Berita Video
VIDEO EKSKLUSIF - Harga di Bawah Rp 1,5 Juta Per Kubik, HPH Enggan Produksi Kayu
"Adanya di pelosok seperti Mahakam Ulu. Di ujung-ujung. 50 kilometer dari jalan atau sungai, itu sudah dekat," kata Wayan.
Harga di Bawah Rp 1,5 Juta Per Kubik, HPH Enggan Produksi Kayu
Laporan wartawan Tirbun Kaltim, Rafan Dwinanto dan Nevrianto
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Biaya produksi kayu dari hutan alam Kalimantan Timur, semakin tinggi. Pembengkakan biaya terutama terjadi pada komponen angkutan kayu.
Dari blok tebangan, kayu harus diangkut sepanjang puluhan, bahkan seratusan kilometer menuju jalan raya, atau sungai. Hal ini yang membuat harga kayu hutan alam Kaltim, semakin tak kompetitif.
• Seorang Wisatawan Malaysia Tewas, Diduga Alami Dekompresi Saat Menyelam di Pulau Kakaban
• VIDEO - Kondisi Terkini Fly Over Air Hitam Kota Samarinda
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Kaltim, I Wayan Sujana menuturkan, saat ini lokasi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), atau yang sekarang disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), berada jauh dari infrastruktur jalan, maupun sungai.
"Adanya di pelosok seperti Mahakam Ulu. Di ujung-ujung. 50 kilometer dari jalan atau sungai, itu sudah dekat," kata Wayan.
Kondisi ini berbeda 180 derajat dengan zaman keemasan kayu, atau yang lazim dikenal dengan istilah 'Banjir Kap'. Istilah tersebut lahir lantaran banyaknya kayu yang dihanyutkan di Sungai Mahakam.
"Dulu, menebang kayu itu di tepi-tepi sungai saja sudah luar biasa banyak. Habis tebang, langsung dilarutkan sampai ke Kota Samarinda. Nyaris tak ada biaya angkut," katanya.
Belum lagi biaya-biaya lain, seperti perizinan, pajak, pelestarian alam, dan lainnya, membuat biaya produksi semakin membengkak.
Wayan menyebut, jika harga kayu bulat di bawah Rp 1,5 juta per kubik, banyak pemilik IUPHHK memilih tak beroperasi.
"Kalau harga kayu sudah di bawah Rp 1,5 juta, kita banyak tak berani produksi. Karena tak menutup biaya operasional," ungkapnya.
Biaya produksi yang terus meningkat, tak diimbangi dengan harga kayu di pasar internasional yang cenderung stagnan.
Wayan mengatakan, pihaknya tak serta merta bisa menentukan harga jual. Hal ini juga dialami pabrik sawmill, moulding dan kayu lapis. Pasalnya, penentu harga jual merupakan pembeli di luar negeri.
"Kita tak bisa menentukan harga. Yang menentukan itu pembeli di luar negeri. Mereka seperti punya spion di kita, sehingga tahu saat ini stok kayu lagi banyak, atau sedikit. Jadi, mereka bisa menentukan harga," kata Wayan.
Wayan mengungkapkan, produksi kayu hutan alam saat ini berada di kisaran 800 ribu hingga 1 juta kubik per tahun. Dari 53 IUPHHK Hutan Alam (HA) di Kaltim, hanya tersisa 40 perusahaan yang aktif.
• Alligator dari MONSTA X Dapat Penghargaan Pertama, #ALLIGATOR1stWin jadi Trending Topic Twitter
• Seorang Wisatawan Malaysia Tewas, Diduga Alami Dekompresi Saat Menyelam di Pulau Kakaban
Nilai jual kayu hutan alam yang diproduksi IUPHHK-HA belakangan kian terhimpit. Melimpahnya stok kayu dari hasil konversi hutan menjadi lahan sawit, pertambangan, turut memengaruhi harga kayu yang dihasilkan IUPHHK-HA.
Wayan berharap, ada regulasi yang membedakan harga antara kayu yang diproduksi secara lestari pada IUPHHK-HA, dengan kayu hasil land clearing yang disebut Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
"Kayu IPK ini diproduksi dengan biaya rendah. Tak ada kewajiban lingkungan dan sebagainya. Tak jauh dari akses pengangkutan. Sedangkan kita kayu yang diproduksi dengan biaya tinggi. Keduanya bertemu di pasar tanpa pengaturan. Ya kacau harganya," urai Wayan.
Simak Videonya :
(*)