Kisah Pasien Virus Corona di China, Sempat Diberi Obat HIV dan Dikarantina di Apartemen
Kisah pasien Virus Corona di China, sempat diberi obat HIV dan dikarantina di apartemen dan akhirnya sembuh
TRIBUNKALTIM.CO-Kisah pasien Virus Corona di China, sempat diberi obat HIV dan dikarantina di apartemen dan akhirnya sembuh
Wabah Virus Corona hampir menjalar seluruh Dunia termasuk di Indonesia.
Wabah ini mulai muncul di Wuhan, China beberapa waktu lalu dan sampai sekarang mulai bermunculan di sejumlah negara.
Meski wabah ini sudah menjalar hampir seluruh dunia, namun China saat wabah ini mulai menyerang langsung mengambil tindakan untuk menyembuhkan para penderita.
Namun banyak juga penderita yang tak mampu diselamatkan dan harus kehilangan nyawa karena penyakit ini.
Sejumlah pasien bahkan berusaha melawan agar virus ini tidak merenggut nyawanya.
Seperti yang dilakukan seorang pasien penderita Virus Corona asal Wuhan, China menceritakan perjuangannya melawan virus tersebut.
Baca Juga
3 Pasien Diisolasi Terkait Virus Corona Meninggal di Semarang, Sukabumi, Cianjur, Ini Penjelasannya
Salah Satunya Jahe Merah, Ahli Sebut 3 Bahan Dapur Khas Indonesia Ini Ampuh Tangkal Virus Corona
Dinkes Bantah Kabar Virus Corona Masuk Wilayah Kaltim, Andi Ishak: Sejauh Ini Masih Aman
Sebelum akhirnya sembuh, seperti yang dilansir TIME via Tribunnews.Com, ia mengalami banyak hal, mulai dari kunjungan berkali-kali ke rumah sakit, gejala yang berat yang membuatnya berpikir ia akan meninggal, sampai isolasi di bawah pengawasan polisi.
Tiger Ye (bukan nama sebenarnya) merupakan mahasiswa 21 tahun asal Wuhan, kota tempat pertama kali Virus Corona muncul.
Ye mulai merasa dirinya terkena Virus Corona pada tanggal 21 Januari 2020.
Saat itu ia merasa sangat lemah saat sedang makan malam.
Ia memeriksa suhunya yang ternyata cukup tinggi.
Saat itu, belum banyak yang diketahui tentang Virus Corona atau Covid-19.
Namun diberitahukan, virus tersebut sangat mudah menular.
Tengah malam, Ye pergi ke rumah sakit terkenal di kotanya, RS Tongji.
Di ruang tunggu, banyak pasien yang memiliki gejala yang sama dengannya.
Ia pun sadar ia harus menunggu lama untuk akhirnya diperiksa.
"Saya takut... Ada banyak berkas yang ditumpuk di meja, setiap dokter mengenakan pakaian pelindung, sesuatu yang tak pernah saya lihat sebelumnya," ucapnya seperti yang dilansir TIME.
Di malam itu, karena gejala yang dialami Ye dinilai tidak tergolong parah, dokter menyuruhnya pulang dan mengarantina dirinya sendiri.
Sebelum pulang, Ye membeli obat dari rumah sakit kecil di dekatnya setelah meninggalkan Tongji.
Dua minggu setelahnya, Ye hidup dengan kegelisahan.
Baca Juga
Cegah Penyebaran Virus Corona, Rahmad Masud dan Manajemen Plaza Balikpapan Bagi-bagi Masker Gratis
Jawab Kegundahan Warga Soal Virus Corona, Walikota Balikpapan Gelar Sosialisasi dan Bagi-bagi Masker
Ye bertanya-tanya tentang penyakitnya yang gejalanya makin parah dari hari ke hari.
Empat hari pertama, penyakitnya itu menyerangnya dengan brutal.
"Saya menderita demam tinggi dan nyeri yang menyiksa di setiap bagian tubuh saya," kata Ye.
Ye menghabiskan hari-hari menonton kartun Jepang untuk mengalihkan perhatian dari ketidaknyamanan itu.
Empat hari kemudian, di hari Ye membuat janji dengan rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan, pemerintah Wuhan telah mengunci kota, melarang siapa pun pergi untuk menghentikan penyebaran virus.
Semuanya berubah dalam sekejap: jalan-jalan kosong, harga buah dan sayuran melonjak, dan penduduk bahkan tidak yakin apakah mereka diizinkan meninggalkan apartemen mereka.
