Gerakan 30 September
Ditahan Karena Dianggap PKI, Pailan Babat Hutan Tak Makan 4 Hari: Untung Saya Prajurit
Pailan pernah tak makan 4 hari, namun bisa bertahan hidup karena dirinya sudah terlatih saat dirinya menjadi prajurit,
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Ditahan Karena Dianggap PKI, Pailan Babat Hutan Tak Makan 4 Hari: Untung Saya Prajurit
Pailan pernah tak makan 4 hari, namun bisa bertahan hidup karena dirinya sudah terlatih saat dirinya menjadi prajurit.
Pailan mengaku, merasa sedih jika mengingat masa-masa itu.
• Dengar Langsung Yani Sudah Dibunuh, Kisah Sukitman Polisi yang Sempat Ditawan saat G30S dan Selamat
• G30S/PKI, Tempat-tempat Ini Jadi Saksi Peristiwa Sejarah Kelam Bangsa Indonesia
• Derita Wagiran di Balikpapan Dicap Terlibat G30S/PKI, Diisolasi Dicerai Istri Sampai Karir pun Sirna
• Kisah hingga Peran Dina Lorenza, Sederet Fakta Bukan Sekedar Kenangan Pengganti Film G30S/PKI
"Saya kerja layaknya romusa (membabat hutan), pernah tak diberi makan 4 hari," ujarnya saat ditemui Wartawan Tribun Kaltim di rumahnya pada Senin (30/9/2019).
Ia menambahkan, dirinya bisa bertahan hidup lantaran sudah terlatih saat pendidikan militer.
Pria yang lahir 1939 menuturkan, dirinya bersama 16 tapol lainnya bertahan hidup dengan berburu dan menanam di hutan.
Prajurit berpangkat kopral dua mengatakan, dirinya menjadi tahanan politik PKI selama 12 tahun.
"Tahun 1970 hingga 1977 ditahan di Sumberejo, kemudian 1977 hingga 1982 di Argosari", tutupnya.
Kisah Pailan, Dituduh PKI, Ditahan, Dipisahkan dari Keluarga, dan Diungsikan ke Hutan
Tuduhan sebagai anggota partai komunis Indonesia (PKI) yang dilayangkan kepada Pailan (80) prajurit TNI berpangkat Kopral Dua (Kopda) yang bertugas di Batalyon 612 Kodam VI Mulawarman terkesan di luar logika.
Pailan mengaku kala itu dirinya gemar aktif di berbagai kegiatan sosial dan berbaur dengan masyarakat.
Mulai dari aktif bergotong royong, melestarikan kesenian tradisional hingga gemar berbagi makanan siap saji kepada masyarakat namun justru hal itu dianggap sebagai bagian dari kebiasaan yang diterapkan oleh PKI.
Tanpa tahu sebab pastinya, kakek lima anak itu ditahan oleh sesama rekan seangkatan prajuritnya lalu menjalani pemeriksaan disertai aksi pemukulan oleh aparat.
Bertepatan dengan hari peringatan G30 SPKI, pada 30 September 2019, Wartawan Tribunkaltim.co secara eksklusif menyambangi kediaman Pailan yang berada di RT 03, Kelurahan Argo Sari, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Rumah Pailan berjarak kurang lebih 7 kilo meter dari jalan poros Balikpapan - Samarinda, melewati jalanan terjal dan bebatuan hingga tanjakan yang cukup tinggi.
Pailan menceritakan secara rinci awal mula dirinya ditahan oleh prajurit TNI dari Kodam VI Mulawarman hingga akhirnya ditetapkan sebagai tahanan politik (Tapol) PKI dan diungsikan di kawasan hutan belantara yang jauh dari keramaian.
"Waktu itu tahun 1977 saya berseragam TNI bersama prajurit lainnya sedang berangkat di medan tugas, saya kaget luar biasa tiba-tiba saya ditodong senjata oleh teman-teman saya, saya bertanya salah saya apa? Tetapi tak satupun yang menjawab, pokoknya saya ditodong senjata begitu saja lalu di bawa ke Sumber Rejo untuk kemudian diperiksa," katanya dengan raut wajah yang nampak sedih dengan mata-mata yang berkaca-kaca.
Setelah itu, lanjut Pailan. "Saya dibawa lagi ke markas Kodam VI Mulawarman, kemudian diperiksa lagi, itu tidak hanya diperiksa biasa saja tetapi sambil digebuki oleh kawanan perwira berseragam Tentara, saya sempat protes, ini sebenarnya saya mau diperiksa atau mau disiksa kok begini caranya?
Tetapi itu tidak dihiraukan sama sekali malah mereka terus-terusan menghujani saya dengan pukulan brutal, sampai wajah saya nyaris tidak berbentuk dan berlumuran darah, gigi saya habis rontok semua, kepala bagian kanan sudah luka-luka dan terus mengeluarkan darah yang cukup deras," jelasnya
Sesekali kakek berumur 80 tahun itu melanjutkan ceritanya sambil mengusap air mata yang mulai membasahi wajahnya yang sudah menua dengan rambut pendek berwarna putih berbentuk potongan ala prajurit.
" Saya ditahan di Sumber Rejo (Balikpapan Tengah) selama 5 tahun mulai dari tahun 1977 sampai tahun 1982.
Sepanjang saya menjalani masa tahanan sebagai Tapol PKI itu nyaris tak pernah merasakan siksaan yang tidak manusiawi.
Dan akhirnya saya dibebaskan tanggal 29 Desember saya ingat betul itu hari Senin tahun 1982, kemudian saya di bawa ke wilayah pelosok hutan Amburawang Darat Kutai Kartanegara.
Bahasanya itu saya sudah dibebaskan dari tahan politik PKI tetapi saya merasa belum diberikan kebebasan, karena saya diungsikan di hutan belantara disuruh membabat hutan, membuka lahan dikawal ketat oleh petugas bersenjata lengkap.
Saya bersama 16 orang tapol PKI lainnya dipaksa kerja membuka lahan, tetapi kemudian hasilnya tidak tau kemana? Untuk siapa ?
Siapa yang makan itu saya tidak tau pokonya kami taunya kerja begitu aja," pungkasnya
Lebih lanjut dirinya juga sempat mendapat ancaman kepada seluruh keluarganya termasuk anak istrinya akan ikut ditahan juga jika dirinya terus-terusan protes dan melawan petugas.
"Kalau saya protes terus, mereka juga mengancam keluarga saya untuk ikut ditahan juga dan menjalani hukuman sama seperti saya.
Hingga akhirnya saya diceraikan oleh istri melalui pengadilan militer itu dipaksa cerai tanpa sepengetahuan saya.
Pokoknya saya itu dituduh habis-habisan dan dicap sebagai PKI yang merupakan bagian dari aksi pembunuhan secara keji terhadap para jenderal di Jakarta.
Bagaimana mungkin saya ikut membunuh para Jenderal itu sementara saya waktu itu bertugas di Balikpapan, sementara para Jenderal yang dibunuh itu di Jakarta," pungkasnya dengan wajah yang terheran-heran
Pria kelahiran Malang, Jawa Timur 24 April 1939 itu merupakan prajurit TNI berpangkat kopral dua yang menjadi salah satu dari ratusan eks tahanan politik PKI bersama warga sipil lainnya yang diasingkan di pelosok hutan belantara di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang kini sudah menjadi kampung penduduk bermana Argo Sari, Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.
Selain Pailan, juga ada dua eks tapol PKI lainnya yang masih bertahan hidup dan tinggal di kawasan Agro Sari.
Mereka sudah puluhan tahun menghuni kawasan Agro Sari dari mulai hutan belantara hingga kini sudah ramai penduduk.
Namun yang masih bertahan hidup hingga saat ini tinggal tiga orang diantaranya adalah Pailan (80), Wagiran, dan Suyanto. Mereka mengaku dituduh sebagai prajurit pengkhianat bangsa melalui PKI. (TribunKaltim.co/Evi Rohmatul Aini)