Soal Vonis Kebiri Predator Anak, Beda Pendapat Menteri Yohana dan Khofifah di Masa Lalu jadi Sorotan
Soal hukuman kebiri untuk predator anak di Mojokerto, pernyataan Menteri Yohana dan Khofifah di masa lalu jadi sorotan
Penulis: Doan Pardede | Editor: Rita Noor Shobah
Di negara-negara yang memberlakukan hukuman kebiri sebagai sarana rehabilitasi, hukuman kebiri tidak 'dijatuhkan' oleh hakim secara sepihak kepada terdakwa.
"Tapi hakim melakukan dialog kepada pelaku. Pelaku yang kemudian mengatakan yang mulia tolong saya dikastrasi. Karena saya sadar aoa yang saya lakukan ini adalah salah. Namun, kesadaran tidak selalu sejalan dengan birahi. Itu sebabnya tolong birahi saya dimatikan, caranya, dengan kastrasi kimiawi," kata Reza Indragiri.
Dialog seperti ini menurutnya tak bisa dilakukan di Indonesia.
Pasalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan sesuai hasil pengadilan di Mojokerto, dialog ini tidak berlangsung.
Kebiri, dianggap sebagai hukuman dan bukan sebuah penanganan.
"Sebuah hukuman yang secara sepihak dijatuhkan oleh hakim 'tanpa' mempedulikan aspirasi atau kehendak adri terdakwa," kata Reza Indragiri.
Baca juga :
Kisah Tragis Siswi SMA Korban Rudapaksa, 'Dibunuh' saat Mau Bersaksi untuk Kasus yang Menimpanya
Pria Beristri Rudapaksa Nenek 74 Tahun di Aceh, Berawal dari Saran Istri Pelaku Obati Sakit Perut
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR) Anggara Suwahyu mengatakan, apa yang terjadi inilah yang dalam laporan LCJR disebut sebagai kebangkitan Penal Populism.
Dalam konteks ini, pemerintah membuat kebijakan memperberat hukuman untuk merespons kemarahan masyarakat.
Undang-Undang Perlindungan Anak menurutnya telah 2 kali berubah, dalam perubahan pertama hukuman diperberat dan dalam perubahan kedua diperberat lagi.
"Sampai ada hukuman mati bahkan. Tapi problemnya, apakah itu akan menurunkan angka kejahatan seksual?," kata Anggara Suwahyu.
Menurut Anggara Suwahyu, angka kekerasan seksual terhadap anak tidak akan turun karena tidak ada penjelasan dalam perubahan-perubahan Undang-Undang tersebut.
"Karena tidak ada penjelasan. Ketika dalam perubahan pertama kan alasannya sama untuk menurunkan angka kekerasan seksual diperberat hukuman. Ketika perubahan kedua sama, pemerintah akan memperberat tapi tidak ada evaluasi apakah perubahan pertama ini berhasil menurunkan angka kekrasan seksual," kata Anggara Suwahyu.