Unjuk Rasa Tolak Revisi UU KPK dan RKUHP di Samarinda, 9 Mahasiswa Jatuh Pingsan Lantaran Hal Ini

Rata-rata mereka pingsan karena keletihan, karena dari awal kan mereka sebagian jalan kaki menuju kesini," papar Suntoro.

Editor: Budi Susilo
TribunKaltim.Co/Cahyo W Putro
Penanganan korban pingsan saat ikut melaksanakan aksi demonstrasi unjuk rasa tolak revisi UU KPK dan RKUHP di depan Kantor DPRD Kaltim, Kota Samarinda, Kalimantan Timur pada Kamis (26/9/2019) siang. 

Kendati anak memiliki hak untuk berpartisipasi, namun Helga menjelaska , bila suatu kegiatan penyampaian aspirasi berpotensi menimbulkan konflik, apalagi pempertontonkan kekerasan dalam kata, apalagi perbuatan, sebaiknya anak dijauhkan dari kegiatan yang dimaksud, karena akan menjadi pembelajaran yang mendatangkan ingatan buruk. 

"Sebenarnya anak punya hak partisipasi, tapi melihat kondisinya dilapangan, khususnya di Indonesia ini, kalo aksi ada kemungkinan potensi kejadian yang bermuatan kekerasan saat berhadapan dengan aparat cukup besar.

Ini yang kami khawatirkan. Dan ada amanah juga, di UU juga untuk tidak melibatkan anak dalam aksi demonstrasi," jelasnya.

Dirinya mengimbau, kepada orang tua, penyelenggara sekolah, aparat keamanan dan seluruh warga masyarakat untuk menghindari adanya pelajar atau anak, yang berniat ikut dalam aksi unjuk rasa yang situasinya jelas membahayakan.

Karena adanya pro kotra yang sangat kuat pada beberapa level masyarakat, malah sudah sempat terjadi benturan antar elemen.

Keterlibatan anak pada unjuk rasa kali ini, disebutkan Helga dapat membahayakan fisik dan dapat menimbulkan trauma serta berjatuhan korban, khususnya anak.

"Kami dari aktivis perempuan, pendamping korban kekerasan anak-perempuan, untuk itu menghimbau kepada para orang tua, penyelenggara sekolah, Aparat keamanan dan seluruh warga masyarakat untuk mencegah  keterlibatan anak dalam aksi unjuk rasa yang di dalamnya berpotensi terjadi kekerasan," himbau Helga 

"Batasan usia anak yang boleh turun aksi. Sepertinyang tertuang di UU perlindungan anak di bawah 18 tahun, sangat dilarang ikut aksi demonstrasi. Sekarang saja banyak yang menyandingkan urusan aksi anak di luar negeri yang diketahui tertib sekali.

Sementara kita tau sendri kan di kita kalo aksi bagaimana, ada penumpang gelap dan provokator selalu ikutan.

Mereka ini yang menyebabkan adanya kericuhan. Akhirnya aksi untuk menyuarakan demokrasi jadi tercoreng.

Nah, inilah sebabnya mengapa berbahaya melibatkan anak dalam aksi dan demonstrasi," tutupnya menjelaskan.

Aliansi Kita Bersama Anak Indonesia menyampaikan beberapa point, sebagai sikap sebagai berikut:

1. Anak dihindarkan dari kegiatan politik praktis. Orang tua, Guru, Ustadz, Sekolah punya kewajiban menjaga Anak-anak terhindar dari kegiatan politik praktis.

2. Meminta Kepolisian menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab atas provokasi pengerahan massa anak anak ke gedung DPR RI, 25 September 2019.

3. Meminta pihak kepolisian untuk tetap mengedepankan tindakan tanpa kekerasan, persuasif dan memperhatikan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam menjalankan tugas.

4. Anak bisa menyampaikan pendapat di ruang yang aman. Karena memperhatikan tingkat pemahaman (kognitif), tumbuh kembang dan perkembangan emosional anak.

5. Penyampaian pendapat wajib memperhatikan kepentingan dan keselamatan semua pihak, termasuk Anak.

6. Mengecam keras  provokasi pengerahan massa berusia anak, dalam kegiatan unjuk rasa di seputaran gedung DPR RI 25 September 2019, yang kemudian menjadi kerusuhan.

Karena pengerahan massa berusia Anak, justru menempatkan Anak dalam posisi beresiko dan berbahaya.

7. Tindakan ini bertentangan dengan Undang Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia

8.  Meminta semua pihak ikut aktif melindungi anak. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved