya, Henry benar-benar datang ke desa nelayan terpencil untuk tinggal bersama penduduk asli Mentawai yang telah hidup di sana selama ribuan tahun dan sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.
“Saya tertarik tinggal di desa yang jauh dari pariwisata. Saat saya menginjakkan kaki pertama kali, saya tidak tahu banyak tentang daerah itu. Apalagi saya tidak mengerti bahasa mereka. Datang ke sana (Mentawai) begitu luar biasa, menakutkan sekaligus menantang,” ujarnya.
Kekayaan tradisional yang terpendam
Seiring berjalannya waktu dan segala proses yang dilakukannya untuk mendekatkan diri dengan penduduk lokal, akhirnya Henry dapat memahami bahasa daerah yang digunakan suku bangsa Mentawai.
Baca: Rayakan Ulang Tahun, Imigrasi Tetap Buka Layanan Paspor di Hari Minggu
Sangat diterima dalam masyarakat di sana, Henry juga menjalankan sejumlah ritual adat agar tubuhnya bisa ditato seperti yang dimiliki orang Mentawai.
Tato yang disebut Titi ini merupakan tato tertua di dunia, yang diperkirakan sudah dirajah ke tubuh orang Mentawai saat mereka mendarat di pantai barat Sumatera pada Zaman Logam (1500 SM-500SM).
Dia juga mempelajari lebih banyak tentang sistem kepercayaan suku bangsa Mentawai yang disebut Arat Sabulungan.
“Mereka mempercayai bahwa semua hal di alam memiliki jiwa dan jika manusia akan meninggal, jiwa mereka akan kembali ke alam dan menjadi bagian dari alam,” jelasnya.
Sayangnya, saat ini tidak semua orang Mentawai meneruskan pesan luhur ini.
Generasi baru mulai mengikis cara hidup tradisional orang Mentawai.
Baca: Suami Pergi Berlayar, Ibu Muda Asyik dengan Gigolo, Begini Akhirnya
Baca: Remaja Cantik Nekat Bunuh Diri, Alasannya Bikin Miris
“Semakin menghilang. Hal ini masih hidup di kalangan tetua, mereka ingin terus meneruskannya kepada generasi berikutnya,” ujarnya.
Menurut Henry, orang Mentawai saat ini sudah dapat hidup secara bebas, berbeda dengan para leluhur mereka.
Selama Henry tinggal di sana, dia membuat film dokumenter yang diberi judul As Worlds Divide.
Dia berharap film perjalanan delapan tahunnya dapat menyoroti bagaimana kehidupan asli orang Mentawai.
“Saya belajar banyak. Saya belajar betapa hanya sedikit yang diperlukan untuk bahagia. Hal itu jelas bukan berasal dari materi. Benar-benar dari dalam diri sendiri dan hubungan kita dengan keluarga dan teman. Saya pikir bagi semua kebudayaan asli, hal itulah yang menyebabkan mereka bisa bertahan selama puluhan ribu tahun,” papar Rob Henry.
Artikel ini telah ditayangkan Intisari Online dengan judul Bukan di Negara Aslinya Sana, Bule Australia Ini Justru Menemukan Jati Dirinya di Mentawai Indonesia