Senin Dini Hari, 7 Anak di Bawah Umur Keliaran di Taman Oval Ladang, Satpol PP Sita Ponsel Mereka
Satpol PP berhasil mengamankan anak di bawah umur ini berikut tas dan ponsel yang tertinggal di Taman Oval Ladang.
Penulis: Junisah | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, TARAKAN - Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran (Satpol PP dan PMK) Kota Tarakan Kalimantan Utara berhasil mengamankan 7 orang anak di bawah umur yang nongkrong di Taman Oval Ladang, Senin (16/9/2019) pukul 03.00 Wita dini hari.
Saat anggota Satpol PP datang, anak di bawah umur ini langsung berhamburan.
Mereka melihat kedatangan Satpol PP mencoba kabur, lari dengan tujuan tidak diciduk.
Namun Satpol PP berhasil mengamankan anak di bawah umur ini berikut tas dan ponsel yang tertinggal di Taman Oval Ladang.
Satpol PP langsung mengamankan dan membawa kantor Satpol PP dan PMK Kota Tarakan untuk dimintai keterangan.
"Setelah kita minta keterangan mereka hanya menjawab sedang bermain ponsel dengan menggunakan fasilitas internet gratis yakni Wifi yang disediakan di Taman Oval tersebut," ucap Kasi Penertiban, Rukman Bohari.
Rukman mengungkapkan, saat dimintai keterangan tiga orang gadis ini mengaku bukan warga Kota Tarakan, melainkan warga yang tinggal di Kabupaten Tana Tidung.
"Kami tidak begitu percaya dengan apa yang mereka sampaikan. Kami minta nomor telepon orangtuanya untuk menghubungi ke Kabupaten Tana Tidung, tapi para gadis ini tidak mau memberikan nomor telepon orangtuanya.
Rukman mengaku, dengan adanya peristiwa ini pihaknya memberikan pembinaan terhadap para anak dibawah umur ini untuk tidak keluyuran ataupun berkeliaran di jalan maupun di Taman Oval sampai larut malam dan pagi dini hari.
"Tentunya ini menganggu ketertiban umum, karena mereka ini di Taman Oval tertawa-tawa dan membuat anggota Satpol PP yang lewat mendengar ada anak-anak tertawa langsung mendatangi lokasi. Begitu didatangi mereka pada kabur dan lari," katanya.
Rukman menambahkan, anak di bawah umur ini tidak ditahan melainkan membuat surat pernyataan untuk tidak lagi berkeliaran atau pun berkumpul sampai malam maupun sampai pagi dini hari.
"Mereka yang membuat surat pernyataan ini, hampir semua tidak sekolah atau putus sekolah. Alasan putus sekolah orangtua tidak memiliki biaya," ujarnya.
Gadis sebut saja Bunga mengaku, ia berasal dari Sulawesi Selatan. Datang ke Tarakan bersama orangtuanya untuk menemui pamannya yang bekerja di tambak.
"Mama titipkan saya kepada paman di Tarakan untuk mencari kerja. Saya sudah dapat kerjaan di sebuah toko, cuman gajinya hanya Rp 800 ribu. Lalu saya memutuskan berhenti," katanya.
Gadis berusia 15 tahun ini mengatakan, ia dari Sulawesi Selatan sudah berhenti sekolah sejak duduk di kelas 1 SMP.
"Saya berhenti sekolah, karena mama saya tidak ada uang. Apalagi orangtua saya sudah berpisah. Jadi saya mama saya disuruh cari kerja di Tarakan," ujarnya.
Saat ditanya Tribunkaltim.co, apakah ada keinginan untuk melanjutkan sekolah, dengan tegas dia menjawab tidak.
"Tidak mau malas," katanya.
Sisi lainnya, ada kasus dugaan tindakan asusila terhadap anak-anak yang dilakukan oknum Kepolisian dari Polda Kaltim yang bertugas di Balikpapan, Kalimantan Timur terungkap, dari pengakuan para korban sebanyak lima orang.
Tempat kegiatan dugaan amoral si pelaku kepada korban, dari hasil penelurusan, dilakukan di sebuah Rumah, kadang juga di Hotel yang ada di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Korban kali ini melapor kepada pihak UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Balikpapan dan Kepolisian Polres Balikpapan belum lama ini.
Saat satu di antara korban melapor, disebutkan, pelaku yang berprofesi sebagai aparat penegak hukum institusi Kepolisian ini berperan di tengah masyarakat sebagai tenaga pengajar ilmu agama.
Ya, guru mengaji di sebuah rumah ibadah di daerah Balikpapan Selatan.
Rupanya aktivitas menjadi guru mengaji tersebut sebagai modus untuk melakukan dugaan aktivitas amoral ke para korban yang notabene masih di bawah umur, yang masih duduk di bangku sekolah dasar di Kota Balikpapan.
Saat dikonfirmasi oleh Tribunkaltim.co, Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Balikpapan, Esti Santi Pratiwi membenarkan adanya dugaan aksi amoral yang dilakukan pihak satu oknum Kepolisian.
Kasus ini, kata dia, terungkap dari pengakuan para korban yang jumlahnya yang melapor sudah ada lima korban, semuanya berjenis kelamin perempuan dan masih dianggap bocah, di bawah umur, di bawah usia 17 tahun.
Jelas saja, melihat adanya laporan hal ini, pihaknya pun berkoordinasi dengan Polres Balikpapan termasuk sudah berada dalam ranah Polda Kaltim.
Ini untuk menindaklanjuti proses hukumnya demi upaya membuat efek jera dan pertanggungjawabannya di mata hukum formal.
Menurut pengakuan korban, selama berbuat negatif kepada para korban, si pelaku dalam melaksanakan aksi asusilanya dengan diimbangi memberi uang kepada anak-anak.
Para korban menyatakan, berdasarkan keterangan dari korban, si pelaku ini sering kali memberi uang.
Para bocah yang berjumlah lima orang ini diberi uang oleh si pelaku. Hal ini sebagai strategi untuk memuluskan aksi asusila pelaku.
Pemberian uang ada tujuannya, supaya para bocah-bocah ini juga merasa bahagia. Diduga aksi pelaku melakukan tindakan asusila ini sudah sekitar satu tahun.
"Memang benar, ada mereka melaporkan tindak pelecehan itu, dan saat ini laporannya sedang kami proses," tegas Esti kepada Tribunkaltim.co
Si pelaku memberi uang karena anak-anak ini diperintahkan untuk memegang alat kelamin si pelaku.
"Mereka diiming-imingi diberi uang kepada korban, tapi itu variasi paling besar dikasih Rp 20.000 sekali main," tutur Esti.
Semua Korban Berjenis Kelamin Perempuan
Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Balikpapan, Esti Santi Pratiwi kepada Tribunkaltim.co mengungkapkan, korban yang melapor ke pihaknya semuanya berjenis kelamin perempuan, masih di bawah umur, sebab masih duduk di bangku sekolah dasar.
Laporan dari orangtua korban, semuanya perempuan, si pelaku mengincar korban yang berjenis kelamin perempuan.
"Yang lapor ke kami ada lima anak dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Usianya itu paling rendah 7 tahun dan paling tinggi 12 tahun," tutur Esti.
Mereka ini para korban saat diperlakukan amoral oleh si pelaku tidak di tempat ibadah akan tetapi dilakukan di tempat berbeda, biasanya bisa saja di sebuah rumah atau pun hotel.
"Itu ada yang dilakukan di rumah, ada juga yang dilakukan di hotel, dan pelaku melakukan itu berdua. Jadi ada temannya yang menyaksikan itu," ujar Esti.