Berita Nasional Terkini

Tegaskan Tak Niat Hambat Anies , PDIP: Jangan 2022 Masih Pandemi Covid, Sebaiknya Pilkada Tetap 2024

Revisi UU Pemilu antara lain mengubah jadwal pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023. Anies disebut-sebut akan kehilangan momentum jika

KOMPAS.COM
Gubernur Anies Baswedan 

TRIBUNKALTIM.CO - Penentuan tahun pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) apakah 2022 dan 2023 atau tetap 2024 menjadi salah satu polemik yang alot di DPR RI dalam pembahasan revisi draft RUU Pemilu

Penentuan tahun ini dinilai sangat penting. Sebab selain akan lebih menyelaraskan pelaksanaan pemilu di Tanah Air juga akan sekaligus membuat seseorang yang ingin maju di Pilpres 2024 bisa kehilangan mometum. Begitu pun sebaliknya, seseorang yang lain akan lebih melihatnya sebagai peluang besar. 

PDI-P misalnya diketahui termasuk partai yang bersikeras menolak pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 yang tercantum di dalam draf Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).

Jadwal Pilkada 2022 itu tertuang dalam Pasal 731 Ayat (2) draf RUU Pemilu. Yakni bahwa pemilihan kepala daerah hasil Pilkada 2017 akan dilaksanakan pada tahun 2022.

Bunyi lengkap Pasal 731 Draf RUU Pemilu:

Pasal 731
(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2020.

(2) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.

(3) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.

Akan tetapi, jadwal pilkada itu bisa ditunda apabila terjadi bencana nonalam seperti yang termaktub di Pasal 732 draf RUU Pemilu. Saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana nonalam.

Menurut Ketua DPP PDI-P Djarot Syaiful Hidayat, sikap partainya tidak ada kaitannya dengan upaya untuk menghambat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan kepala daerah lainnya.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Djarot Syaiful Hidayat
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Djarot Syaiful Hidayat (Kolase Tribun Kaltim)

Dalam catatan KPU RI, khusus tahun 2022, ada 101 daerah yang akan melaangsungkan pilkada. Plt Ketua KPU RI Ilham Saputra menyebut tujuh di antaranya Pilkada Gubernur. Yakni Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan DKI Jakarta.

Diketahui, di dalam draf RUU Pemilu dimuat ketentuan bahwa Pilkada digelar 2022 dan 2023. Salah satu Pilkada yang akan digelar pada 2022 adalah Pilgub DKI Jakarta. Namun dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan Pilkada serentak ditetapkan pada November 2024.

Sehingga, jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 akan diisi pejabat sementara termasuk Anies Baswedan.

"Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UUnya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI," kata Djarot dikutip dari Kompas.com, Jumat (29/1/2021).

Djarot mengatakan, sebaiknya pelaksanaan Pilkada tetap dilangsungkan pada 2024 sesuai amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Sebab, hal ini salah satu bentuk konsolidasi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.

Selain itu, ia mengatakan, saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19 yang tidak dapat diprediksi kapan bisa diatasi. Oleh karenanya, menurut Djarot, sebaiknya energi pemerintah digunakan memperkuat penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

"Di samping kita juga harus mengevalusi pelaksanaan pilkada serentak 2020 yang dilaksanakan di masa pandemi," ujarnya.

Sebelumnya, Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, gelaran pilkada serentak di 2024 bisa membuat calon presiden potensial dari kepala daerah kehilangan momentum. Sebab, pilkada serentak di tahun tersebut akan berbarengan dengan pemilihan presiden.

Sementara, sejumlah nama yang belakangan masuk bursa calon presiden, seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyelesaikan masa jabatannya pada 2022 dan 2023.

"Anggap Anies 2022 selesai, lalu baru dilaksanakan pilkada serentak 2024, itu momentumnya akan susah lagi didapat. Kalau momentum susah didapat, maka karier politik akan sulit dikejarnya," kata Hendri saat dihubungi, Jumat (29/1/2021).

Ia mengatakan, dalam politik, kekuasaan atau kemenangan merupakan tujuan akhir. Menurut Hendri, pro dan kontra antarpartai soal revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bisa juga dilihat sebagai bagian dari upaya meraih atau mempertahankan kekuasaan itu.

Salah satu agenda revisi UU Pemilu adalah mengubah jadwal pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023. Maka, akan ada perubahan pada UU Pilkada.

"Dalam politik, kekuasaan atau kemenangan adalah tujuan akhir. Maka ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan dari petahana," ucap Hendri.

