Hari Kartini

Sejarah 21 April Hari Kartini, Ini Rekam Jejak Sang Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini

Momen Sejarah Hari Ini tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini atau Kartini Day. Peringatan Hari Kartini untuk mengenang jasa Pahlawan

Editor: Syaiful Syafar
Twitter.com
Momen sejarah hari ini tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini atau Kartini Day. Peringatan Hari Kartini untuk mengenang jasa Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini atau biasa juga ditulis RA Kartini. 

TRIBUNKALTIM.CO - Momen Sejarah Hari Ini tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini atau Kartini Day.

Peringatan Hari Kartini untuk mengenang jasa Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini atau biasa juga ditulis RA Kartini.

Tanggal 21 April merujuk pada hari kelahiran RA Kartini.

Pahlawan Nasional asal Jepara itu dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan.

Dia adalah tokoh pelopor kebangkitan perempuan pribumi dan menjadi simbol bagi kemerdekaan Indonesia lewat gerakan feminis.

Berikut rekam jejak Raden Ajeng Kartini dari lahir hingga wafat.

11 Ucapan Selamat Hari Kartini Bahasa Indonesia & Inggris, Share via WhatsApp, Facebook, IG, Twitter

Kelahiran

Lahir di Rembang, 21 April 1879, RA Kartini prihatin dan merasakan adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan pada masa penjajahan.

Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini (IST)

Pada zaman itu perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan.

Hanya perempuan bangsawan yang berhak memperoleh pendidikan.

Pendidikan

Beruntung, RA Kartini memperoleh pendidikan di ELS (Europes Lagere School).

Karena RA Kartini adalah anak dari Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, Bupati Jepara.

Namun, Kartini hanya bisa memperoleh pendidikan hingga berusia 12 tahun.

Karena menurut tradisi jawa, anak perempuan harus tinggal di rumah sejak usia 12 tahun hingga menikah.

Refleksi Memperingati Hari Kartini, Emansipasi bukan Perjuangan Melawan Laki-laki

Dilansir dari Kompas.com (21/4/2014), RA Kartini punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan karena ingin mendapatkan hak yang sederajat dengan pria dalam hal pendidikan.

Tapi keinginan untuk sekolah lebih tinggi harus terkubur, karena RA Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 1903.

Meski menikah, RA Kartini tetap berjuang memperhatikan kaumnya.

Raden Ajeng Kartini menuang pemikirannya lewat tulisan yang dimuat oleh majalah perempuan d Belanda bernama De Hoandsche Lelie.

Raden Ajeng Kartini juga mengirim surat ke teman-temannya di Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon.

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), dalam surat yang ditulisnya, Kartini menyatakan keprihatinannya atas nasib-nasib orang Indonesia di bawah kondisi pemerintahan kolonial.

Ini juga untuk peran-peran terbatas bagi perempuan Indonesia.

Bahkan, dia menjadikan hidupannya sebagai model emansipasi.

Buku Kartini

Tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah dan yang dikirim ke teman-temannya dibukukan oleh Jacques Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.

Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan menuju Cahaya.

Kisah Sedih Soesalit, Putra RA Kartini yang Tak Kenal Ibunya, Sejak Kecil Diasuh Kakak Tiri

Pada 1922, tulisan itu diterbitkan menjadi bukuk kumpulan surat Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeh Pikiran, oleh Balai Pustaka.

Buku itu memperoleh respon positif dari masyarakat dan mendapat dukungan di Belanda.

Bahkan dibentuk Yayasan Kartini pada tahun 1916.

Yayasan itu kemudian mendirikan sekolah perempuan di beberapa daerah Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang hingga Cirebon.

Meninggal

RA Kartini meninggal pada 17 September 1904 di usia 25 tahun setelah beberapa hari melahirkan.

RA Kartini dimakamkan di Desa Bulu Kabupaten Rembang.

RA Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden No 108 Tahun 1964.

Hari Kartini, Postingan 8 Artis Cantik Ini Benar-benar Bikin Baper

Tidak hanya itu, tanggal lahir RA Kartini 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.

Ini untuk menghormati jasa-jasanya dalam memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia.

Tak Ingin Hidup Lebih dari 25 Tahun

Kematian RA Kartini yang mendadak pada tanggal 17 september 1904, empat hari setelah melahirkan putera laki-lakinya mengejutkan banyak pihak.

Sabahat dan kerabat tidak menyangka RA Kartini pergi begitu cepat.

Suaminya, RM Djojo Adiningrat tak kuasa menahan sedih dan sangat terpukul, perasaannya ini dengan nyata ia ungkapkan dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, sahabat sekaligus wanita yang dianggap ibu oleh Kartini.

"Dengan halus dan tenang ia menghembuskan napasnya yang terakhir dalam pelukan saya, lima menit sebelum hilangnya (meninggal) pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia masih sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah lambang cinta dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenasahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pasanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota," tulis Djojo Adiningrat seperti di kutip dari buku "Kartini: Sebuah Biografi" yang ditulis oleh Sitisoemandari Soerto.

Diciptakan WR Supratman, Beginilah Lagu Ibu Kita Kartini Jika Dimainkan dengan Biola, Merdu!

Kartini dan anaknya, Seosalit Djojoadiningrat
Kartini dan anaknya, Seosalit Djojoadiningrat (Historia.id)

Kabar mengenai kematian RA Kartini kemudian tersiar dalam koran De Java bode hari Senin, 19 September 1904, dalam sebuah ‘in memoriam’ yang menceritakan riwayat hidup Kartini.

"Suatu kehilangan yang susah digantikan oleh mereka yang akan berusaha mengikuti jejaknya," tulis koran itu.

RA Kartini sendiri semasa hidupnya seperti sudah punya firasat kalau hidupnya tak akan lama.

Ia sempat ‘berpamitan’ kepada orang-orang terdekatnya.

Saat berkirim surat kepada kepada Nyonya Abendanon tertanggal 10 Agustus, Kartini mengatakan jika surat yang ia tulis merupakan surat terakhir.

Tanda-tanda itu juga ia sampaikan sendiri kepada adiknya.

Inilah Sosok Soesalit Djojoadhiningrat, Putra Semata Wayang RA Kartini yang Terlupakan

Roekmini menceritakan bagaimana kakaknya yakin jika ia akan meninggal di usia muda dalam suratnya kepada Nellie van Kol pada tanggal 21 Juni 1905.

"Tak kala masih gadis dan masih berkumpul, Ayunda sering bilang bahwa ia tak mau hidup lebih lama dari 25 tahun," kesaksian Roekmini.

Waktu mengandung Kartini juga berulang kali menulis kepada Roekmini, memintanya untuk merawat anaknya jika ia tidak dapat merawat lagi.

Juga ketika sang suami, Bupati Djojo Adiningrat berbicara mengenai kemungkinan jika ia akan meninggal duluan karena usianya yang jauh lebih tua, Kartini akan memotong pembicaraan.

“Tidak Kanda, dari kita berdua aku nanti yang meninggal lebih dulu. Lihat saja nanti!." tulis Roekmini dalam suratnya menceritakan perihal firasat Kartini.

Keponakan kesayangan Kartini, Soetijoso Tjondronegoro juga mendapat ‘tanda’ itu.

Emosi Dian Sastro Ketika Kartini Sedih tak Bisa Belajar ke Belanda

Saat berumur 5 tahun dan sedang bersama orangtuanya tiba-tiba seekor cicak jatuh di kepalanya.

Dalam kepercayaan Jawa, cicak yang jatuh di atas kepala merupakan pertanda jika akan ada kerabat yang meninggal.

Paginya, tersiar kabar duka yang datang dari Rembang.

RA Kartini meninggal.

Soetijoso yang kemudian masih sempat ditemui oleh Sitisoemandari Soeroto penulis buku Kartini Sebuah Biografi mengatakan tak ingin menyinggung lebih banyak mengenai meninggalnya Kartini yang begitu mendadak.

"Kami pihak keluarga menerima keadaan sebagaimana faktanya dan sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa," katanya. (*)

IKUTI >> UPDATE HARI KARTINI

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan" dan "Kisah Kartini yang Tak Ingin Hidup Lebih dari 25 Tahun"
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved