Berita Balikpapan Terkini
Ketua Umum GAPKI Sebut Permintaan Oleokimia Diprediksi Masih Meningkat di 2021
Tahun 2021 masih menjadi tahun yang sulit. Pengaruh pandemi Covid-19 diperkirakan belum berakhir. Meski demikian, produksi minyak sa
Penulis: Heriani AM |
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN- Tahun 2021 masih menjadi tahun yang sulit.
Pengaruh pandemi Covid-19 diperkirakan belum berakhir.
Meski demikian, produksi minyak sawit Indonesia 2021 diproyeksi akan naik signifikan.
Hal ini didukung dengan upaya pemeliharaan kebun yang lebih baik, cuaca yang mendukung dan harga yang menarik.
Baca juga: Ledakan Hebat Terjadi dari Sebuah Toko di Samarinda, Gegana Brimob Polda Kaltim Turun ke TKP
Baca juga: Mesin Kapal Mati, 3 WNA Terombang-ambing di Tengah Laut selama 10 Hari hingga Terdampar di Maratua
Baca juga: Pelaku Pencurian di Samarinda Dibekuk Warga, Sempat Aksi Kejar-kejaran Bawa Kabur Motor Korban
Produksi crude palm oil (CPO) diperkirakan capai 49 juta ton dan 4,65 juta ton untuk palm kernel oil (PKO).
Dengan komitmen pemerintah untuk melanjutkan program biodiesel 30 persen (B30), konsumsi biodiesel diperkirakan sebesar 9,2 juta kilo liter (KL) yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit.
Selain biodiesel, oleokimia punya sentimen positif.
Terbukti oleokimia turut mendongkrak konsumsi dari 89 ribu ton di 2019, menjadi 197 ribu ton di tahun 2020.
Adapun oleokimia lantaran konsumsi terhadap produk pembersih maupun antiseptik meningkat drastis pada masa pandemi.
"Oleokimia sangat tinggi naiknya, dugaan saya karena berkaitan dengan pandemi, karena konsumsi disinfektan, sabun, dan pembersih segala macam itu naik," jelas Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono dalam siaran resmi, Senin (15/2/2021).
Penggunaan sawit untuk oleokimia di 2021 diperkirakan sekitar 2 juta ton untuk domestik dan sekitar 4,5 juta ton untuk ekspor.
Namun, pada sektor produk pangan, konsumsi CPO mengalami penurunan.
Dari 723 ribu ton pada 2019 menjadi 801 ribu ton untuk tahun 2020.
Situasi itu, menurut Joko Supriyono, karena kebijakan sejumlah pembatasan aktivitas sosial oleh pemerintah untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
"Minyak paling banyak dikonsumsi hotel, restoran, katering sehingga permintaan juga menurun," jelasnya.