Dosen Hingga LSM di Samarinda Turun ke Jalan Tolak Revisi UU KPK, Walhi: KPK Lemah SDA Makin Rusak
Dia menilai, aksi penolakan terhadap RUU KPK dan sejumlah aturannya lainnya itu bukan lagi berbicara daerah satu atau daerah lainnya.
Penulis: Christoper Desmawangga | Editor: Budi Susilo
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Kali ini ada unjuk rasa tolak revisi UU KPK dan RKUHP yang dilakukan mahasiswa dan dosen di depan DPRD Kaltim tidak hanya dilakukan oleh ribuan mahasiswa, namun sejumlah dosen, beserta aktivis dari berbagai LSM juga ikut serta.
Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Mahendra Putra Kurnia ditemui di lokasi aksi unjuk rasa tolak revisi UU KPK dan RKUHP, mengaku, sebelum aksi bersama dengan Aliansi Kaltim Bersatu, pihaknya sudah menggelar sejumlah kegiatan terkait dengan RUU KPK, mulai dari diskusi publik, hingga pernyataan sikap dosen Universitas Mulawarman.
"Semangat dan visinya masih sama, terkait dengan penolakan RUU KPK, dan aturan lainnya, yang menurut beberapa analisa tidak membawa situasi yang baik kepada negara," jelasnya, Senin (23/9/2019).
Dia menilai, aksi penolakan terhadap RUU KPK dan sejumlah aturannya lainnya itu bukan lagi berbicara daerah satu atau daerah lainnya, melainkan seluruh wilayah Indonesia, karena aturan tersebut berlaku untuk seluruh daerah.
"Ini bukan soal Kaltim, tapi negara ini, karena berlaku keseluruh daerah. Paling parah persoalan korupsi, kalau soal korupsi bukan hanya terkait dengan kerugian negara saja satu sisi saja, melainkan diseluruh sektor dan bidang," tuturnya.
"Kalau di Kalimantan Timur, sektor sumber daya alam jadi potensi terjadinya korupsi," sambungnya.
Pihaknya khawatir, dengan adanya RUU KPK tersebut, penegakan hukum pada penindakan korupsi tidak dapat berjalan dengan baik.
"Karena lembaga yang selama ini kita anggap punya kredibilitas dan kepercayaan masyarakat cukup tinggi, dengan RUU itu malah melemahkan KPK," tegasnya.
Terkait dengan aksi di DPRD Kaltim, dia menilai anggota DPRD Kaltim merupakan wakil rakyat, tuntutan yang ada diharapkan dapat disampaikan ke DPR RI.
"Ini merupakan aspirasi rakyat, kemana lagi kalau bukan ke mereka kita mengadu," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Kaltim, Hafidz Prasetiyo menjelaskan, RUU KPK juga berdampak pada lingkungan, karena di Kaltim erat berkaitan dengan sumber daya alam.
"Artinya RUU KPK jangan diteruskan. KPK lemah, sumber daya alam makin rusak," tegasnya.
"Kaitannya juga dengan meningkatkannya izin pertambangan, yang juga berkaitan dengan pembiayaan Pilkada," pungkasnya.
Sementara itu, massa menilai, selain RUU KPK yang telah disahkan, menurut pihaknya masyarakat juga kecewa terhadap pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Termasuk revisi UU Penahanan, revisi UU Ketenagakerjaan, RUU Minerba.
Massa yakin hampir semua hal dalam UU tersebut tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan justru lebih memihak kepentingan kelompok tertentu.
Ketika kebebasan dalam memberikan pendapat maupun kritik dianggap sebagai ancaman, penghinaan, penghasutan dan pelecehan.
"Ini jelas bertentangan dengan negara demokrasi. Begitu banyak rancangan-rancangan peraturan yang ingin dimuat kedalam Undang-Undang, justru terlihat sangat dipaksakan, sarat akan kepentingan, tidak mengutamakan dampak untuk kesejahteraan," ucap Humas aksi, Sayid Ferhat Hasyim, Senin (23/9/2019).
Lanjut dirinya menjelaskan, sesuai amanat UU Nomer 30 tahun 2002, KPK harusnya diperkuat namun bertolak belakang dengan kondisi saat ini, KPK dilemahkan secara kelembagaan dan kewenangan.
"Apa yang dilakukan KPK harus izin dulu, padahal adanya KPK itu karena karena korupsi tidak bisa diatasi oleh dua aparat penegak hukum saat itu," jelasnya.
"Kami tolak sangat keras, harusnya aturan yang dibuat pro dengan rakyat, agar negara bisa jadi lebih baik, bukan malah menghancurkan. Sangat jelas UU ini dibuat sangat cepat, tentu bukan untuk rakyat, tapi untuk konglomerat, elit dan kelompok tertentu," sambungnya.
Pihaknya pun meminta agar anggota DPRD Kaltim dapat bersikap, dan menyampaikan tuntutan massa ke DPR RI.
Terkait dengan aksi tolak RUU KPK, berikut tuntutan massa aksi :
1. Mendesak Presiden Joko Widodo secepatnha mengeluarkan Perpu terkait dengan UU KPK
2.Tolak segala revisi UU yang melemahkan demokrasi
3. Menolak sistem kembali pada rezim Orba.
Kehadiran mahasiswa yang terus menambah jumlah massa semakin membuat suasana aksi memanas. Hal tersebut membuat kericuhan tak terindahkan, antara massa aksi dan aparat Kepolisian dalam aksi unjuk rasa tolak revisi UU KPK dan RKUHP di Samarinda.
Kericuhan terjadi, usai beberapa mahasiswa yang berorasi diatas kendaraan tak memberi kesempatan anggota DPRD Rusman Yakupbdan beberapa anggota DPRD Kaltim lainnya, untuk memberikan tanggapan.
"Kami mahasiswa indonesia bersumpah berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan tanpa memperhatikan. Kita berkumpul di depan kantor DPR kali ini, ialah untuk satu kepentingan politik yang sama jangan ada penumpangan terhadap aksi ini itu," tegas Sayid Ferhat Hasyim, Kordinator Aksi Sayid Mahasiswa Untag Samarinda, Senin (23/9/2019).
"Kami menyatakan sikap ketika ini terindikasi ataupun terbukti ada kepentingan kepentingan politik mohon maaf kawan kawan, jadi jangan halangi teriakan aspirasi kami," teriaknya.
Usai teriakan mereka tersebut, beberapa mahasiswa sontak berteriak untuk maju dan memaksa aparat untuk menahan aksi mereka.
Namun tindakan aparat semakin membuat massa semakin membabi buta melakukan aksinya dengan mendorong aparat, yang akhirnya bentrokan pun tak dapat dihindari.
Di tempat terpisah, Jalan Jenderal Sudirman, gedung DPRD Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur rampai dipadati orang.
Pengamatan Tribunkaltim.co, sekitar pukul 09.00 Wita, mereka ini adalah para mahasiswa yang berunjuk rasa terkait isu sosial hukum.
Ini terpantau dalam video Live Streaming Facebook Tribunkaltim.co.
Mereka adalah para mahasiswa asal Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, berdemonstrasi ke kantor DPRD Balikpapan.
Isu unjuk rasa yang mereka sampaikan ke DPRD Balikpapan ialah tolak revisi UU KPK dan Rancangan KUPHP, Senin (23/9/2019).
Di lokasi unjuk rasa, pelataran gedung DPRD Balikpapan nampak ramai juga dijaga oleh aparat Kepolisian, polwan bertubuh tambun.
Di antara para mahasiswa yang berunjuk rasa, ada yang membawa spanduk yang bertuliskan sebelumnya KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi dan setelah itu KPK sekarang dianggap menjadi Komisi Penyelamat Koruptor.
Sejauh ini, aksi unjuk rasa yang dilakukan para mahasiswa di gedung DPRD Balikpapan berlangsung tertib, aman terkendali.
Sebelumnya juga ramai mengenai revisi UU KPK ini.
Pernyataan Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 atau Untag Samarinda, Kalimantan Timur, mendukung revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau revisi UU KPK memicu aktivis mahasiswa menggelar aksi.
Nah, di Kota Samarinda ada aksi gabungan mahasiswa di depan Kampus Untag sekaligus membuat petisi penolakan Undang Undang KPK
Pengamatan Tribunkaltim.co, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kampus Perjuangan (AMKP) Untag 1945 Samarinda, membentangkan spanduk petisi dukung penolakan revisi UU KPK di Jalan Juanda, Samarinda, Jumat (20/9/2019).
Koordinator Lapangan AMKP Claudius Vico Harijono mengatakan, aksi yang digelar kali ini, merupakan bentuk kecaman serta penolakan revii UU KPK yang sudah ditetapkan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pengesahan tersebut bukan suatu solusi yang baik terhadap penegakan hukum, khususnya untuk pelaku- pelaku koruptor di Negara Indonesia.
Ia menyebutkan, berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang undangan mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas.
"Pengesahan itu melanggar hukum karena tidak termasuk dalam RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2019, yang sudah disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah," Sebut Claudius, disela-sela aksi di Jalan Juanda, Samarinda, Jumat (20/9/2019).
Disinggung adanya sikap dosen kampus Untag yang mendukung UU Revisi KPK tersebut, Claudius menyatakan, bila ada dosen yang Pro atas UU Revisi KPK tersebut, sama saja mendukung pelaku korupsi (koruptor).
"bahkan menurut kami, dosen Untag dan dosen kampus lain yang mendukung pengesahan UU KPK ini, kami katakan mereka pendukung cikal bakal koruptor untuk bisa bebas," tutupnya.
Dosen Fakultas Hukum Untag Samarinda, Roy Hendrayanto tidak masalah jika dituding sebagai pendukung koruptor kerana pro revisi UU KPK.
"Nggak masalah. Saya ini juga laywer (pengacara/penasihat hukum). Kalau membela klien yang berperkara kasus korupsi, saya selalu mengedepankan pro yustisia artinya azas praduga tidak beesalah. Sebelum ada putusan inkracht di pengadilan," jawab Roy menanggapi tudingan mahasiswa, Jumat (20/9/2019) malam.
Roy menjelaskan, bahwa apa yang disampaikan mahasiswa terkait usulan revisi UU KPK dinilai melanggar hukum, tidak tepat.
Menurut dia, revisi UU KPK tidak harus disampaikan melalui prolegnas. Karena hanya merevisi tiga pasal. "Mereka tahu tidak DIM (Daftar Inventaris Masalah) dari legislatif itu banyak, tetapi dari pemerintah hanya tiga pasal yang disetujui," ungkapnya.
Ia menambahkan, soal dewan pengawas menurut dia justru memperkuat posisi KPK. "Kalau itu dianggap melemahkan, pasal mana yang melemahkan KPK. Mereka inikan tidak bisa menunjukkan pasal mana yang melemahkan," kritik Roy.
Dengan adanya revisi UU KPK yang sudah disahkan justru memperkuat dan menjaga norma hukum di Indonesia. "Dari tiga pasal itu, ada yang tujuannya menerapkan hak azasi manusia. Jadi kalau dianggap melemahkan, sebutkan pasal mana?" tegasnya.
(Tribunkaltim.co)