Sidang Kasus RPU, Ada Undangan Rapat Mendadak Jelang Perubahan Anggaran
Sidang lanjutan pembacaan berkas dakwaan kasus dugaan korupsi rumah potong unggas (RPU) di Balikpapan kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Sidang lanjutan pembacaan berkas dakwaan kasus dugaan korupsi rumah potong unggas (RPU) di Balikpapan kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Samarinda, Rabu (7/11).
Kali ini giliran tiga terdakwa, Rat (mantan Kasi Kesehatan Masyarakat Veteriner DPKP), Slm (masyarakat penerima ganti rugi lahan), dan Cha (mantan Kepala DPKP Kota Balikpapan).
Sidang pembacaan dakwaan mengungkapkan adanya perubahan usulan anggaran dari Rp 2,5 miliar menjadi Rp 12,5 miliar.
Sidang dengan nomor registrasi perkara 47-49/Pid-Sus-TPK/2018/PN Smr ini dipimpin Majelis Hakim Tipikor yang diketuai Joni Kondolele, didampingi hakim anggota Burhanuddin dan Ukar Pryambodo.
Baca: Investigasi Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi UGM; Kronologi hingga Munculnya Petisi Online
Dalam dakwaan Cha yang dibacakan Anggota Jaksa Penuntut Umum Melva, menjelaskan, kasus ini bermula pada 2014 lalu. Kala itu, DPKP Balikpapan di bawah pimpinan Cha mewacanakan pembangunan RPU di Balikpapan.
Alasannya, karena sesuai strategi DPKP 2011-2016 tentang peningkatan produksi hasil peternakan. Cha secara berjenjang memerintahkan bawahannya, terdakwa lain, Nor (Kabid Kehewanan dan Peternakan) dan Rat (Kasi Kesehatan Masyarakat Veterneir) menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) terkait pembebasan lahan itu.
Perintah ditindaklanjuti oleh Nor dengan penyusunan dan berkonsultasi soal studi lokasi lahan. Hasilnya, untuk pembangunan RPU dibutuhkan lahan sekitar 5,3 hektare. Belakangan, penyidik menemukan, usulan ini tidak ada kaitanya dengan strategi DPKP 2011-2016 itu.
"Bahwa indikator kinerja pengadaan lahan RPU tidak ada kaitannya dengan kinerja program peningkatan produksi hasil peternakan," kata Melva di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda.
Usulan itu, disusutkan Pemkot Balikpapan menjadi Rp 2,5 miliar dan baru diusulkan pada APBD murni 2015. Ia (Cha), saat itu menjabat Kepala DPKP memerintahkan bawahannya, terdakwa lainnya yakni Nor (Kabid Kehewanan dan Peternakan) membuat usulan RPKD proyek RPU.
Untuk menindaklanjuti itu, melakukan studi lokasi pada Mei 2014 dengan hasil pembangunan RPU membutuhkan lahan sekitar 5,3 hektare.
Proses itu berlanjut, kata Melva, pada 23 November 2014 ada undangan rapat via telepon dari Sekretaris DPRD Kota Balikpapan kepada Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) waktu itu, dengan alasan tidak terjadwal dan mendadak.
"Rapat tersebut dilakukan di ruang Ketua DPRD Balikpapan dihadiri saksi Abd dan lain-lain. Setelah ada arahan, tim TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) langsung melaporkan ke saksi dan menyetujuinya."
Baca: Pangdam Lantik 5 Pejabat Baru Kodam VI Mulawarman, Ini Pesannya Hadapi Tahun Politik 2019
"Tim TAPD mengubah lampiran PPAS (Prioritas Plafon Anggaran Sementara) yang sudah disepakati saksi Walikota Rizal Effendi dan pimpinan DPRD sebagai nota kesepakatan antara Pemkot dan DPRD Balikpapan." urai Melva.
Berdasarkan arahan dari salah satu anggota tim TAPD, Cha langsung memerintahkan Rat membuat Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dengan target kinerja pembebasan lahan RPU antara 4-5 hektare dengan nilai Rp 12.5 miliar.
Dalam rapat pembahasan pendapatan asli daerah bersama banggar DPRD pada 24 November 2014, RKA ini menuai pertanyaan. Sebab, tidak pernah dibahas mengenai kenaikan anggaran dari Rp 2,5 miliar menjadi Rp 12,5 miliar.
"RKA ini penurunan indikator, sesuai dengan lampiran Kemendagri no 99 (2004-red)," kata Melvi membacakan surat dakwaan itu.
Bulan berikunya Cha, dimutasi menjadi Asisten III Pemkot Balikpapan pada 6 Desember 2014. Posisi Cha digantikan oleh terdakwa lainnya, M.Yos. Hingga, terbit dokumen pelaksananaan anggaran RKA, berupa buku pengadaan lahan RPU dengan anggaran Rp 12,5 miliar pada tahun anggaran 2015.
Setelah itu, mengadakan rapat pengadaan lahan bersama Rat dan Nor awal Februari 2015. Keduanya, ditugasi melakukan teknis lahan milik Slm atas nama nama segel Romsyah itu. Hasilnya, disetujui lahan hanya bisa terpakai 12.176 meter persegi, dan tidak ada alternatif lain.
Baca: Indonesia Kalahkan Inggris untuk Kedermawanan
Begitu juga, keduanya berhasil memegang surat segel lahan tertanggal 29 Maret 1975 atas nama Ramsyah, beserta surat perjanjian jual-beli antara Ramsyah kepada terdakwa SL Februari 2006.
"Surat (segel tanah) Februari 29 Maret 1975 dan surat perjanjian jual beli, awal Februari 2006 itu palsu, karena dibuat oleh saksi Rusdiana, Selamat dan Amros pada awal Januari 2015," ungkap Melvi.
"Yos dan tim pengadaan lahan, tidak pernah melakukan inventarisasi penelitian mengenai kebenaran dan asal usul tanah berdasarkan surat segel atas nama Romsyah seluas 4,6 hektare itu," lanjut Melva lagi.
Hingga akhirnya, keluar formulir persetujuan bersyarat pembebasan lahan seluas 25.578 meter persegi saja, karena sebagian lainnya masuk kawasan zona penyangga. Hal itupun, ditindaklanjuti dengan menunjuk jasa konsultasi penilai lahan. Hingga 18 September 2015, terbit surat perintah pencairan dana pembebasan lahan sekitar Rp 11,2 miliar.
Jaksa mendakwa enam tersangka yakni, Rat Nor, M.Yos, Cha, SL dan Amb dengan pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Namun, tim JPU membedakan untuk menerapkan pasal yang didakwakan untuk Amb dan Sl (makelar tanah). JPU memberikan dakwaan alternatif. Selain UU Tipikor, terselip pasal 3 dan 8 UU/8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang.
Baca: Sayap Lion Air Tabrak Tiang Lampu Bandara di Bengkulu hingga Robek, Ini Penjelasan Manajamen
Atas dakwaan itu, kuasa hukum tiga terdakwa, diantaranya Taufiq Cholid dan Suwiji kompak mengajukan eksepksi atau keberatan.
Ketua Majelis Hakim, Joni Kondolele mengabulkan permintaan, dan meminta mereka mengajukan surat keberatan itu di sidang selanjutnya yang digelar Selasa (12/11) mendatang. (*)