Berita Balikpapan Terkini
BPS Sebut 2,6 Persen Warga Balikpapan Berada di Garis Kemiskinan, Ini Indikatornya
Kepala BPS Balikpapan Achmad Zaini mengatakan beberapa hal yang menjadi indikator seseorang dikatakan orang miskin Kalimantan Timur.
Penulis: Jino Prayudi Kartono | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Balikpapan merupakan salah satu kota besar yang ada di provinsi Kalimantan Timur.
Kota Balikpapan merupakan satu dari beberapa kota yang memiliki penduduk yang cukup besar, ada orang miskin, berada di Garis Kemiskinan.
Dalam data yang didapat Badan Pusat Statistik, Senin (2/9/2019) masyarakat Kota Balikpapan, Kalimantan Timur di tahun 2018 sebesar 645.727.
Dari ratusan ribu masyarakat tersebut sekitar 2,64 persen warganya dikatakan tidak mampu alias orang miskin.
Kepala BPS Balikpapan Achmad Zaini mengatakan beberapa hal yang menjadi indikator seseorang dikatakan orang miskin.
Pertama dari jumlah pendapatan yang didapat warga per orang. Dengan menggunakan modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menghitung angka kemiskinan menggunakan konsep kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach)
Selain itu BPS menggunakan metode menghitung garis kemiskinan dengan dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan.
Contoh makanan seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, sayuran, daging, telur dan lainnya setara kebutuhan kalori sebesar 2.100.
Dari hasil penghitungan tersebut diperoleh besaran nilai garis kemiskinan terhitung sebesar Rp 545.971 per orang dalam satu bulan. Jika dibawah nilai tersebut dikatakan warga tersebut berkategori miskin.
"Misal gaji satu orang dikatakan dua juta rupiah. Lalu dalam satu rumah terdapat empat sampai lima orang dan harus menafkahi kelima anggota keluarga. Dari gaji satu bulan tersebut dibagi dengan Rp 545.971. Jika hasilnya dibawah nilai tersebut dikatakan miskin" kata Achmad Zaini.
Di tahun 2018 masyarakat miskin kota Balikpapan terhitung sekitar 17.860. Dalam data BPS, Kota Balikpapan diklaim sebagai kota dengan tingkat kemiskinan paling rendah di Kalimantan Timur.
Nah, Kota Samarinda sendiri memiliki presentase warga miskin sebesar 4,77 persen. Sedangkan kabupaten Mahakam Ulu sebesar 11,29 persen.
Secara nasional kota Balikpapan berada di posisi kelima dengan tingkat kemiskinan terendah. Kota Tangerang berada di posisi pertama dengan persentase warga miskin sebesar 1,76 persen.
Kabupaten Deiyaiu Provinsi Papua berada di posisi pertama dengan penduduk paling miskin di Indonesia. Persentase warga miskin di kabupaten Deiyaiu sebesar 43,63 persen.
Pemkot Balikpapan Wajib Peka tatalaksana gizi buruk
Legislator Balikpapan asal Partai Golkar, Hj Kasmah meminta pemerintah pro aktif mendata keluarga miskin dalam melaksanakan penanganan tatalaksana gizi buruk.
Hal ini disampaikan kepada Tribunkaltim.co pada Senin (2/9/2019) sore ketika dimintai tanggapannya soal tatalaksana gizi buruk di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sebab masih banyak keluarga miskin yang belum tersentuh perhatian pemerintah di Balikpapan, Kalimantan Timur, perlu tatalaksana gizi buruk yang tepat untuk mengurangi dan membersihkan fenomena ini.
Salah satunya keluarga balita yang meninggal dunia lantaran diduga mengidap gizi buruk.
Keluarga tersebut tinggal di kawasan Jalan Sangga Buana Dalam, Batu Ampar Balikpapan Utara, daerah pemilihan politisi perempuan tersebut.
Kasmah mengaku sempat mengunjungi rumah duka.
Ia prihatin. Tak hanya kondisi ekonomi keluarga korban yang pontang-panting.
Akses jalan yang rusak dan minim penerangan, cukup menyimpulkan bahwa kawasan tempat tinggal korban belum tersentuh tangan pembangunan pemerintah Kota Balikpapan.
"Kurang pembangunan. Di pojokan sekali rumahnya. Saya orang Balikpapan, juga baru ke sana. Kampanye tak sampai ke sana, ternyata masih ada pemukiman. Ini warga butuh bantuan pemerintah, jangan hanya pembangunan ditumpuk di kota," ungkapnya.
Menurutnya, Hafizah (4) balita yang meninggal dunia lantaran diduga mengidap gizi buruk bisa mendapat bantuan pemerintah Kota Balikpapan, melalui program bantuan keluarga miskin (Gakin).
Tak lain untuk membantu pengobatan korban yang sejak lama menderita diare dan infeksi paru-paru.
Namun belakangan diketahui, keluarga korban tak bisa menerima bantuan khusus gakin lantaran dianggap tak memenuhi persyaratan.
Salah satu alasannya, keluarga tersebut memiliki rumah, kendaraan roda dua dan peralatan elektronik, sehingga dianggap tak masuk kategori gakin. Peluang mendapat bantuan iuran dari pemerintah tertutup.
Namun setelah ditelisik, faktanya rumah keluarga korban tersebut merupakan peninggalan suami yang sudah lama meninggalkan istri dan anaknya. Pun dengan kendaraan dan barang elektronik.
Ibu korban, Sri Nuryati (40) yang memiliki 5 anak tak bekerja. Sementara ia harus menghidupi 3 anaknya yang masih kecil. Dua anaknya diketahui sudah bekerja namun di luar kota Balikpapan. Barangkali itulah jadi sebab mengapa korban terlambat untuk dilakukan perawatan medis selama mengidap penyakit paru.
"Pendataan dan penilaian gakin biasanya ada tim penilai dari Kelurahan. Pantas atau enggak. Sempat katanya urus itu, tapi ndak memenuhi syarat. Dianggap rumahnya bagus, punya motor, dan TV. Sebab itu dianggap mampu. Padahal dia (Sri) ditinggal suaminya. Anaknya 5. Ibunya gak kerja. Belum mikir biaya sekolah. Makan sehari-hari," selorohnya.
• Kisah Pilu Balita Diduga Gizi Buruk Akhirnya Meninggal Dunia: Mak Adek Sakit, Mau Pulang
• Kondisi Terkini, Bayi Dilson yang Menderita Gizi Buruk, Empat Hari Bobot Dilson Naik 4 Kg
Kebutuhan hidup yang tinggi membuat keadaan hidup mereka susah. Januari 2019 saat pertama kali memasukkan Hafizah (4) ke rumah sakit saja, pakai biaya sendiri. Hutang sana-sini. Mereka tak punya BPJS apalagi jaminan lainnya.
"Mulai dulu dari dasa wisma mendata. Data jadi gakin. Katanya gak memenuhi syarat. Karena rumahnya itu. Tapi kalau saya gak bisa dilihat dari luarnya, kemudian kita anggap mampu, tapi sebenarnya mereka serba kekurangan dan butuh pertolongan," ungkapnya.
Kasmah meminta agar pemerintah menilai kategori keluarga di lingkungan warga mengedepankan sisi kemanusiaan. Aspeknya tentu bukan kuantitatif melainkan kualitatif. Sehingga penggalian data bukan hanya bicara angka, namun fakta yang dialami masyarakat.
"Sampai meninggal, siapa yang malu? kan pemerintah. Warga ada yang kondisinya begitu, seperti tanpa pembinaan," ucapnnya.
(Tribunkaltim.co/Jina Prayudai)