Hari Pendidikan Nasional
Sekarang Hari Pendidikan Nasional, Begini Sikap Teladan Ki Hajar Dewantara
Melalui Boedi Oetomo, pemuda aktivis sosial dan politik itu gencar menggugah kesadaran pribumi tentang pentingnya persatuan dan kesatuan.
Diasingkan dari bangsanya sendiri tak membuat Soewardi patah arang. Ia justru membangun mimpi untuk memajukan anak-anak bangsanya lewat jalur pendidikan.
Wartawan sekaligus aktivis politik itu berminat pada pemikiran-pemikiran tokoh pendidikan Barat, seperti Montessori dan Froebel.
Namun, pemikiran para tokoh pendidikan dari Timur seperti Tagore juga diserapnya dengan baik.
Pemikiran-pemikiran besar dari para tokoh itulah yang disarikan sebagai sistem pendidikan yang kelak diterapkan di negerinya.
Berbekal Europeesche Akta, ijasah pendidikan bergengsi yang berhasil diraihnya di Belanda, ia pun merintis lembaga pendidikan bagi kaum pribumi.
Selesai menjalani pembuangan, Soewardi kembali ke Hindia Belanda pada September 1919. Ia pun masuk dalam lembaga pendidikan yang diasuh kerabatnya.
Sekolah pribumi
Pada usia 40 tahun berdasarkan penanggalan Jawa, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Dua siswa SD Wanajaya di Desa Cikancana, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur berdiri di dekat kebun sekolah yang diberikan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian terkait program Bantuan Kemiskinan Rakyat Sejahtera. Program itu diresmikan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, di Desa Cikancana, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Senin (23/4/2018).
Ia memilih tidak lagi menyematkan gelar kebangsawanan Jawanya agar tak berjarak dengan rakyat.
Dengan begitu, ia berharap rakyat jelata bisa lebih nyaman mengikuti pendidikan di Perguruan Tamansiswa yang didirikan pada 3 Juli 1922.
Berkat perjuangannya di bidang pendidikan, hari lahirnya pada 2 Mei diresmikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Dalam mendidik, Perguruan Tamansiswa berfokus agar siswa berbudi pekerti luhur, menganut asas kerakyatan, serta menjunjung tinggi rasa kebangsaan.
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” semboyan itu dihayati Ki Hadjar Dewantara dalam menjalankan sistem pendidikan di Perguruan Nasional Tamansiswa.
Semboyan yang bila diterjemahkan secara ringkas bermakna, “Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan” itu dijadikan acuan para guru Indonesia dalam mendidik siswa.
‘Sang Guru’ bagi para guru