Kisah Jokowi Melaju dengan Kecepatan Hampir 200 Km/Jam, Takut Dibilang Ndeso oleh Putra Mahkota
Presiden Jokowi melaju bersama Putra Mahkota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab Sheikh Mohamed bin Zayed, bicara soal kecepatan perizinan
Penulis: Rafan Arif Dwinanto | Editor: Doan Pardede
TRIBUNKALTIM.CO - Kisah Jokowi Melaju dengan Kecepatan Hampir 200 Km/Jam, Takut Dibilang Ndeso oleh Putra Mahkota.
Presiden Jokowi menceritakan pengalamannya berkendara dengan kecepatan hampir 200 km per jam.
Hal ini terjadi saat Jokowi berkendara bersama Putra Mahkota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab Sheikh Mohamed bin Zayed.
Dilansir dari akun Instagram Jokowi, kala itu, kata Jokowi, Sheikh Mohamed bin Zayed yang berada di balik kemudi.
Sebelum berkendara, Putra Mahkota menanyakan apakah Jokowi harus izin ke protokol kepresidenan jika ingin berkendara.
Namun, Jokowi memilih tak minta izin ke protokol, karena yakin akan dilarang dengan alasan keselamatan.
Yang menarik, Jokowi merasa mobil yang dikemudikan Sheikh Mohamed bin Zayed berjalan biasa saja, tak laju.
Namun, saat melirik speedometer, Jokowi terkejut, karena ternyata jarum menunjukkan kecepatan mobil berkisar 190-200 km per jam.
Jokowi lantas mencari tahu merk mobil yang ditumpanginya tersebut.
Namun, tak berhasil.
Jokowi pun mengaku malu bertanya, takut dikira ndeso.

Obrolan soal pembangunan negara pun berlangsung antara Jokowi dan Sheikh Mohamed bin Zayed.
Singkat cerita, kata Jokowi, hampir semua sumber daya yang dimiliki Abu Dhabi juga dimiliki Indonesia.
Bahkan, Sheikh Mohamed bin Zayed menuturkan, pada 1960 lalu, rakyat Abu Dhabi hanya naik Unta.
Lebih canggih Indonesia, yang sudah punya Mobil Kijang.
Namun, pada 1985, mobil BMW, Marcedes, sudah lalu lalang di jalanan ABu Dhabi.
Sementara di Indonesia, masih setia dengan Kijang.
Jokowi pun mengaku menemukan persoalan yang dihadapi Indonesia, sehingga lambat menjadi negara maju.
Kuncinya pada kecepatan.
Satu diantaranya kecepatan pada perizinan.
Satu perizinan di Indonesia perlu waktu 4 tahun, sementara di Abu Dhabi hanya butuh setengah jam.
• Jokowi Suguhkan Salak, Durian dan Manggis Pada Putra Mahkota Abu Dhabi, Ini Maksudnya
• Jokowi Dukung Masuknya Rektor Asing, 4.700 Perguruan Tinggi, Tak Ada yang Masuk 100 Besar Dunia
• Fahri Hamzah Sebut Masyarakat Papua Butuh Presiden Jokowi, Perlu Sentuhan Perasaan
Berikut cerita lengkap Jokowi.
Ini cerita dari empat tahun lalu, saat saya berkunjung ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Saya dijemput Putra Mahkota Sheikh Mohamed bin Zayed di tangga pesawat.
Begitu turun saya diajak naik mobil beliau. Sheikh Mohamed sendiri yang duduk di balik kemudi. Tak banyak aturan protokol, begitu cepat dan sederhana.
Sheikh Mohamed sempat bertanya: "Presiden Jokowi izin dulu ke protokol?" Ah, saya enggak usah izin, saya langsung naik saja. Kalau saya ngomong pasti enggak boleh demi keamanan
Lalu kami melaju. Saya merasa mobilnya biasa saja, jalannya pelan. Tapi begitu saya melirik speedometer, 190-200 kilometer per jam. Duh, kencang sekali mobilnya, ternyata. Saya lirik-lirik, cari-cari ini merek mobilnya, tidak ketemu. Dan saya tidak bertanya ke Sheikh Mohamed. Malu, jangan-jangan beliau nanti: "Presiden Jokowi ini ndeso banget"
Tapi kami mengobrol soal lain. Soal kemajuan kedua negara. Kita ingat, Uni Emirat Arab punya minyak, kita juga punya minyak. Dia punya gas, kita juga punya. Tapi di sana tak ada kayu, kita punya kayu, saat itu kita bahkan punya BUMN kayu. Minerba kita punya semuanya, dari batu bara, emas, nikel, bauksit, tembaga ... semuanya.
Tetapi sekarang ini, kita tahu, income per kapita di sana USD43.000, kita USD4.000. Bagaimana bisa? Kenapa UEA melompat begitu cepat? Padahal, kata Sheikh Mohamed, "Presiden Jokowi, tahun 60-an kami dari Dubai ke Abu Dhabi masih naik unta." Kita ingat saat itu kita sudah naik Holden dan Impala. "Tahun 70-an kami dari Dubai ke Abu Dhabi masih naik truk dan mobil pick up," kata Sheikh Mohamed. Kita tahun itu sudah naik Toyota Kijang.
Menginjak tahun 1980-1985, di sana orang-orang sudah lalu lalang dengan mobil mewah bermerek Mercedes Benz, BMW... Kita masih naik Kijang. Income perkapita mereka melompat jauh.
Nah, kunci kemajuan itu apa? Kuncinya kecepatan. Cepat di perizinan, sederhana di regulasi. Perizinan yang butuh waktu tahunan di tempat kita, di UEA setengah jam sahaja.
Sering saya sampaikan, ke depan negara besar tidak lagi menguasai negara kecil, atau negara kaya menguasai negara miskin. Yang terjadi, negara cepat akan menguasai negara yang lambat.
Suguhkan Buah Tropis
Presiden Jokowi menjamu Putra Mahkota Abu Dhabi di Istana Bogor, dan menyuguhkan aneka buah tropis seperti salak, durian dan manggis pada tamunya itu.
Presiden Joko Widodo punya cara baru yang unik untuk menjamu tamu kenegaraannya di Istana Kepresidenan, yaitu dengan menyajikan buah tropis khas Indonesia.
Manuver ini juga bisa membuka peluang ekspor hortikultura langsung ke negara tersebut.
Seperti terlihat saat Presiden Jokowi menjamu Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan di Istana Bogor, Rabu (24/7).
Sheikh Mohamed disuguhi salak dan durian saat verranda talk dengan Jokowi di Istana.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang mendampingi Presiden Jokowi mengungkapkan Putra Mahkota sangat terkesan dengan jamuan buah tropis tersebut.
"Jadi tadi (Sheikh Mohamed) tanya 'ini apa? oh ini namanya salak'. Terus ada manggis, kemudian durian," tuturnya.
Jamuan buah tropis ini bukanlah hal yang pertama dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Beberapa saat sebelumnya, Presiden Argentina, Mauricio Macri, dan Ibu Negara, Juliana Awada bahkan langsung mengutarakan keinginan mereka untuk secepatnya mengimpor buah-buah dari Indonesia.
"Kami juga ingin menikmati buah-buah yang ada di Indonesia, begitupun Indonesia dapat belajar untuk bidang teknologi pertanian dari Argentina supaya bermanfaat untuk kedua belah pihak," jelas Mauricio saat itu.

Beberapa buah tropis Indonesia yang dipastikan menjadi prioritas untuk diimpor oleh Argentina adalah buah salak, manggis, dan nanas.
Jamuan ini bisa menjadi sebuah peluang ekspor yang dibuka oleh Presiden Jokowi untuk petani hortikultura Indonesia guna melebarkan sayap mereka ke pasar ekspor.
Data dari Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, secara keseluruhan, kinerja ekspor buah, sayuran dan bunga-bungaan Indonesia pada 2018 cukup menggembirakan.
Dengan kenaikan 12%, dengan nilai Rp5 triliun lebih.
Ekspor sayuran naik 4,8%, bunga 7%, dan buah-buahan 26,3%.
Adapun negara tujuan ekspor mencapai 113 negara.
Untuk manggis volume ekspor 2018 bisa menembus angka 60.000 ribu ton.
Manggis asal Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi, sama manisnya.
Sekitar 30% produksi nasional terserap di pasar ekspor. Manggis Indonesia semakin digemari di Malaysia,
Singapura, Hong Kong, Tiongkok, Australia, India, bahkan negara-negara Eropa. Ada kenaikan ekspor lebih dari 400% manggis Indonesia pada 2018, dibanding 2017.
Bahkan, untuk durian kenaikannya di atas 700%. Meski tidak seluas manggis, pasar durian Indonesia cukup menjanjikan untuk kawasan Asia Tenggara, India, dan Pakistan.
Dari sisi volume, ekspor duren memang belum besar, baru 1.084 ton di 2018.
Tapi, selain lonjakan ekspornya yang kuat, ada kecenderungan bahwa kegandrungan masyarakat Indonesia pada durian impor, dari Malaysia atau Thailand, mulai surut.
Nanas, pisang, buah rambutan, dan salak juga menunjukkan lonjakan ekspor yang menggembirakan.
Segarnya buah tropis Nusantara itu kini makin mendunia.
Meski tak spektakuler seperti manggis dan duren, mangga dan jeruk pun masih memancangkan harapan sebagai komoditas ekspor. (*)
(TribunKaltim.co/Rafan A Dwinanto)