Situasi di Hubei makin kacau saat pasien yang kemungkinan besar terkena Virus Corona jumlahnya jauh melebihi kapasitas rumah sakit.
Saat Hubei mulai menghitung pasien yang didiagnosis dengan CT dan juga dengan asam nuklet, jumlah terkonfirmasi langsung mendekati 50 ribu orang.
Kondisi Ye juga memburuk.
"Saya batuk seperti akan mati rasanya," katanya.
Di rumah sakit, beberapa CT scan menunjukkan kemungkinan besar Ye terkena Virus Corona yang telah menyebar ke paru-parunya.
Dokter ragu-ragu apakah Ye memenuhi syarat untuk menjalani tes asam nukleat, tes untuk mengkonfirmasi apakah ia benar-benar telah terinfeksi.
Tetapi diputuskan bahwa kasusnya Ye tidak cukup parah.
Pasokan alat tes itu diperuntukkan bagi pasien yang lebih kritis saja.
Ye kembali dipulangkan.
Ketika Ye hanya dirawat di rumah setelah kunjungan keduanya ke rumah sakit, tanpa tahu apakah dia terkena Virus Corona atau tidak, saudara lelakinya dan neneknya juga mulai menunjukkan gejala yang sama.
Dalam semalam, kondisi Ye memburuk ke titik yang dia pikir akan mati.
"Saya pikir saya mengetuk pintu neraka," katanya.
Ye kembali ke rumah sakit setelah suhunya melonjak hingga 39 derajat Celcius.
Dokter memberinya tetes infus dan memberikan Kaletra, obat kombinasi yang digunakan untuk mengobati HIV yang telah menunjukkan beberapa keberhasilan dalam memerangi Virus Corona.
Suhunya akhirnya turun menjadi 37 derajat.
Seminggu setelahnya, Ye tampaknya mencapai titik balik.
Kondisi Ye terus membaik ketika ia akhirnya mendapatkan salah satu test kit pada 29 Januari, yang mengkonfirmasi bahwa dia memang terkena virus.
Dokter memberinya obat antiviral Aluvia selama lima hari dan mengirimnya kembali ke apartemennya untuk karantina, mengingat karena rumah sakit tidak memiliki cukup tempat tidur untuk menampungnya.
Di hari kesembilan, atau pada tanggal 7 Februari, serangkaian tes asam nukleat kembali dilakukan.
Ye dinyatakan negatif, tetapi bukan berarti Ye sudah sembuh total.
Setelah ada laporan bahwa bahkan pasien yang dites negatif bisa kembali kritis, pemerintah setempat mengkarantina Ye di sebuah hotel yang telah berubah menjadi rumah sakit darurat.
Polisi berjaga di luar untuk mencegah siapa pun pergi atau masuk.
Ye akhirnya diizinkan pulang lima hari kemudian, mengakhiri perjuangannya selama lebih dari tiga minggu.
Ia bersyukur dirinya berhasil sembuh.
Ye memberi hormat kepada para dokter dan perawat yang mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk membantunya.
Beberapa dokter mengatakan kepadanya bahwa mereka curiga mereka juga terjangkit Virus Corona, tetapi mereka terus merawat pasien.
Seperti kebanyakan warga China pada umumnya, Ye sangat kritis terhadap respons pemerintah terhadap wabah tersebut, terutama respons awal yang lambat dari pejabat setempat.
"Hubei telah kehilangan satu kesempatan ketika mereka mencoba untuk menyembunyikan sesuatu," kata Ye.
Baca Juga
Virus Corona, Larangan Anies Baswedan Soal Izin Keramaian, Bikin Persija vs Persebaya Ditunda?
Pasien Positif Infeksi Virus Corona di China 50 Persen Sembuh, Simak Cara Cegah Penularan Covid-19
"Hal-hal tidak akan sampai seperti ini jika pemerintah tidak menyembunyikan informasi sebulan yang lalu."
Ye termasuk orang yang beruntung, karena ayahnya yang merupakan pekerja kesehatan, selalu waspada akan penyebaran virus ini.
Lebih dari 1000 orang meninggal dunia akibat Virus Corona di Provinsi Hubei.
Kurangnya tempat tidur rumah sakit, alat tes dan peralatan medis dasar lainnya mengakibatkan banyak orang harus antri berjam-jam untuk mendapatkan diagnosis dokter.
Beberapa meninggal bahkan sebelum menemui dokter. (*)