Gaya Hidup
Hari Puisi Sedunia, Kisah Farah Via Rahmawati Penulis Berbakat Balikpapan Luncurkan Dua Buku Puisi
Hari Puisi Sedunia, Kisah Farah Via Rahmawati Penulis Berbakat Balikpapan Luncurkan Dua Buku Puisi
Penulis: Heriani AM |
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Hari Puisi Sedunia, simak kisah Farah Via Rahmawati penulis berbakat Balikpapan luncurkan dua buku puisi.
Tuan dan Nona Puisi, selamat mengulang hari.
Aku bersuka cita setiap hari, semoga kamu berkali-kali.
Kita adalah matahari.
Mendamba pusat rotasi, oleh para pemilik afeksi.
Hari Puisi Sedunia diperingati pada 21 Maret melalui resolusi UNESCO pada tahun 1999.
Tujuan perayaan ini adalah untuk mempromosikan pembacaan, penulisan, penerbitan, dan pengajaran puisi di seluruh dunia dan, seperti yang dinyatakan dalam deklarasi UNESCO, untuk "memberikan pengakuan dan dorongan baru bagi gerakan puisi nasional, regional, dan internasional".
Hari Puisi Sedunia umumnya dirayakan pada bulan Oktober, dan pada akhir abad ke-20 komunitas dunia merayakannya pada tanggal 15 Oktober, hari lahir Virgil, penyair wiracarita Romawi era Augustus.
Tradisi merayakan hari puisi nasional atau internasional pada bulan Oktober masih diterapkan di banyak negara.
Puisi bukan sekadar kata-kata. Ia memiliki sejuta makna dan interpretasi, bagi pencipta maupun penikmat. Terlebih bagi si pemilik perasaan. Tentang cinta, patah hati, frustrasi, kritik sosial, dll.
Di Balikpapan, ada penulis berbakat yang sudah meluncurkan dua buku, Rentang Waktu dan Jurnal Semusim.
Adalah Farah Via Rahmawati. Oleh followers di akun resminya @baitsemusim, ia disapa Kak Bee. Ia adalah kekasih puisi, prosa, motivasi, maupun cerita, sejak ia muda.
"Tertarik menulis sejak sekolah. Aku memang se-jatuh cinta dengan buku sejak SD. Entah kenapa, ada satu buku ada yang tertarik. Khalil Gibran. Lama-lama ketemu Aan Mansyur, hingga Sapardi Joko Damono," jawab Farah Via Rahmawati.
Tak melulu soal asmara. Sosial politik, kritik pemerintah, oligarki, hingga kehidupan mainstream membuatnya makin terkena pelet penyair kawakan itu.
Selain pemilihan diksi dan rima yang apik. Membuatnya punya bekal untuk menulis.
Kata-kata yang ribut berseliweran di kepala Farah, akhirnya dituangkan melalui tulisan.
Mulanya lewat buku harian. Pada 2016, ia menyasar Blog. Di sana, tulisannya mulai ramai dibaca. Farah Via Rahmawati mengisi Blog-nya dengan puisi dan prosa. Alasannya, menulis puisi dan prosa dapat menghilangkan kecemasannya.
Tahun berikutnya, Farah Via Rahmawati mulai menjajaki media sosial. Pilihannya jatuh pada instagram, yang digandrungi kala itu.
Adalah cikal bakal lahirnya @baitsemusim. Menyempurnakan hobi desainnya, dimana aplikasi itu mendukung fitur membagi gambar.
"Kala itu aku insecure. Karyaku masih receh, di instagram dan blog. Alhamdulillah, dapat tawaran dari penerbit major. Awalnya sangsi, tapi akhirnya percaya diri," syukurnya.
Buku pertamanya, berisi 200 halaman. Cetak pertama 400 eksemplar. "Isi buku lebih ke motivasi, self improvement," terusnya.
Karya pertama yang dibukukan itu mengantarkan namanya semakin dikenal. Mulai merintis official account dari puluhan followers.
Sekarang sudah mengumpulkan 348 ribu pengikut militan. Tak hanya lokal Balikpapan, goresan tangannya disukai pasar nasional hingga Malaysia.
Farah Via Rahmawati saat ini juga sedang mengerjakan proyek buku ketiga. Temanya sama dengan buku pertama, lewat penerbit. Sedang buku kedua, adalah kumpulan puisi-puisi terbitan pribadi.
"Target, punya keinginan minimal 5 buku dalam 5 tahun. Tapi 2020 sempat vakum karena pandemi dll. Penerbit juga khawatir menyasar Gramedia karena penjualan yang turun," tukasnya.
Terinspirasi dari Pengalaman Pribadi
Perempuan kelahiran 9 Februari ini banyak mendapat inspirasi menulis dari pengalaman pribadi, curhatan teman, bahkan followers. Untuk tetap bertahan, ia menulis mengikuti selera pasar.
Memiliki banyak penggemar, diakui Farah Via Rahmawati hanya sekian persen dari Balikpapan. Perkembangan sastra puisi di Balikpapan, nilainya, tidak se-masif pulau Jawa.
Hal ini dipengaruhi oleh minat baca yang rendah di kota Minyak.
"Pegiat karya sastra puisi sebenarnya minim di Balikpapan. Kebanyakan mereka self publishing," ungkap Farah Via Rahmawati.
Penggerak literasi, akunya lagi, memang kerap menggelar malam puisi. Namun tokohnya itu-itu saja. Kebanyakan malahan sudah tak muda lagi. Untuk regenerasi, belum ada penggiat khusus.
"Bagi milenial, mereka tunggu ke trigger dulu, patah hati, jatuh cinta dulu. Baru mereka akan tertarik dengan kata-kata yang related sama mereka," sebut Farah Via Rahmawati.
Perjalanan karir menulis Farah Via Rahmawati, lanjutnya, tak melulu semulus dinding baru diamplas. Tak jarang ia mengalami krisis ide.
Ditambah permasalahan kehidupan pribadi yang ikut ambil andil. Mood menulis menurutnya, harus dirangsang.
"Buntu ide, pasti. Aku ngopi untuk merangsang dan baca buku lagi. Selain malam hari, tiap habis ngopi biasanya ramai di kepala. Langsung kutuang ke Twitter," jelasnya.
Di Twitter, segalanya bisa ditulis dengan cepat. Apalagi ketika ia mendapat ilham di luar rumah. Namun saat di rumah, lebih khusyuk jika ia bercinta dengan pena dan buku.
Jadi meski zaman telah terdigitalisasi, lembaran buku yang mengeluarkan aroma khas atau bibliosmia, akan tetap menemukan penikmatnya
"Orang yang benar mencintai buku, akan paham. Feel- nya beda, berpengaruh pada vibes membaca. Tangan yang membalik lembar demi lembar, atmosfirnya beda jika membuka lewat buku digital. Lebih klimaks," tandasnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/farah-via-rahmawati_1.jpg)