Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
Dilarang Berbohong! Begini Cara Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng Menghukum Para Penyebar Hoaks
“Sampai sekarang masih berlaku. Jika antara pelaku dan korban masih ada hubungan keluarga, biasanya tak diserahkan kepada polisi,” kata Petrus Asuy.
Kecuali korban berasal dari keluarga lain, biasanya karena tak puas dengan hukum adat mereka baru melapor ke polisi untuk ditangani.
Intinya, sepanjang hukum adat bisa mengatasi, maka diserahkan kepada Kepala Adat untuk diselesaikan. Hukum adat diyakini warga Kampung Muara Tae bisa mengatasi persoalan sehari-hari.
Orang Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng, percaya bahwa sistem adatnya telah ada sebelum negara ini lahir.
Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng.
Di sinilah bagaimana kekuatan kearifan lokal yang mengatur kehidupan sehari-hari juga berperan membendung hoaks dan disrupsi informasi lewat Hukum Adat. Dengan kekuatan tertinggi ada pada Sumpah Adat.
Mencari Sampai Ketemu, Mengejar Sampai Dapat
Kampung Muara Tae terletak di Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Penduduk asli yang mendiami dan bermukim di Muara Tae secara turun temurun adalah Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng.
Mereka adalah perkembangan dari Lou Jengan yang terletak di tepi Sungai Jengan, anak Sungai Nayan.
Saat ini ada sekitar 1.000 Kepala Keluarga (KK) atau lebih dari 2.000 jiwa yang menghuni Kampung Muara Tae. Mereka hidup dari hutan dengan cara berladang yang berpindah tempat (gilir balik), berkebun buah, mencari madu, juga berburu.
Segala kebutuhan sehari-hari mereka dapatkan dari alam yang telah ditempati masyarakat secara turun-temurun.
Petrus Asuy menuturkan, Hutan Adat Muara Tae adalah sumber utama penghidupan Suku Dayak Benuaq Ohokng Sangokng.
“Hutan ini ibaratnya susu ibu, sumber utama penghidupan. Tak ada hutan, tak ada sumber. Harus dipelihara dan dijaga sepanjang masa meski nyawa taruhannya,” ucap Petrus Asuy.
Kawasan hutan dan wilayah kampung Muara Tae sudah menjadi rebutan berbagai perusahaan sejak 48 tahun yang lalu.
Luas wilayah sekitar 11 ribu hektare (ha) ini sejak tahun 1971 sudah mulai dieksploitasi oleh perusahaan HPH, batu bara, maupun perkebunan kepala sawit. Tercatat sedikitnya ada enam perusahaan yang ingin menguasai Hutan Adat Muara Tae.