Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
TRIBUNKALTIM.CO -- Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
Berita bohong atau yang dikenal sekarang dengan sebutan hoax atau hoaks memang mengerikan. Dampaknya bisa teramat menyakitkan, bahkan berujung nyawa.
Setidaknya hal itulah yang terjadi di kalangan warga Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng di sebuah Komunitas Adat Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Selama beberapa tahun terakhir, istilah hoaks mengemuka di media massa maupun media sosial (medsos). Informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, meresahkan, dan merugikan publik.
Kini eksistensi hoaks justru semakin menguat, menelisik di setiap sendi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Berita bohong semakin tersebar luas dengan adanya medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp. Para ‘penyebar’ hoaks ini biasanya memiliki tipikal yang sama.
Bangga menjadi orang yang pertama kali menyebarkan; suka berbagi tapi malas membaca; gemar mencari sensasi; tak tahu itu berita bohong, tujuannya membagi postingan karena tertarik dengan judul, foto, atau isinya saja; dan sekadar mengikuti tren.
Mereka tinggal ‘menjentikkan jari’, maka tatanan kehidupan sosial pun bisa porak-poranda.
Lantaran perilaku ini dianggap berbahaya apalagi jika sudah mengarah pada perpecahan di dalam masyarakat bahkan keutuhan Negara, pemerintah menerbitkan Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Nomor 11 Tahun 2008 pertama kali diundangkan pada 21 April 2008.
Pembahasan RUU dilakukan dalam rentang tahun 2005 – 2007 hingga tanggal 21 April 2008 resmi dijadikan undang-undang.
Bagian pertama dari UU ITE terkait e-commerce mengatur tentang marketplace, nama domain, tanda tangan elektronik baik yang digital (mengandung algoritma private dan public key infrastructure) maupun non digital (scan tanda tangan, password, pin, dan sidik jari).
Dengan adanya UU ITE ini untuk pertama kalinya hal mengenai informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah yang tertuang pada Pasal 5 dan Pasal 44.
Bagian kedua terkait dengan tindak pidana teknologi informasi memuat banyak sub bagian. Sub bagian satu adalah ilegal konten seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik yang tertuang pada Pasal 27, 28, dan 29.
Sub bagian dua adalah akses ilegal seperti hacking di Pasal 30, sub bagian tiga mengenai illegal interception di Pasal 31 seperti penyadapan, dan sub bagian empat mengenai data interference seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal yang tertuang pada Pasal 32, 33, 34, dan 35.
UU ITE telah mengalami satu kali revisi pada Agustus 2016 di era Menteri Kominfo Rudiantara.