Breaking News

Trending Topic, Ini Kronologi Gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran yang Ancam Kebebasan Live di Medsos

Tengah jadi trending topic Twitter, begini kronologi gugatan RCTI terhadap UU penyiaran yang ancam kebebasan Live di media sosial ( medsos ).

Editor: Amalia Husnul A
Freepik
Ilustrasi siaran langsung media sosial. Tengah jadi trending topic Twitter, begini kronologi gugatan RCTI terhadap UU penyiaran yang ancam kebebasan Live di media sosial ( medsos ). 

Sidang kedua dilakukan pada 9 Juli, dan berlanjut pada sidang ketiga pada 26 Agustus di tempat yang sama.

Pada sidang terakhir, turut hadir perwakilan pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Kementerian Hukum dan HAM.

Guagatan dan permohonan

Dalam gugatannya, RCTI dan iNews menyoalkan Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran yang berbunyi: "Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yag bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran."

"Dengan demikian, berbagai macam layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming pada dasarnya juga memproduksi konten-konten siaran, sehingga seharusnya masuk ke dalam rezim penyiaran.

Hanya saja, perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan," tulis gugatan tersebut.

RCTI dan iNews juga menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bersifat ambigu dan menciptakan ketidakpastian hukum. Dalam Pasal 1 angka 22 UU Penyiaran tertulis:

"Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."

"Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata kuasa hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal. Misalnya, dalam melakukan kegiatan penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia, hingga memperoleh izin siaran.

Belum Selesai Diuji, Erick Thohir Ungkap Harga Vaksin Corona dari China, Tak Cukup Sekali Disuntik

AC Milan Musim Depan Makin Jos! Ibrahimovic Perpanjang Kontrak, Playmaker Real Madrid Menyusul

Sementara penyelenggara siaran berbasis internet (OTT) seperti Facebook, Instagram, dan YouTube tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.

Dalam penyelenggaraan aktivitas, pemohon juga tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS).

Jika terjadi pelanggaran, penyelenggara terancam mendapatkan sanksi yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara hal itu tidak berlaku bagi penyedia layanan OTT.

"Padahal faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud," kata Imam.

Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tak berkekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.

Sumber: TribunNewsmaker
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved