Punya Karier Militer Cemerlang di Usia Muda, Pierre Tendean Lenyap Dalam Malam Tragis G30S/PKI
Punya Karier Militer Cemerlang di Usia Muda, Pierre Tendean Lenyap Dalam Malam Tragis G30S/PKI
TRIBUNKALTIM.CO - Nama Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Pierre Tendean bakal terus dikenang sebagai Pahlawan Revolusi.
Semasa hidupnya, Kapten Pierre Tendean diketahui punya karier militer gemilang, meskipun usianya terbilang muda.
Nahas, Kapten Pierre Tendean yang tengah meniti karier militer di usia muda itu, turut menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965, atau yang kini dikenal G30S/PKI.
• Pengaruh PKI Susupi Seni Ludruk Proletar, Aksinya Tenar di Balikpapan Sebelum G30S/PKI Meledak
• Kisah Tapol G30S/PKI di Balikpapan, Dituduh Ikut Pemuda Rakyat, Dipecat dari Tentara dan Diisolasi
• G30S/PKI Belum Meledak di Jakarta, Buruh Balikpapan Dukungan PKI Rajin Berdemo Isu Sosial Ekonomi
Milenial kini lebih mengenal Kapten Pierre Tendean sebagai Pahlawan Revolusi yang punya paras begitu menawan.
Ia adalah sosok yang begitu misterius apalagi saat karirnya melesat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/KSAB Jenderal Abdul Haris Nasution.
Jiwa membara sebagai prajurit bangsa tidak terbantahkan meski keluarga Tendean sempat menolak anak laki-laki satu-satunya masuk akademi militer.
Seperti ditulis Kompas.com, di balik sifat kaku dan disiplinnya, Pierre yang gemar makan colenak ini juga memiliki pengalaman masa muda seperti anak seusianya dan kisah cinta abadi bersama wanita pujaannya.
Menariknya, meski Pierre Tendean telah tutup usia, tak disangka antusias generasi muda mendalami kisah Pierre Tendean masih terlihat sampai sekarang.
Dalam episode ini Singkap mewawancarai sahabat satu angkatan Pierre Tendean di akademi militer jurusan teknik, Effendi Ritonga yang mengenang masa-masa plonco saat menjadi calon taruna.
Ada pula para penulis buku biografi resmi Pierre Tendean yang selama dua tahun mengumpulkan arsip-arsip serta dokumentasi tentang Pierre, dan Yanti Nasution (anak sulung Jenderal A.H Nasution) orang terkahir yang bersama Pierre saat malam kelam 30 September 1965. (Kompas TV)
Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Pierre Tendean merupakan seorang perwira militer yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965, atau yang kini dikenal G30S/PKI.
Ia dibunuh secara tidak manusiawi dan dimasukkan kedalam sumur bersama keenam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donalad Isaccus Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.
Rumah Jenderal Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Gondangdia, Jakarta Pusat, menjadi tempat terakhir Kapten Pierre Tendean singgah sebelum terbunuh tragis oleh kelompok PKI.
Di museum inilah diorama serta foto-foto Kapten Pierre Tendean terbingkai rapi bersama barang-barang peninggalan Jenderal Nasution.
Terlahir dari pasangan L. Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah Perancis, Pierre Tendean merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Sejak kecil, perwira kelahiran Jakarta 21 Februari 1939 ini mulai tertarik untuk menggeluti bidang militer.
Mulai mengenyam sekolah dasar di Magelang, ia melanjutkan sekolahnya SMP dan SMA di Semarang, tempat ayahnya bertugas.
Hingga pada tahun 1958, ia memulai pendidikannya menjadi taruna di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.
Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.
Setahun kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di Bogor.
Tamat sekolah intelijen, ia langsung ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD).
Saat itu ia ditugaskan untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.
Konfrontasi tersebut dikenal dengan istilah Dwikora.
Ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk melakukan penyusupan ke Malaysia.
Sejak saat itu prestasi Pierre Tendean di bidang militer mulai menjanjikan.
Dibuktikan dengan setidaknya ada tiga jenderal yang menginginkan Pierre menjadi ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan.
Namun Jenderal Nasution berkeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya.
Hingga pada tanggal 15 April 1965, Pierre mulai dipromosikan menjadi Letnan Satu (Lettu).
Ia juga menjadi pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution, menggantikan Kapten Manullang yang gugur saat menjaga perdamaian di Kongo.
Pada usianya yang menginjak 26 tahun, Pierre menjadi salah satu pengawal termuda yang dimiliki Jenderal Nasution.
Sejak ia bertugas dengan Jenderal Nasution, Tendean bisa dikatakan menjalin hubungan keluarga yang cukup dekat dengan kedua anak Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani dan Hendrianti Sahara Nasution.
Salah satu kedekatan beliau dengan Ade Irma Suryani dapat dilihat dari bingkai foto mereka yang terpampang di dalam Museum AH Nasution.
Tepat tanggal 30 September, Tendean yang biasanya berada di Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya kala itu menunda kepulangannya.
Ia lebih memilih melaksanakan tugas sebagai ajudan A.H Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40 Jakarta Pusat.
Namun tak disangka, pasukan Tjakrabirawa datang menyerbu kediaman Jenderal Nasution untuk melakukan penculikan.
Pierre Tendean yang saat itu sedang beristirahat di ruang tamu kediaman Jenderal Nasution sontak terbangun dan mendatangi sumber kegaduhan.
Ia langsung disambut dengan todongan senapan oleh pasukan Tjakrabirwa.
Pierre Tendean yang diduga oleh Pasukan Tjakrabirawa sebagai Jenderal Nasution langsung diculik dan dibawanya ke Lubang Buaya.
Selain menculik Pierre Tendean, nyawa Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal Nasution tak terselamatkan karena peluru yang menembus tubuhnya.
Diorama yang terletak di samping gedung utama Museum Dr. A.H Nasution menjelaskan bagaimana kronologi penangkapan Kapten Pierre Tendean oleh Pasukan Tjakrabirawa.
Nampak jelas bahwa Kapten Pierre Tendean yang terkepung oleh senjata Tjakrabirawa.
Diceritakan bahwa Kapten Pierre Tendean selaku ajudan Jenderal Nasution melindungi pemimpinnya dengan berkata "Saya Jenderal AH Nasution."
Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama keenam perwira tinggi TNI lainnya yang kemudian dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur berdiameter 75 cm dengan posisi kaki di atas.
Pierre Tendean meninggal di usianya yang menginjak 26 tahun.
Duka mendalam pun dialami ibunya dan juga calon istri bernama Rukmini Chaimin.
• G30S/PKI, Dugaan Kudeta Merangkak Mayjend Soeharto dan Pembangkangan Perintah Soekarno
• Berbeda dengan yang Diberitakan, Inilah Pengakuan Dokter yang Otopsi Jasad Korban G30S/PKI
• Kejinya Aksi G30S/PKI, Jenderal A Yani Alami 13 Luka Tembak dan MT Haryono Penuh Luka Tusuk
• Pengaruh PKI Susupi Seni Ludruk Proletar, Aksinya Tenar di Balikpapan Sebelum G30S/PKI Meledak
Sosok Rukmini Chaimin -lah yang menantinya di Medan untuk melaksanakan pernikahan pada bulan November 1965.
Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Bentuk kehormatan pun disampaikan dengan menaikkan pangkat beliau menjadi Kapten.
(*)