Badai Matahari Ramai Diperbincangkan Bagaimana Dampak Bagi Kaltim, Begini Penjelasannya
Badai matahari jadi topik hangat, Kepala BMKG Balikpapan Ibnu Sulistyono melalui Kasi data Mulyono Leo menjelaskan hal ini.
Penulis: Muhammad Fachri Ramadhani | Editor: Budi Susilo
Laporan Wartawan Tribunkaltim.co, Muhammad Fachri Ramadhani
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Badai matahari jadi topik yang santer diperbincangkan. Banyak pihak yang bertanya-tanya dampak apa yang bisa dirasakan dari fenomena alam tersebut.
Kepala BMKG Balikpapan Ibnu Sulistyono melalui Kasi data Mulyono Leo menjelaskan, Indonesia yang berada di wilayah ekuator memiliki kemungkinan yang sangat kecil mengalami gangguan badai geomagnetik yang diprediksi terjadi, Jumat (15/3/2019).
Indonesia masuk kategori G1 (Minor) yakni kawasan dengan dampak badai geomagnetik terkecil. Untuk diketahui, badai geomagnetik adalah gangguan sementara pada lapisan magnetosfer bumi yang diakibatkan interaksi antara angin matahari dengan medan magnet bumi.
Link Live Streaming Thailand vs Timnas U-23 Indonesia Grup K Stadion My Dinh Vietnam
Live Streaming Piala Presiden Madura United vs Borneo FC, Jumat Sore Ini Pukul 16.30 Wita
PSI Anggap Penangkapan Ketum PPP Bukti Tidak Ada Tebang Pilih Selama Era Jokowi
"Femomena ini rutin terjadi sebagai akibat dari aktivitas pelontaran massa korona di matahari," katanya.
Bagaimana dengan Kaltim? Dampak badai matahari yang dapat membuat gangguan minor pada sistem satelit dan jaringan listrik kecil dirasakan Kaltim. Lantaran posisi geografis Kalimantan dekat dengan garis ekuator.
"Sesuai dengan penjelasan," ujarnya.
Analisa LAPAN
Fenomena dari badai matahari diperkirakan terjadi pada hari ini, Jumat (15/3/2019).
Dampak dari badai matahari ini sudah lama diungkapkan oleh para ilmuwan.
Fenomena badai matahari ini, disebabkan oleh lubang berbentuk ngarai di atmosfer atas matahari yang menghadap bumi.
Lubang tersebut memuntahkan aliran angin matahari ke arah bumi.
Sejumlah ilmuan pernah mempublikasikan dampak dari badai matahari ini.
Selain berdasarkan penelitian, referensi yang dipakai juga mengacu pada faktor sejarah ratusan tahun silam.
lantas bagaimana tanggapan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN terhadap fenomena badai matahari ini.
Melaui akun twiter LAPAN memberikan informasi tentang badai matahari yang terjadi tahun ini.
Dalam cuitannya LAPAN menjelaskan posisi lubang korona di sekitara ekuator matahari memang bisa melepasakan angin matahari lebih cepat.
Diperkirakan dalam waktu 2 hari angin matahari yang dilepaskan tersebut akan mencapai bumi.
Namun LAPAN mengatakan dampak yang dirasakan tak akan seesktrim yang diberitakan.
Diberitakan sebelumnya badai matahari ini dapat mempengaruhi teknologi berbasis satelit.
Satelit yang berada di orbit bakal terpengaruh oleh badai matahari ini.
LAPAN kemudian dalam tweetnya juga mengakui badai matahari akan berpengaruh kepada satelit.
Satelit yang ada di orbit akan mengalami kelebihan paparan energi sehingga harus dibuang dengan cara menyalakan beberapa sub sistem.
Namun di tweet selanjutnya LAPAN menjelaskan jika badai matahari yang terjadi di tahun 2019 ini paparannya tidak terlalu signifikan atau punya intensitas cukup rendah.
Dampak Terparah Terjadi 2700 Tahun Silam
Sebelumnya melansir dari Tribun Jambi Fenomena badai matahari atau ledakan besar sinar kosmik dari matahari menuju bumi diprediksi bakal terjadi.
Peringatan mengenai fenomena badai matahari ini pernah diumumkan oleh para ilmuwan.
Berdasarkan keterangan dari laman express.co.uk, yang dikutip TribunJabar.id, Kamis (14/3/2019), fenomena badai matahari itu, diprediksi oleh peneliti di laman Space Weather, akan terjadi pada 15 Maret 2019.
Masih menurut laporan badai matahari tersebut partikel bermuatan dari suar itu sekarang dalam perjalanan ke planet Bumi.
Sesuai laporan, kedatangan badai matahari itu bertepatan dengan pembentukan 'celah equinox' di medan magnet Bumi, yang diyakini para ahli terbentuk di sekitar titik balik pada 20 Maret dan 23 September setiap tahun.
Badai geomagnetik adalah gangguan sementara dari medan magnet Bumi yang disebabkan oleh radiasi dan aliran partikel bermuatan dari Matahari.
Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) mengatakan dalam sebuah pernyataan,
"Sebuah arloji geomagnetik minor sekarang berlaku untuk 14 dan 15 Maret 2018. Aurora mungkin terlihat di garis lintang tinggi."
Di masa lalu, peristiwa geomagnetik skala besar telah mengganggu satelit komunikasi dan mematikan pasokan listrik.
Badai geomagnetik dinilai pada skala G1 hingga G5, dengan yang terakhir menjadi yang paling ekstrem.
Acara Carrington pada tahun 1859 dianggap sebagai badai geomagnetik terkuat yang pernah tercatat.
Express mengutip dari Met Office yang merupakan lembaga layanan cuaca Inggris memberikan peringatan jika Jumat, 15 Maret 2019, akan terjadi ledakan besar sinar kosmik dari Matahari menuju Bumi.
Akibatnya, badai Matahari itu dapat melumpuhkan GPS, sinyal ponsel dan TV digital.
Aurora Bakal Terlihat di Amerika Serikat
Sementara itu mengutip dari space.com, Badai matahari kecil akan mencapai Bumi Rabu (14 Maret) dan dapat memperkuat aurora planet itu, membuatnya terlihat dari bagian paling utara AS, kata otoritas setempat.
Negara-negara di "bagian utara" Amerika Serikat, seperti Michigan dan Maine, dapat melihat cahaya utara.
badai matahari juga dapat memicu fluktuasi di beberapa jaringan listrik yang lemah tetapi hanya akan berdampak kecil pada satelit di ruang angkasa, kata pusat itu.
Ilmuwan SWPC meramalkan bahwa badai geomagnetik minggu ini akan menjadi kelas G1, peristiwa kecil, dan berlangsung dari Rabu hingga Kamis (15 Maret).
Badai matahari berasal dari apa yang oleh para ilmuwan disebut lubang koronal, sebuah wilayah di matahari yang memungkinkan partikel berkecepatan tinggi mengalir ke luar angkasa.
Partikel bermuatan itu diperkirakan mencapai Bumi pada 15 Maret.
Badai Matahari Dahsyat Hantam Bumi 2.700 Tahun Lalu
Para peneliti baru saja menemukan bukti adanya badai matahari dahsyat yang pernah terjadi sekitar 2.679 tahun yang lalu.
Menurut para peneliti, peristiwa purba ini bisa menjadi badai matahari terbesar yang pernah menerjang planet ini.
Temuan ini menjadi penting bagi ilmu pengetahuan.
Sebab jika sampai terjadi hal yang serupa di era modern, ledakan plasma dan radiasi elektromagnetiknya berpotensi berdampak serius pada kehidupan di Bumi.
Sinyal radio dan komunikasi satelit terganggu, jaringan listrik tak aktif, dan seluruh sistem modern bakal rusak, mulai perbankan hingga transportasi.
"Jika badai matahari itu terjadi hari ini, bisa memiliki efek parah pada masyarakat beserta teknologi tinggi kita.
Itu sebabnya kita harus meningkatkan perlindungan masyarakat terhadapbadai matahari," kata Raimund Muscheler, salah satu peneliti dari Lund University di Swedia.
Bukti adanya badai matahari super tersebut didapatkan para peneliti dalam bentuk partikel radioaktif yang tersembunyi di bawah lapisan es Greenland.
Para peneliti mengggunakan inti es yang diekstraksi dan memperkirakan adanya peningkatan kadar isotop berilium-10 dan klorin-36 pada es tersebut.
Kedua reaksi kimia ini membuktikan aktivitas matahari yang mencapai magnet Bumi.
Dalam peristiwa ini, para ilmuwan berpendapat jika badai yang terjadi merupakan jenis badai matahari yang sangat intens, di mana partikel yang dilepaskan termasuk proton berenergi tinggi atau disebut sebagai peristiwa proton matahari (SPE).
Sebelumnya, para peneliti telah melihat SPE yang mempengaruhi Kanada pada tahun 1989 dan Swedia pada tahun 2003.
Namun, peristiwa ini terjadi hampir 2.700 tahun lalu dan tampaknya 10 kali lebih kuat daripada badai apa pun yang pernah terdeteksi dalam 70 tahun terakhir.
"Ini merupakan partikel energi tinggi yang langsung mengenai Bumi dan juga menghasilkan badai geomagnetik," tambah Muscheler.
Peneliti juga sebelumnya telah menemukan kejadian serupa pada 774-775 Masehi dan 993-994 Masehi.
Ini menunjukkan jika badai matahari teratur terjadi.
Memahami peristiwa tersebut sekaligus mendapatkan banyak data tentu akan membantu untuk memprediksi ancaman badai mataharidi masa depan dengan lebih tepat,
termasuk juga memberikan waktu untuk mengembangkan sistem serta peralatan yang sesuai untuk menghadapi badai matahari.
"Kita harus lebih siap jika hal yang serupa kembali terjadi," ungkap Musheler.
Penelitian ini telah dipublikasikan di PNAS.
(Tribunkaltim.co/Januar Alamijaya)