Di Hari Sumpah Pemuda, Begini Cara Mendikbud Nadiem Makarim, Suami Franka Franklin Jawab Kritik
Di Hari Sumpah Pemuda, begini cara Mendikbud Nadiem Makarim, suami Franka Franklin jawab kritik
Dia ingin mempelajari dunia pendidikan lalu memahami kondisi di lapangan.
Ini termasuk kondisi murid, guru, birokrasi dan administrasi.
Latar belakang Nadiem Makarim adalah dunia bisnis digital.
Bermodalkan pengalamannya tersebut, Nadiem Makarim memiliki visi untuk melibatkan teknologi ke dunia pendidikan Indonesia.
Wartawan Tribun Network Reza Deni Saputra sempat mewawancarai Nadiem Makarim secara singkat setelah acara pisah-sambut di KeMenterian Pendidikan dan Kebudayaan atau Mendikbud Jakarta, Rabu (23/10).
Berikut ini petikan wawancara dengan Gojek tersebut.
Sebagai Menteri pendidikan dan kebudayaan, apa tantangan yang Anda dan keMenterian ini hadapi ke depannya?
Tantangan ke depan itu terutama skalanya.
Kita punya sistem pendidikan terbesar keempat di dunia.
Tiga ratus ribu sekolah itu luar biasa.
Jumlah muridnya, jumlah gurunya, jumlah pemerintah daerahnya
Dan semuanya tersebar di archipelago terbesar kedua di dunia.
Yaitu Kepulauan Indonesia.
Jadi, challenge utamanya adalah skala.
Tadi Anda bilang rencana 100 hari kerja Anda mau belajar lebih dulu.
Kira-kira berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk belajar?
Cepat. Saya pasti cepat belajarnya.
Anda besar di dunia bisnis digital, kemudian ke pendidikan sebagai Menteri.
Apakah hal yang Anda geluti dulu akan dibawa dan dimanfaatkan?
Sudah pasti peran teknologi akan ada di situ, tetapi dalam bentuk apa, kita belum pasti.
Hal yang terpenting adalah kita mulai bukan dengan aksi, tapi belajar terlebih dulu dengan semua stakeholder yang ada.
Bukan berarti ini memakan waktu lama, tapi step pertama adalah jangan selalu memberikan solusi terlebih dulu. Pertama harus seperti murid yang baik.
Belajar lebih dulu, mengetahui seperti apa kondisi lapangan, kondisi guru, kondisi murid serta kondisi birokrasi dan administrasi.
Dari situ baru kita menemukan solusi-solusi, baik teknologi maupun nonteknologi, yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Dalam jajak pendapat dengan DPR ada nilai serap di Kemendikbud yang kurang maksimal. Kira-kira bagaimana ke depannya?
Kalau soal itu saya belum bisa mengomentari karena belum saya dalami lebih lanjut, tapi tentunya optimalisasi bujet APBN itu penting sekali.
Kita harus memastikan semua rupiah yang kita keluarkan untuk negara ada benefit-nya, terutama di pendidikan.
Soal kebudayaan, apakah Anda sudah punya rencana terobosan?
Saya belum bisa bilang terobosannya seperti apa, tapi yang jelas berhubung saya milenial dan background-nya teknologi, sudah pasti ada perubahan ke arah sana.
Saya belum bisa mention apa rencana yang saya lakukan. Hal yang sudah jelas adalah kita ingin fokus kepada manusia yang keluar dari sistem pendidikan ini seperti apa.
Satu, harus berkarakter, merupakan suatu sistem pendidikan berdasarkan kompetensi, bukan informasi saja. Kedua, harus relevansi.
Presiden selalu bilang link and match antara industri dan institusi pendidikan.
Skill-skill tersebut yang kita pelajari harus relevan.
Tentunya prinsip utamanya yaitu gotong-royong dan kolaborasi. Kita tidak bisa melakukan ini sendirian, harus ada gotong-royong.
Pusat dan daerah, orangtua, guru, murid, semua harus gotong-royong menciptakan institusi dan kualitas pendidikan yang lebih baik.