Berita Samarinda Terkini
Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Unmul Tolak Revisi Undang-undang KPK, Begini Alasannya
Dan mufakat jahat para penyamun uang rakyat, yang tak pernah senang dengan keberadaan KPK.
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman kembali menuntut panitia pemilihan Calon Pimpinan KPK, yang menganggap rekam jejaknya bermasalah.
Kini publik kembali dihadapkan dengan rencana revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Hal tersebut membuat SAKSI beranggapan, bahwa KPK terus menerus berusaha dilemahkan dengan berbagai cara.
Upaya pelemahan ini jelas adalah reaksi balik dari para koruptor, teman-teman koruptor, dan tentu saja yang akan jadi koruptor dikemudian hari.
Apalagi lanjutnya mengatakan, rencana revisi UU KPK, tak ubahnya seperti operasi senyap pelemahan KPK.
Yang dilakukan secara diam-diam, seperti persekongkolan.
Dan mufakat jahat para penyamun uang rakyat, yang tak pernah senang dengan keberadaan KPK.
"Bagi kami, rencana revisi UU KPK ini adalah upaya sistematis untuk melumpuhkan dan membunuh KPK secara perlahan, yang dapat ditelaah dari beberapa poin krusial mematikan yang terkandung dalam draft revisi UU KPK," kata Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah atau Castro mengatakan, Minggu (8/9/2019).
Hal itu tentu saja akan mengarahkan tujuan awal berdirinya KPK, yang dimana dari rencana tersebut akan menyeret KPK menjadi bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan.
Ini jelas logika hukum ketatanegaraan yang menyesatkan.
Sebab KPK sejatinya bukanlah bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Dijelaskannya bahwa KPK adalah lembaga negara independen (auxiliary state's organ) yang bebas dari pengaruh kepentingan cabang kekuasaan manapun.
Jika menengok kebelakang, upaya menempatkan KPK di bawah cabang kekuasaan eksekutif.
"Jelas untuk memudahkan DPR untuk mengajukan hak angket kepada KPK," tuturnya.
"Maka kami menolak Capim KPK yang bermasalah rekam jejaknya, baik mereka yang memiliki cacat integritas," tegasnya.
Tidak patuh terhadap LHKPN, serta mereka yang mengeluarkan pernyataan tidak sejalan dengan KPK (tidak akan mengusut kasus di Polri dan Kejaksaan, menghapus OTT.
Di tempat terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan ada 10 persoalan dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dilansir dari Kompas.com, Ke-10 Persoalan itu akan membuat KPK lumpuh jika revisi itu tetap dilanjutkan dan menjadi undang-undang.
“Kemarin disampaikan sembilan," ujarnya.
Totalnya kalau ditambahkan misalnya terkait dengan KPK bisa menghentikan penanganan perkara itu berarti ada 10 persoalan
kurang lebih dalam rancangan undang-undang tersebut,” kata Febri Diansyah dalam acara roadshow bus KPK jelajah negeri di Kota Malang, Jumat (6/9/2019).
Febri Diansyah menegaskan, jika sejumlah persoalan itu masuk dalam undang-undang KPK dan ditetapkan,
KPK akan lumpuh dan tidak akan maksimal dalam menjalankan tanggungjawab pemberantasan korupsi.
“Kemarin pimpinan KPK sudah menegaskan bahwa bukan tidak mungkin kalau rancangan itu menjadi undang-undang,
KPK akan lumpuh dan tidak bisa bekerja secara maksimal lagi,” kataFebri Diansyah.
Karena revisi itu sudah disetujui dan akan dibahas di DPR,
KPK hanya bisa berharap kepada Presiden Joko Widodo.
Febri Diansyah mengatakan, Presiden Jokowi bisa menolak pembahasan revisi undang-undang KPK itu supaya tidak dilanjutkan.
KPK juga akan berkirim surat ke Presiden Jokowi terkait dengan penolakan revisi UU KPK tersebut.

Berharap pada Presiden
“Tinggal sekarang kita berharap dengan presiden tentu saja.
Kalau presiden misalnya tidak menyetujui itu dan tidak bersedia untuk membahas,
tidak ingin melemahkan KPK, maka rancangan itu tidak mungkin menjadi undang-undang.
Jadi harapanya kepada presiden, bahkan pimpinan KPK sudah menegaskan kemarin,
akan menyurati presiden dan memberikan beberapa poin-poin yang menjadi harapan KPK,” jelasFebri Diansyah.
Febri Diansyah mengatakan, pimpinan dan pegawai di KPK bisa berganti.
Namun, institusi dan sistem yang sudah berlaku di dalamnya harus tetap dipertahankan.
KPK juga sudah tegas menolak revisi undang-undang tersebut.
“Kami menilai dengan undang-undang yang ada saat ini, kita bisa bekerja secara maksimal melakukan penindakan ataupun pencegahan.
Jadi KPK tidak membutuhkan revisi tersebut untuk pelaksanaan tugas di KPK.
Dan saya kira suara yang ada banyak masyarakat di Indonesia dari kampus-kampus dan dari para guru bangsa berharap KPK diperkuat,” terang Febri Diansyah.
Sementara itu, KPK membutuhkan dukungan dari masyarakat supaya pemberantasan korupsi tetap maksimal.
Tanpa dukungan dari masyarakat, KPK akan dengan mudah dilemahkan fungsi kelembagaannya sebagai lembaga antirasuah.
“Pengawalan dari masyarakat, pengawalan dari kita sangat penting.
Apakah kita ingin KPK lumpuh dan kemudian tidak bisa bekerja lagi dan tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi atau kita ingin pemberantasan korupsi lebih kuat. Itu tergantung kepada kita semua,” ungkap Febri Diansyah.
(Tribunkaltim.co)