UU KPK Dianggap Tidak Sah, Sidang Pengesahan Disebut tak Penuhi Kuorum

(LSI) menyebutkan, dari hasil survei menyebutkan sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden Joko Widodo menerbitkan perpu

Penulis: Januar Alamijaya | Editor: Doan Pardede
(TRIBUNNEWS/DANY PERMANA )
Ilustrasi DPR RI 

TRIBUNKALTIM.CO - Di tengah pro dan kontra rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) terkait pembatalan Undang-undang Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), muncul hasil survei mengenai hal itu.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari hasil survei menyebutkan sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden Joko Widodo menerbitkan perpu.

"Seperti SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), dalam UU KPK diatur dua tahun tidak selesai kasus langsung SP3," ujar Direktur LSI Djayadi Hanan, di Jakarta, Minggu (6/10/2019).

LSI Keluarkan Hasil Survei Soal Keputusan Presiden Terkait Perppu KPK, Ini Tanggapan Pengamat Hukum.

Jika Terbitkan Perppu KPK, Presiden Joko Widodo Bisa Dimakzulkan, Koalisi Masyarakat Sipil Merespon

ICW Berani Sebut Kabar Ahok dan Antasari Azhar Jadi Dewan Pengawas KPK Hoaks, Ini Analisanya

Diungkap Mahfud MD, Ini Poin UU KPK yang Terang-terangan Abaikan Pesan Presiden Jokowi

Menurutnya, kasus korupsi seringkali melibatkan faktor politik dan ekonomi yang rumit.

"Karena rumit ada banyak kasus yang tidak bisa diselesaikan dalam dua tahun. Tapi dalam revisi yang baru, lewat dua tahun langsung SP3," ujarnya.

Pasal itu bisa digunakan tersangka kasus korupsi untuk mengulur-ulur waktu. "Publik mengetahui model pelemahan dalam UU KPK," kata Djayadi.

Publik, kata Djayadi, menginginkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu untuk membatalkan undang-undang hasil revisi yang dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Dari responden yang sama, LSI juga mendapat data sebanyak 70,9 persen publik percaya Undang-undang KPK hasil revisi merupakan tindakan pelemahan.

Publik yang meyakini undang-undang tersebut merupakan bentuk dari penguatan hanya berjumlah 18 persen saja, sedang 1,1 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

LSI menyebut 60,7 persen responden mendukung demonstrasi mahasiswa menentang UU KPK, sementara, yang menolak hanya 5,9 persen. LSI mendapatkan indeks tersebut dari kegiatan survei telepon nasional yang digelar pada 4-5 Oktober 2019, jumlah responden mencapai 17.425 orang.

Tujuan survei yakni melihat sikap publik terhadap kontoversi UU KPK dan penilaian masyarakat terhadap aksi demonstrasi hang digelar mahasiswa.

Gugat ke MK

Terkait dengan kontroversi UU KPK, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, berencana akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasan gugatan yaitu soal kehadiran anggota DPR dalam sidang paripurna pengambilan keputusan pengesahan RUU tentang KPK.

"Sedang disiapkan bahannya. Ini nampaknya memang sepele, tapi sebenarnya sangat mengena sekali," kata Boyamin di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Sabtu.

Boyamin menilai sidang pengesahan RUU KPK yang digelar di gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/9) lalu, tidak sah.

Alasannya, sidang tersebut hanya dihadiri sekitar 80 anggota DPR meskipun berdasarkan daftar hadir sidang ada 298 anggota membubuhkan tanda tangan.

"Secara fisik yang hadir hanya 80 orang, itu sama saja tidak memenuhi kuorum. Artinya sidang itu ilegal atau tidak sah," sebut Boyamin.

Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, Pimpinan DPR dalam memimpin rapat paripurna wajib memperhatikan kuorum. Rapat paripurna dinyatakan kuorum apabila dihadiri lebih dari separuh jumlah total anggota DPR yang terdiri dari atas lebih dari separuh unsur fraksi.

"Total anggota DPR itu 560 orang, sehingga 80 anggota dewan yang hadir itu juga tidak sampai setengahnya," sebutnya.

Boyamin meminta agar MK mengabulkan gugatan mengenai sidang pengambilan keputusan itu harus berdasarkan kehadiran fisik anggota DPR.

Ia mengatakan, jika gugatan itu dikabulkan MK, MAKI pun akan menggugat pansus angket RUU KPK yang selama ini tingkat kehadirannya di bawah 100 orang. "Akan kita gugat semuanya, anggota DPR berikut pansus," tegasnya.

Mahfud MD ungkap poin-poin UU KPK yang abaikan pesan Presiden Jokowi

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menuturkan ada poin di dalam Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang berbeda dengan keinginan presiden.

Dikutip TribunWow.com, hal itu diungkapkan Mahfud MD saat menjadi narasumber dalam Indonesia Lawyers Club (ILC), yang diunggah dalam saluran YouTube ILC, Selasa (1/10/2019).

Mulanya Mahfud MD menyakinkan bahwa dalam melakukan penerbitan Perppu dengan judicial review tak akan bisa terlaksana.

Judicial review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.

Dalam praktiknya, judicial review (pengujian) undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun Mahfud MD melihat hal itu sia-sia lantaran MK tak memiliki hak untuk membatalkan UU yang tidak bertentangan dengan konstitusional.

"Kalau dibahas biasa (judicial review) yang dipertentangkan tetap kalah di DPR karena partainya sudah setuju. Padahal rakyat itu menghendaki bukan itu. Pasti enggak ada gunanya. Judicial review enggak mungkin lagi," ujar Mahfud MD.

"Karena Mahkamah Konstitusi dilarang membatalkan undang-undang yang tidak disukai rakyat selama tidak bertentangan dengan konstitusi, ini tidak disukai oleh rakyat tapi tidak bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.

"Ini yang disebut dengan open legalcy policy. Saya dulu menolak untuk membatalkan undang-undang penodaan agama, meskipun saya tahu itu jelek, tetapi itu konstitusional," kenangnya saat dahulu menjabat sebagai ketua MK.

Dirinya sangat yakin jika UU KPK dibawa ke MK tak akan diterima.

"Nah hal yang konstitusional tapi jelek itu yang merubah legislatif. Bukan hanya MK. Ini kalau dibawa ke MK pasti MK akan bilang, lha ini urusan legislatif, pasti ditolak. Kok bermimpi orang kalau ke MK," jelasnya.

Menurut Mahfud MD, jika pun terlaksana bisa dibatalkan oleh MK, hanya sebagian poin yang kecil.

"Saya mantan ketua MK menangani hal-hal yang begini, pasti ditolak. Paling dikabulkan satu bagian-satu bagian. Empat belas masalah itu, paling yang dikabulkan dua yang kecil-kecil. Dikabulkan sebagian, selalu begitu karena MK enggak berani, enggak boleh," ungkap Mahfud MD.

Dirinya lantas mengatakan saat itu ada usulan yang bagus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk UU KPK, yakni KPK tak perlu koordinasi dengan Kejaksaan Agung (KA).

"Misalnya yang jadi masalah besar itu, misalnya presiden mengusulkan begini, dan bagus sekali. Bahwa penuntutan oleh KPK tidak usah koordinasi dengan kejaksaan Agung, itu bagus sekali," ujar Mahfud MD.

Disebutkannya, saat itu justru yang keluar tak seperti yang diusulkan.

Justru dalam isi UU KPK revisi menghapus wewenang penyidik KPK.

Mahfud MD lantas mengatakan pesan presiden tak diikuti dalam pembentukan UU KPK tersebut.

"Tapi yang keluar, KPK yang penyidik dan penuntut dicoret komisionernya, malah lemah, itu enggak ikut. Pesennya presiden enggak diikuti. Wong presiden minta agar tidak ada koordinasi, malah dicabut haknya. Nah ini kan keliru," sebut Mahfud MD.

Kembali ia mengatakan bahwa pengujian UU KPK itu jika dibawa ke MK akan dikembalikan kewenangannya ke DPR.

"Kalau dibawa ke Mahkamah Konstitusi, MK bakal bilang 'Lah itu kan DPR, jangan diubah di sini, di sana'. Lah kalau MK boleh membatalkan undang-undang yang tidak disukai orang, semua UU dibatalkan secara sewenang-wenang oleh MK," paparnya.

"MK jangan membatalkan hal yang jelek tapi tidak inkonstitusional. Dia hanya pilihan politik hukum saya kembalikan saja ke DPR," pungkas Mahfud MD.

Lihat videonya dari menit ke 4.56:

Diketahui sebelumnya, Mahfud MD memprediksi sang presiden akan menerbitkannya pada awal bulan Oktober 2019 lantaran saat ini keadaan sudah genting.

Dilansir TribunWow.com, hal tersebut disampaikan Mahfud MD dalam wawancara unggahan kanal YouTube KOMPASTV, Sabtu (28/9/2019).

Melihat gelombang protes mahasiswa serta berbagai kalangan yang di antaranya menuntut penerbitan Perppu KPK, Mahfud MD menyebut kondisi sekarang sebagai situasi genting.

Sehingga Jokowi berhak untuk mengeluarkan Perppu yang merupakan hak subjektifnya.

"Menurut saya, keadaan sekarang ini sudah memenuhi syarat untuk dikatakan genting dan boleh presiden itu mengeluarkan Perppu," ujar Mahfud MD.

"Karena urusan genting itu adalah hak subjektif presiden," imbuhnya.

Mahfud MD menyebut tidak ada undang-undang yang mengatur soal bagaimana situasi negara dikatakan genting.

"Tidak ada undang-undang genting itu seperti apa, tidak ada undang-undangnya," kata Mahfud MD.

Untuk itu, Mahfud MD memprediksi jika Jokowi mau menerbitkan Perppu KPK, maka sekiranya pada awal bulan Oktober 2019.

"Saya mengira kalau presiden jadi memilih opsi itu ya mestinya awal, awal bulan ya, mungkin tanggal 2 atau tanggal 1 gitu," prediksi Mahfud MD.

Meski ikut menyarankan Jokowi agar menerbitkan Perppu KPK, Mahfud MD tetap menyerahkan keputusan itu kepada presiden.

"Mungkin, tapi ya terserah presiden sajalah, kita kan tidak boleh ikut campur," katanya.

Jika nanti Jokowi menerbitkan Perppu KPK, maka akan ada pembahasan bersama DPR yang nantinya akan memutuskan setuju atau menolak isi dari Perppu tersebut.

"Karena menurut undang-undang, Perppu itu dikeluarkan," jelas Mahfud MD.

"Kemudian pada masa sidang berikutnya, itu lalu dibicarakan oleh DPR atau dibicarakan dengan DPR untuk ditentukan apakah DPR setuju atau menolak."

Berikut video lengkapnya:

(tribunnetwork/dng)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved