Trending Topic, Ini Kronologi Gugatan RCTI terhadap UU Penyiaran yang Ancam Kebebasan Live di Medsos
Tengah jadi trending topic Twitter, begini kronologi gugatan RCTI terhadap UU penyiaran yang ancam kebebasan Live di media sosial ( medsos ).
Pemohon meminta supaya MK mengubah bunyi Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran menjadi:
"Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum 12 frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."
Pemerintah menolak
Dalam sidang ketiga yang dihadiri Kemenkominfo sebagai perwakilan pemerintah meminta agar MK menolak permohonan RCTI dan iNews.
Pemerintah menilai apabila permohonan itu dikabulkan, masyarakat tidak bisa mengakses media sosial secara bebas.
Sebab, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan tayangan audio visual sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.
"Definisi perluasan penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," kata Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan di MK, Rabu (26/8/2020), seperti dihimpun KompasTekno dari Antara, Kamis (27/8/2020).
"Artinya, kita harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," imbuh Ramli.
Apabila kegiatan tersebut masuk sebagai penyiaran, perorangan, badan usaha, dan lembaga lain, termasuk kreator konten yang memanfaatkan OTT, harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran.
Jika tidak mengantongi izin, mereka bisa dinyatakan melakukan penyiaran ilegal dan terancam sanksi pidana. Ramli juga mengatakan, penyedia layanan audio-visual umumnya melintasi batas negara, maka mustahil menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yurisdiksi dalam negeri.
Lebih lanjut, Ramli juga mengatakan, ada perbedaan yang jelas antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran dengan layanan OTT. Menurut Ramli, keliru apabila menyamakan layanan penyiaran dengan layanan OTT, meskipun konten yang dihasilkan sama-sama audio atau audio visual.
"Para pemohon tidak memahami secara menyeluruh definisi penyiaran dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, dan tidak memahami pengaturan penyelenggaraan penyiaran dalam UU Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya," kata dia.
Berada di bawah UU ITE
Ramli menjelaskan, semua media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya masing-masing.
Layanan penyiaran diatur dalam UU Penyiaran.