Cuaca Lebih Dingin di Beberapa Daerah di Indonesia, Bukan Karena Aphelion, Ini Penjelasan Ahli
Andi Pangerang, peneliti dari Pusat Sains Antartika Lembaga Penerbangan dan Antariksa ( Lapan), mengatakan, Aphelion tidak memengaruhi kondisi cuaca
TRIBUNKALTIM.CO - Cuaca terasa lebih dingin dirasakan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, apakah penyebabnya?
Seperti diberitakan sebelumnya posisi Bumi saat ini berada di titik Aphelion atau titik terjauh dari Matahari.
Apakah ini yang menjadi penyebab cuaca terasa lebih dingin?
Ternyata bukan karena Bumi berada di titik Aphelion, begini penjelasan ahli.
• 18 Tahun Lepas dari Indonesia, Timor Leste Kini Diterpa Kabar Buruk, 2020 Ada Andil Virus Corona
• Mengejutkan! Episenter Gempa Hari Ini 5 Juli 2020 di Blitar Dekat Sumber Gempa Mengerikan Tahun 1896
• Terang-terangan Mau Gabung Kabinet Jokowi, Rocky Gerung Bersedia Jadi Menteri Gantikan Yasonna Laoly
• Kepala BPKAD Kutim Suriansyah Ditahan KPK, Pegawai dan Pihak Ketiga Was-was Soal Pencairan
Beberapa hari terakhir, masyarakat yang tinggal di selatan khatulistiwa seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatera pasti merasa lebih dingin dari biasanya.
Andi Pangerang, peneliti dari Pusat Sains Antartika Lembaga Penerbangan dan Antariksa ( Lapan), mengatakan, Aphelion tidak memengaruhi kondisi cuaca di seluruh dunia.
Posisi bumi yang berada di titik terjauh dari Matahari juga tidak memengaruhi panas yang diterima bumi.
Andi mengatakan, distribusi yang paling signifikan memengaruhi cuaca bumi adalah pola angin.
Pada bulan Juli hingga Agustus nanti, posisi rotasi sumbu yang menghadap ke Matahari di belahan utara menyebabkan suhu di belahan utara bumi lebih panas dibanding di selatan.
"(Hal ini) membuat angin bertiup dari belahan bumi selatan ke utara, yang disebut sebagai angin muson tenggara," kata Andi dihubungi Kompas.com, Minggu (5/7/2020).
"Jadi dampak signifikan dari Aphelion tidak ada. Nah, cuaca yang belakangan lebih dingin disebabkan oleh angin muson tenggara yang bertiup dari Australia ke Asia," imbuhnya.
Andi menjelaskan lebih lanjut, pengaruh pola angin ini menyebabkan cuaca dingin di bagian selatan khatulistiwa, kKhususnya di Jawa, Bali, NTT, NTB, dan sebagian Sumatera di bagian selatan.
"Tetapi, untuk Indonesia di bagian utara (khatulistiwa), justru mengalami panas. Karena memang mengikuti bumi belahan utara yang suhunya lebih panas dibandingkan selatan," jelas Andi.

Penurunan suhu
Andi yang tinggal di Bandung mengatakan, biasanya kota kembang itu memiliki suhu paling dingin 20 derajat celsius.
Namun, karena angin muson tenggara, suhu di Bandung bisa turun menjadi 17 derajat celsius.
• AC Milan Tawarkan Paolo Maldini Tetap Bertahan, Syaratnya Bisa Bikin Sang Legenda Tersinggung
• AHY Susul Ahok, Mencuat Masuk Bursa Menteri Baru Jokowi, Partai Demokrat Tak Tinggal Diam
• Desak Jokowi Lakukan Reshuffle Kabinet, Anggota DPR RI Sebut 2 Jenderal Layak Dicopot dari Menteri
• Lion Air Group dan Citilink Adakan Layanan Rapid Test, Syarat dan Ketentuan, Ada yang harus Bayar
Bahkan, untuk dataran yang lebih tinggi seperti Lembang, Bandung, suhunya bisa menjadi 15 derajat celsius.
"Jadi penurunannya cukup signifikan. Untuk Bandung sendiri (turun) 3-5 derajat celsius," ujar Andi.
Perubahan cuaca ini sebenarnya tidak hanya terjadi saat malam atau dini hari, tetapi sepanjang hari hingga perkiraan Agustus nanti.
Saat Ini, Bumi Berada pada Titik Aphelion, Bagaimana Dampaknya untuk Indonesia
Saat ini, Bumi berada di titik Aphelion, apakah itu dan bagaimana dampaknya untuk Indonesia, simak fakta dan penjelasan lengkapnya.
Untuk saat ini, Bumi sedang berada di titik Aphelion yakni titik terjauh dari Matahari.
Adakah dampaknya untuk Indonesia, begini fakta dan penjelasan lengkapnya.
Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan elips.
Artinya ada saat di mana Bumi berada pada titik terdekatnya dengan Matahari dan ada kalanya Bumi berada sangat jauh dari Matahari.
Ketika Bumi berada di titik terjauh dengan Matahari, ini disebut Aphelion.
Fenomena ini terjadi setiap tahun dan selalu jatuh di bulan Juli.
Dilansir laman Langit Selatan, Hari ini (6/7/2020), Bumi berada di titik terjauh dari Matahari dengan jarak 1,0167 AU atau 152.505.000 kilometer.
Sementara pada Sabtu (4/7/2020), pukul 18.34 WIB, Bumi berada di jarak 152.095.295 kilometer dari Bumi.
"Yang memengaruhi Aphelion adalah bentuk orbit Bumi yang bukan lingkaran sempurna, melainkan berbentuk elips," kata Andi Pangerang, Peneliti dari Pusat Sains Antartika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ( Lapan ) Andi Pangerang kepada Kompas.com, Minggu (5/7/2020).
Fenomena titik Aphelion ini dapat diamati dengan teleskop berfilter.
Meskipun demikian memang perbedaannya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan ketika perihelion 5 Januari lalu.
Matahari akan terlihat sedikit lebih kecil dibandingkan rata-rata yakni sekitar 15,73 menit busur atau berkurang 1,68 persen.
"Sekitar 3,36 persen lebih kecil dibandingkan ketika Perihelion," kata Andi.
Andi mengungkapkan, waktu yang mendekati terjadinya Aphelion yakni pada saat menjelang masuknya waktu Maghrib.
Tak hanya itu, durasi fenomena langit ini juga tak memakan waktu lama, hanya setengah jam saja.
"Setengah 6 sore untuk Jakarta dan sekitarnya, jadi beda-beda di setiap tempat, karena Maghribnya kan juga beda-beda waktunya," papar Andi.
"Durasi waktunya juga nggak lama-lama. Cuma setengah jam saja," pungkas dia.
Nah, sementara titik terdekat Bumi dengan Matahari disebut Perihelion.
Fenomena ini terjadi setiap bulan Januari.
Lantas, apa dampak Aphelion untuk Indonesia?
Andi menjelaskan, sebenarnya fenomena Aphelion tidak berdampak signifikan pada Indonesia.
Posisi Bumi yang berada pada titik terjauh dari Matahari juga tak memengaruhi panas yang diterima Bumi.
Ini karena, radiasi dari Matahari terdistribusi secara merata di seluruh permukaan Bumi.

"Sehingga jarak Bumi ke Matahari tidak terlalu signifikan memengaruhi tingkat radiasi yang mengenai permukaan Bumi," terang Andi.
"Jadi dampak signifikan dari Aphelion tidak ada, tapi cuaca yang belakangan ini lebih dingin lebih disebabkan oleh Angin muson tenggara yang bertiup dari Australia ke Asia," papar Andi.
Dia menjelaskan, distribusi yang paling signifikan memengaruhi cuaca Bumi disebabkan oleh pola Angin.
Mengingat saat ini Angin bertiup dari arah Selatan yang tengah mengalami musim dingin, maka Indonesia akan merasakan suhu yang lebih dingin.
Menurut dia suhu dingin ketika pagi hari yang terjadi belakangan ini merupakan hal yang biasa terjadi pada musim kemarau.
Sehingga bukan disebabkan karena fenomena Aphelion.
• Sabtu Ini Bulan Terlihat di Siang Hari, Sejajar dengan Planet Mars, Apa Arti Fenomena Alam Ini?
• Tahukah Anda, Inilah Fenomena-fenomena Langit Bulan Juni 2020, 6 Juni Gerhana Bulan Penumbra
• Fenomena Bulan Purnama Strawberry Akan Terjadi di Bulan Juni, Catat Tanggal dan Simak Keunikannya
• 4 Fenomena Langit Langka Terjadi Saat Pandemi Virus Corona, Salah satunya Berada di Atas Kota Mekkah
Selain itu, kemungkinan suhu dingin ini akan berlangsung hingga Agustus mendatang.
"Karena tutupan awan yang sedikit, jadi tidak ada panas dari permukaan Bumi (yang diserap dari cahaya Matahari dan dilepaskan pada malam hari) yang dipantulkan kembali ke permukaan Bumi oleh awan," jelas Andi.
Mengingat posisi Matahari saat ini berada di belahan Utara, maka tekanan udara di belahan Utara lebih rendah jika dibandingkan belahan Selatan yang mengalami musim dingin.
Oleh karena itu, kata Andi, Angin bertiup dari arah Selatan menuju Utara.
"Saat ini Angin yang bertiup itu dari arah Australia yang memang mengalami musim dingin," jelas Andi.
Dampak yang ditimbulkan yakni efek penurunan suhu, khususnya di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang terletak di selatan khatulistiwa, yang saat ini sedang terjadi.
(Kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sebagian Indonesia Lebih Dingin Bukan karena Aphelion, tapi Pola Angin", https://www.kompas.com/sains/read/2020/07/06/092028123/sebagian-indonesia-lebih-dingin-bukan-karena-aphelion-tapi-pola-angin?page=all.
Penulis : Gloria Setyvani Putri