Teror Bom Surabaya
Ajak Istri dan Anak-anak Ikut Bom Bunuh Diri, Begini Sejarah Terbentuknya Keluarga Teroris
Pelaku bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya, Minggu (13/5/2018) adalah enam orang yang merupakan keluarga, ibu, ayah, dua anak laki-laki.
Hal ini dapat dilihat ketika Abdullah Azzam menikahkan anak perempuannya dengan anak didiknya, Abdullah Anas dari Aljazair.
Baca: Tingkatkan Kewaspadaan dan Tatib, Pomdam Gelar Operasi Gaktib
Juga ada Abu Muzab al-Zarqawi yang menikah dengan saudari sahabat dekatnya, Khaled al-Aruri.
"Di Indonesia Ali Ghufron menikah dengan Paridah Abas, saudara perempuan Nasir Abas sesama alumni Afghan. Baridin atau Baharuddin Latif juga menikahkan anak perempuannya Arina Rahma dengan Noordin M Top, dan banyak lagi contoh lainnya," sambungnya.
Menurutnya, kedekatan persaudaraan dan pernikahan lebih efektif digunakan oleh pelaku teroris untuk membentuk jaringan karena adanya pengaruh psikolog yang mengikat dan saling menguatkan satu sama lain.
Saling menguatkan di sini berarti afektif dan kognitif.
Afektif karena kedekatan sebagai keluarga.
Kognitif karena kedekatan itu dimanfaatkan untuk menjamin loyalitas dan sebagainya.
"Dengan metode itu, mereka bukan saja menjadi (sesama) anggota sebuah kelompok teroris, tapi mereka juga menjadi saudara sekeluarga (a family relative)," imbuhnya.
Selain itu, saat seseorang telah menjadi keluarga maka akan lebih mudah membangun kepercayaan dibanding dengan orang lain.
Dengan kondisi para teroris yang dalam pengawasan aparat, gerak-gerik mereka dibatasi.
Sebab itu, mereka harus berhati-hati saat ingin menambah anggota.
Maka dari itu, pilihan yang tidak terlalu berisiko adalah memanfaatkan kekeluargaan atau melalui pernikahan.
Mengapa anak-anak dilibatkan menjadi teroris?
Kejadian serupa juga tak hanya terjadi kali ini.
Otak pelaku bom Paris, Abdel Abaoud juga mengajak adiknya Younes Abaaoud yang masih berusia 12 tahun saat itu untuk berangkat ke Suriah bergabung dengan ISIS.