Terkait Judicial Review UU KPK ke MK, Berikut Durasi Putusan MK Menurut Mantan Penasehat KPK
Terkait Judicial Review UU KPK ke MK, Berikut Durasi Putusan MK Menurut Mantan Penasehat KPK
Penulis: Jino Prayudi Kartono | Editor: Samir Paturusi
TRIBUNKALTIM.CO, TENGGARONG -terkait Judicial Review UU KPK ke MK, berikut durasi putusan MK menurut Mantan penasehat KPK
penasehat KPK periode tahun 2005 hingga 2013 Abdullah Hehamahua , memberikan tanggapan terkait banyaknya kelompok masyarakat yang melakukan peninjauan kembali,
atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terkait sahnya Revisi UU KPK beberapa waktu lalu.
Menurut Abdullah Hehamahua, Judicial Review merupakan salah satu langkah warga negara dalam meninjau kembali, atau membatalkan RUU KPK yang disahkan pemerintah beberapa waktu lalu.
Namun ada beberapa aspek penilaian yang membuat MK bisa menerima Judicial Review atau menolaknya.
Tergantung dari beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dibatalkannya UU Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang KPK.
"Faktor penilaian tergantung dari aspek filosofis, sosiologis, yuridis apakah UU Nomor 19 tahun 2019 memenuhi syarat atau tidak," katanya ketika menjadi keynote speaker di seminar nasional tentang pro kontra Revisi UU KPK dan KUHP di Universitas Kutai Kartanegara, Selasa (19/11/2019).
Dari situ MK bisa melihat pasal mana saja yang harus dirubah sesuai ketentuan dalam pemberantasan korupsi, dan juga mana yang bertentangan dengan UUD 1945 atau bertentangan dengan MK itu sendiri.
Menurutnya, masyarakat diingatkan tetap sabar untuk proses Judicial Review.
Sebab untuk proses tersebut membutuhkan waktu cukup panjang. Jika materinya cukup kuat maka putusan MK pun akan diputuskan lebih cepat.
"Kita serahkan kepada MK sendiri untuk direvisi atau tidak. Bisa lebih cepat kurang lebih satu bulan sudah bisa diputuskan," kata Abdullah Hehamahua.
Sebelumnya, Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) Kaltimtara bersama dengan
Universitas Kutai Kartanegara ( Unikarta ) mengadakan seminar nasional
di gedung Febis Unikarta, Selasa (19/11/2019).
Dalam seminar kali ini para praktisi hukum memaparkan seluk beluk tentang
dampak yang terjadi tentang pengesahan RUU KPK dan RUU KUHP.
Seminar kali ini penasehat KPK tahun 2005-2013 Abdullah Hehamahua Hehamahua,
dosen Fakultas Hukum Zulkifli Aspan, Dekan Fakultas Hukum Abdul Madjid Mahmud,
dan Kabid Hukum & HAM Badko HMI Kaltimtara Mansyur memberikan materi kepada mahasiswa
yang hadir. Seminar ini mulai pukul 08.00 dan selesai 12.00. (jnp)

Korupsi Selalu Muncul di Indonesia. Ini Saran Dekan FH Unikarta
Seminar Nasional tentang Pro Kontra Revisi UU KPK dan KUHP dilaksanakan di gedung Febis Universitas
Kutai Kartanegara, Selasa (19/11/2019).
Dalam kegiatan tersebut beberapa mahasiswa bertanya tentang masalah korupsi yang terjadi di Indonesia.
Sekaligus membahas tentang pro kontra Revisi UU KPK yang menjadi pembicaraan hangat di dalam negeri.
Salah satu mahasiswa bertanya apa yang menyebabkan korupsi menjadi darah daging di Indonesia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara Abdul Madjid Mahmud diberikan kesempatan
menjawab pertanyaan tersebut.
Menurutnya salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah kurangnya kesadaran pendidikan
anti korupsi di tingkat sekolah-sekolah maupun universitas.
Dia melihat beberapa kasus korupsi seringkali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan cukup baik.
"Dari segi pendidikan menurut saya setiap instansi pendidikan ada pelajaran pendidikan anti korupsi
di kampus Unikarta sendiri sudah ada.
Dari pendidikan tersebut setiap murid dan mahasiswa diajarkan bagaimana caranya menghindari korupsi," ucapnya.
Selain pendidikan, menurutnya sistem politik di Indonesia harus dibenahi.
Sebab untuk duduk di parlemen seseorang menghalalkan segala cara untuk masuk ke dewan.
Salah satunya dengan cara korupsi agar mempermulus jalan di dunia politik.
Bahkan di zaman orba masih menggunakan Pancasila sila keempat.
Sedangkan pasca reformasi dengan adanya beberapa kali amandemen justru semakin terpuruk sistem
perpolitikan di Indonesia.
"Demokrasi ada dua demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.
Di zaman orba demokrasi berasaskan sila keempat.
Setelah reformasi ada empat kali amandemen dan melenceng dari sila keempat," katanya. (*)
Cegah Terpapar Paham Radikalisme, Para Siswa di Kukar Ikut Seminar Kebangsaan
Puluhan siswa mengikuti kegiatan seminar kebangsaan di gedung sekolah SMK YPK Tenggarong, Kamis
(14/11/2019) siang.
Terlihat beberapa siswa maupun siswi antusias mendengarkan paparan dari Danramil maupun perwakilan
Intel Polres Kutai Kartanegara.
Lia salah satu siswi yang turut hadir mengatakan dengan mengikuti kegiatan ini dirinya bisa menambah
ilmu agar mengetahui ajaran mana yang mengandung radikalisme.
Salah satu contohnya adalah menganut paham yang membuat orang lain di mata oknum itu salah
sehingga membuat dirinya maupun anggotanya itu yang selalu benar.
"Jadi kita tahu kalau ada orang yang menganggap ajarannya selalu benar di mata orang lain bisa-bisa itu
orang yang suka nyebarin paham radikal," ucap Lia.
Menurutnya semua agama dan keyakinan tidak ada yang mengajarkan tentang kebencian.
Sehingga jika ada orang yang menyebarkan paham tersebut bisa jadi orang itu
menganut paham radikalisme.
Sementara itu Nita masih belum tahu ciri-ciri orang yang benar-benar menganut paham berbahaya.
Terkadang jika dilihat dari luar seseorang yang memiliki paham tersebut sama dengan orang sekitarnya.
"Kalau ikut caranya itu justru jadi su'udzan sama orang," ucapnya.
Ia berharap kegiatan seperti ini bisa menjadi kegiatan rutin.
Tujuannya agar generasi seperti dirinya itu bisa tahu mana yang baik dan buruk.
Berita sebelumnya Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) Kutai Kartanegara sangat menolak dengan adanya paham radikalisme.
Bahkan di kalangan internal sendiri pun organisasi ini pun sudah menjaga agar paham radikal tidak masuk
ke dalam anggota.
Salah satunya dengan memberikan pemahaman tentang pencegahan radikal.
Seperti melakukan diskusi di luar kampus dengan tujuan agar para anggota baik lama maupun baru tidak
terpapar pemahaman radikal.
"Kami ingin mengembalikan ini paham yang benar dengan melakukan kajian dan diskusi dari pemateri dan
senior yang paham," kata Suardi selaku Ketua Umum HMI Komisariat Ekonomi dan Bisnis Cabang Kukar.
Selain itu juga, menurut Suardi oknum yang melakukan radikalisme di Indonesia ini merupakan musuh
negara.
Meskipun menurut para oknum penganut radikalisme itu adalah baik, tapi menurut negara adalah hal
yang tidak diperbolehkan.
"Radikalisme itu adalah musuh negara. Meskipun mereka menganggap paham mereka untuk negara tapi
bagi kami itu adalah paham yang membahayakan negara," ucapnya. (*)
Baca Juga;
• Dihadiri Para Pakar Hutan se-Indonesia, Bupati Berau Buka Seminar Nasional XXII Mapeki
• Jadi Keynote Speaker Seminar Nasional, Hadi Mulyadi Tegaskan Kaltim Fokus Siapkan SDM Berkualitas
• Seminar Nasional di Kutai Timur, Alat Musik Sampeq Dayak Diusulkan jadi Budaya Dunia
• Mahasiswa Hukum Gelar Seminar Nasional, KPK: Beri Bingkisan ke Dosen Penguji Itu Bentuk Gratifikasi!