Di Luar Dugaan, Gubernur Ini Akan Naikkan Upah Guru Honorer 100 Persen jadi Rp90 ribu Per Jam
Di luar dugaan, Gubernur ini malah menaikkan upah guru honorer di atas 100 persen menjadi Rp 90 ribu per jam dan berlaku di tahun ajaran baru nanti
Agus Tripriyono yang dihubungi kemudian, menjelaskan bahwa utang terjadi karena Pemprov Sumut batal menggelar pembahasan P-APBD bersama legislatif pada akhir tahun 2018.
"Kan dulu kita ada mau ada P-APBD, tapi enggak jadi dilakukan. Jadi, angkanya dibawa ke 2019. Utang tahun 2017-2018, nominalnya berapa di kantor saja nanti saya jelaskan. Saya lagi enggak pegang data. Besok sajalah saya jelaskan di kantor, ya," kata Agus.
Diketahui, rapat paripurna DPRD Sumut gagal menandatangani nota kesepakatan KUA-PPAS PAPBD 2018 karena tidak ada kesepahaman antara Banggar DPRD Sumut dan TAPD.
Akibat tidak adanya kesepakatan ini, pembahasan P-APBD Sumut 2018 nihil dan tentunya yang diberlakukan tetap APBD murni tahun anggaran 2019.
Namun pernyataan ini dibantah politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem), Nezar Djoeli. Menurut dia, munculnya utang Pemprov Sumut tidak ada korelasinya dengan batalnya pembahasan P-APBD tahun 2018.
"Utang yang ada saat ini, kan, utang berjalan dan bagi hasil pajak dibayar ke kabupaten dan kota. Ini yang menjadi persoalannya. Lagi pula, yang namanya menjalankan pemerintahan, ya, wajar utang. Terpenting utang ini bisa dibayar," ucapnya.
Yang perlu disoroti, sambungnya, ada beberapa capaian pendapatan asli daerah (PAD) yang mungkin tidak dapat diambil oleh Pemprov Sumut, hingga jika sampai caturwulan empat tidak terealisasi akan menyebabkan nomenklatur anggaran yang tidak sehat.
"Misalnya, pajak air permukaan PT Inalum. Target Pemprov Sumut dalam sengketa pajak kemarin, Mahkamah Konstitusi memutuskan Inalum membayar pajak ke Pemprov Sumut kurang lebih Rp 1,5 triliun. Sampai hari ini, kan, belum terealisasi. Sementara dalam penganggaran sudah dianggap ada. Makanya tiap dinas mengajukan usulan-usulan untuk melakukan kegiatan belanja langsung di periode 2019," ucapnya.
Terkait pernyataan Ziera, Nezar Djoeli, menyebut pembagian sepeda motor dilakukan melalui Dinas Sosial Provinsi Sumut dan dengan mekanisme yang sesuai peraturan berlaku.
"Sudah masuk dalam pembahasan anggaran tahun 2018. Jadi mana pula bisa dianggap utang. Kan, APBD-nya ada. Karena ada permintaan dari dinas sosial terhadap pengadaan sepeda motor, ya, kami bahas di banggar dan diberikan. Kalau bicara soal kepentingan politik, kan, kita tahu sama-sama kalau Pak Erry enggak maju (dalam kontestasi Pilkada Sumut). Berarti ini murni dari permintaan dari masyarakat. Lagi pula, kalau ada pelanggaran, pasti jadi temuan BPK. Ini, kan, tidak," katanya.
Tengku Erry Nuradi sampai berita ini ditulis belum dapat dimintai konfirmasi. Kontak lewat nomor telepon selularnya tidak memperdengarkan nada sambung.
Bersikukuh Anggota Banggar DPRD Sumut yang lain, Sutrisno Pangaribuan, justru lebih menyoroti sikap Edy Rahmayadi.
Menurut dia, kebijakan yang dilakukan Pemprov Sumut tahun ini merupakan akibat dari permasalahan tidak disepakatinya Perubahan -APBD 2018.
"Tengku Erry, kan, waktu itu masih punya rencana untuk Pilkada Sumut. Jadi dana bagi hasilnya ditunda pembayarannya. Seharusnya, kan, dibayar di induk, dengan harapan P-APBD 2018 bisa menyelesaikan pembayaran utang. Bisa dicicil. Namun ternyata Pak Edy justru bersikukuh saat itu. Pak Edy ingin membangun format baru APBD perubahan 2018, hingga angka-angka yang telah disepakati dibatalkan sepihak. Kita (DPRD) menolak pembahasan APBD itu karena dokumen yang harusnya telah disepakati dan sudah diparaf disajikan berbeda saat pembahasan," katanya.
Di lain sisi, Sutrisno menilai pernyataan Edy Rahmayadi pada video yang disebar lewat YouTube itu potensial menimbulkan kebingungan publik.