Hendri sendiri berpendapat lebih baik jadwal pilkada serentak dikembalikan menjadi 2022 dan 2023. Hal ini bercermin dari gelaran Pemilu Serentak 2019 yang menyebabkan banyak petugas kelelahan hingga meninggal dunia.

Perludem: Penting dan Relevan

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (21/3/2018). ((KOMPAS.com/ MOH NADLIR))

Sementara itu anggota Dewan Pembina Perkumpukan Pemilu untuk Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menilai, pembahasan revisi undang-undang (RUU) Pemilu penting untuk dilakukan. Hal ini bertujuan memperkuat kualitas tata kelola pemilu Indonesia untuk jangka panjang.

"Pembahasan RUU Pemilu relevan dan penting untuk dilakukan dalam rangka memperkuat kualitas tata kelola pemilu Indonesia," ujar Titi dalam diskusi daring bertajuk "Perlukah Ubah UU Pemilu Sekarang?" , Sabtu (30/1/2021).

Dia menjelaskan sejumlah alasan urgensi pembahasan RUU Pemilu. Pertama, dengan UU Pemilu saat ini, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebabkan kondisi kompleksitas pemilu lima kotak.

Kedua, hal itu lantas berpengaruh terhadap tingginya surat suara tidak sah (invalid votes) dan surat suara terbuang (wasted votes).

Ketiga, adanya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu. Kempat, adanya desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang cenderung belum berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Kelima, karena ada kebutuhan penyelarasan pengaturan dengan berbagai putusan MK terkait UU Pemilu seperti hak pilih, mantan terpidana, dan lain-lain.

Keenam, penyelesaian permasalahan keadilan pemilu dengan terlalu banyak ruang saluran (many room to justice) sehingga sulit mencapai keadilan dan kepastian hukum.

Titi melanjutkan, disatukannya naskah pengaturan pemilu dan pilkada sangat penting dilakukan guna mengatasi pengaturan yang bermakna ganda, sulit dipahami, tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak komprehensif.

"Oleh karena itu, inisiatif DPR yang membuat kodifikasi pemilu dan pilkada dalam RUU Pemilu saat ini patut diapresiasi dan didukung," lanjut Titi.

Alasannya, kata Titi, penyelenggaraan pemilu dan pilkada pada satu tahun yang sama, yakni 2024 berpotensi membuat tata kelola pemilu Indonesia kacau dan bermasalah. Oleh karena itu pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada mestinya tidak diselenggarakan pada tahun yang sama.

"Untuk menata itu, maka Pilkada sebaiknya tetap terselenggara sesuai siklus awal yaitu pada 2022 dan 2023. Sementara itu pemilihan secara nasional (pemilu) pada 2027," tegas Titi.

Harus dibahas serius

Dia melanjutkan, menimbang Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, pilihan model keserentakan pemilu akan sangat mempengaruhi kualitas tata kelola pemilu Indonesia.

"Oleh karena itu, RUU Pemilu harus dibahas serius dengan waktu yang cukup dan memadai, " kata Titi.

Pembahasan ini harus melibatkan para pemangku kepentingan, disimulasikan dengan komprehensif, serta membuka ruang partisipasi yang luas. Titi juga menyarankan, RUU Pemilu juga perlu disusun lebih adaptif pada situasi pandemi atau potensi bencana nonalam lainnya.

"Kemudian, peluang pemilihan via pos (postal voting), pemilihan lebih awal tidak hanya dalam satu hari (early voting/advance voting), dan penggunaan teknologi penghitungan suara (e-recap) harus dipertegas dan diperjelas pengaturannya," tambah Titi.

Sebelumnya, DPR tengah menggodok RUU Pemilu. RUU ini masuk dalam daftar 33 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Komisi II DPR mengusulkan revisi UU Pemilu ini ke Badan Legislasi (Baleg) pada Senin (16/11/2020) dengan alasan bahwa terjadi tumpang tindih pasal dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.

Oleh karenanya, Komisi II memutuskan agar pelaksanaan Pemilu dan Pilkada diatur dalam satu undang-undang.

"Ini kami juga dasari perubahan dalam keputusan MK, baik tentang UU Pemilu dan ada enam putusan MK tentang UU Pilkada," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dalam paparannya dalam rapat Baleg secara virtual, Senin (16/11/2020).

[Sumber: Kompas.com/Dian Erika Nuraheny/Haryanti Puspa Sari]

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perludem: Pembahasan RUU Pemilu Relevan dan Penting Dilakukan" dan "Tolak Pilkada 2022, PDI-P Tegaskan Tak Ada Niat Hambat Anies Baswedan".

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved