Kuliner Lukusan dalam Ritual Ngaping Umaa’ Warga Mahulu, Begini Keistimewaannya

Setiap pagelaran Tutung dan Ngaping Umaa’ biasanya tidak pernah lupa adanya sajian kuliner khas masyarakat setempat.

Penulis: Budi Susilo |
TRIBUN KALTIM/BUDI SUSILO
Warga membuat Lukusan dalam pagelaran adat Ngaping Umaa’ masyarakat Ujoh Bilang dan Long Melaham di dekat Sungai Tikah, Kampung Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur, Sabtu (24/11/2018) siang.     

Kuliner Lukusan dalam Ritual Ngaping Umaa’ Warga Mahulu, Begini Keistimewaannya

Laporan Wartawan Tribunkaltim.co Budi Susilo

TRIBUNKALTIM.CO, UJOH BILANG – Setiap pagelaran Tutung dan Ngaping Umaa’ biasanya tidak pernah lupa adanya sajian kuliner khas masyarakat setempat yang cara proses memasaknya menggunakan sebatang bambu petung berukuran besar warna hijau.

Hal ini sangat nampak ketika warga masyarakat Kampung Ujoh Bilang dan Long Melaham, Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), Provinsi Kalimantan Timur melangsungkan ritual adat Tutung dan Ngaping Umaa’, atau bersih-bersih kampung dari roh jahat pada Sabtu (24/11/2018).

Kegiatan memasak yang menggunakan bambu dilakukan sejak pagi sebelum melakukan ritual doa Ngaping Umaa’ di tempat yang bernama Napoq, sebuah media komunikasi dengan roh leluhur.

Sajian kuliner yang memakai bambu petung ini untuk memasak beras dan lauk-pauk dengan proses pembakaran menggunakan kayu bakar.

 Datang ke Pernikahan Baim Wong, Anies Baswedan Dukung Paula Verhoeven Bulan Madu tanpa Mobile Legend

Bambu petung yang berisi makanan dipanggang di atas bara arang.

Tribunkaltim.co sempat mengamati proses masak menggunakan bambu petung ini.

Sekali memasak ada sampai 22 batang bambu. Waktu itu yang dimasak adalah beras padi gunung karya para petani Dayak Long Bagun, untuk dijadikan nasi.

Menurut Hang Lawing, Ketua Dewan Adat Dayak Long Bagun, biasa orang lokal sebut dengan Luqu atau Lukusan.

Setiap penyelenggaraan upacara adat dayak selalu ada Lukusan, sebuah cara memasak nasi menggunakan bambu petung.

 Indonesia Vs Filipina, Sven-Goran Eriksson Waspadai 4 Pemain Garuda Muda

“Memasak nasi seperti biasanya. Hanya saja tempatnya pakai bambu yang dipanggang. Jika bambu sudah berwarna coklat berarti sudah matang, sudah menjadi nasi,” ungkap pria yang mengaku sebagai cucu keturunan dari tokoh adat Ujoh Bilang, Bang Juk ini. 

Sebelum dipanggang, Lukusan berisi beras dan air bersih disertai semacam batang dari pohon lengkuas yang panjang.

Fungsi batang ini untuk memudahkan mengambil beras yang sudah menjadi nasi.

“Itu di dalam bambu terlihat ada batang panjang. Sengaja dikasih. Lekusan sudah matang, kita tinggal tarik saja, nasinya ikut terangkat. Jadi mudah, kita tidak lagi harus susah payah memecahkan batang bambu terlebih dahulu,” ujar Lawing. 

Beras yang digunakan berasal dari hasil bumi petani Long Bagun, padi gunung yang sangat berbeda dengan beras pada umumnya.

Persib Bandung vs Perseru Serui, Torehan Positif Victor Igbonefo Ternoda di Pekan ke-32 Liga 1 2018

Beras padi gunung Long Bagun menghembuskan aroma wangi saat diolah dalam Lukusan.

“Sudah jadi nasi, aromanya sedap, wangi-wangi begitu. Dari beras tanam daerah sini. Pulen enak,” kata Lawing, pria berkulit putih ini yang telah berusia 68 tahun.  

Selain Lukusan, jenis masakan lain yang menggunakan bambu petung ialah Lohoq.

Bedanya dengan Lukusan, Lohoq ini berisi lauk-pauk untuk pelengkap makan nasi saat ritual adat seperti Ngaping Umaa’.

Lawing menguraikan, isi bambu dalam Lohoq ini bisa sayur-mayur seperti di antaranya ada labu, daun pepaya yang disertai rempah-rempah ketupang, kunyit, daun serai dan hungan.

“Sesuai selera masing-masing. Sayur apa saja bisa, dicampur-campur,” ujarnya.

Tidak hanya sayur-mayur yang ditaruh dalam Lohoq, kadang lauk pauk seperti daging ayam, daging babi atau daging lainnya bisa menjadi olahan makanan.

Untuk memberikan rasa asin, biasanya menggunakan Henyaq, sejenis garam.

Namun untuk zaman sekarang ini, tidak lagi repot mencari henyaq sebab sudah banyak warung yang menjual garam-garam hasil pabrikan.

Diduga Depresi, Pria Sangatta Nekat Akhiri Nyawa di Plafon Rumah

Orang dahulu kala bila ingin mencari rasa asin harus ke gunung dahulu mengolah sendiri menjadi Henyaq.

“Mengambil air yang rasanya asin di gunung, di sini ada. Air asin ini dimasak sampai mendidih dan mengering hingga sampai membentuk serbuk. Serbuk-serbuk ini yang kami jadikan penyedap rasa asin di makanan yang kami olah,” ungkapnya.  

Menyantap Lukusan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh warga Ujoh Bilang dan Long Melaham yang hadir dalam ritual Tutung dan Ngaping Umaa’ yang dilaksanakan di bawah tenda terpal biru, pinggir Jl Poros Mahulu-Kubar, kawasan Sungai Tikah Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved