Berita Balikpapan Terkini
Raih Omzet Ratusan Juta Rupiah, Bisnis Tempe di Balikpapan Jadi Sarana Kebebasan Finansial
Mampu hasilkan juta rupiah setiap hari, bisnis tempe ciptakan peluang kerja dan kebebasan finansial.
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN- Mampu hasilkan juta rupiah setiap hari, bisnis tempe ciptakan peluang kerja dan kebebasan finansial.
Kata tempe berasal dari bahasa Jawa kuno yaitu Tumpi yang berarti makanan yang berwarna putih. Dikembangkan pertama kali di Jawa sebelum abad ke-16, tempe sendiri merupakan panganan fermentasi dari kedelai hitam.
Saat ini, tempe begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia hingga memiliki banyak variasi mulai dari tempe Jogja, tempe Banyumas, tempe Malang, hingga tempe Pekalongan, Senin (10/5/21).
Baca Juga: Memulai Bisnis di Usia 47 Tahun, Ferry Hendra Tuai Sukses Karena Hobi Anak
Di Balikpapan sendiri, terdapat satu rumah produksi tempe yang bisa menjual hingga ribuan batang tempe setiap hari dan menjadi lahan kerja bagi sebagian masyarakat di daerah tersebut.
Musthafa Kamil Jaza adalah pria dibalik Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ini.
Memulai bisnisnya sejak tahun 2006 lalu, pria yang awalnya memiliki rumah makan yang kemudian gulung tikar tersebut, kini memiliki 12 orang karyawan dan dapat menghasilkan ribuan batang tempe dalam satu kali produksi.
Pria asal Sukabumi ini pertama kali memulai bisnisnya di Babulu, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.
Dari hanya memproduksi beberapa batang tempe setiap hari, bisnis tersebut berkembang hingga ia mampu menggunakan 80 kilogram kedelai dalam satu kali produksi.
"Sebelumnya semua proses saya tangani sendiri, mulai dari produksi hingga berjualan keliling dengan menggunakan motor," kenang Musthafa.
Melihat peluang besar di bidang kuliner ini, ia akhirnya memutuskan untuk pindah dan melakukan ekspansi bisnis ke Balikpapan.
Memulai bisnis tempe dari angka 50 kilogram kedelai setiap produksi, Musthafa kini mampu mempertahankan produksinya di angka 400 kilogram kedelai setiap hari.
Baca Juga: Kisah Penghobi Koleksi Action Figure Asal Balikpapan, Dibisniskan Hasilnya Jutaan Rupiah
"Awalnya dengan kebutuhan produksi yang terus meningkat, saya sedikit kesulitan menemukan produsen kedelai," lanjutnya.
Hingga akhirnya ia pun menemukan solusi dengan bergabung dan menjadi anggota dari Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (KOPTI) pada tahun 2017.
Keputusannya tersebut dianggap tepat, karena Musthafa sendiri mengaku melalui koperasi tersebut ia bisa mendapatkan jatah 2 ton kedelai setiap 5 hari sekali dengan harga yang lebih menguntungkan.
Musthafa melanjutkan, dari 400 kilogram kedelai tersebut dirinya mampu memproduksi 1600 batang tempe yang dipasarkan di beberapa wilayah seperti Pasar Subuh Samboja, Pasar Sepinggan, Manggar, pasar Teritip, jalan Soekarno Hatta, Kampung Timur, hingga pasar Klandasan.
Dengan kemampuan menghasilkan ribuan batang tempe setiap kali produksi, pria tersebut mengatakan jika dirinya mampu meraih omzet hingga 6 juta rupiah setiap hari.
"Masih banyak orang yang menganggap bahwa tempe merupakan makanan kelas bawah, tapi sesungguhnya bisnis tempe merupakan salah satu bisnis dengan peluang keuntungan besar, mengingat proses pembuatannya yang sederhana dan tidak membutuhkan banyak biaya," terangnya.
Kendati sederhana, Musthafa mengatakan jika proses pembuatan tempe membutuhkan waktu yang cukup lama.
Mulai dari proses perendaman yang memakan waktu 6 jam, perebusan 10 jam, pengelupasan kulit ari, pendinginan, pengemasan hingga fermentasi, tempe tersebut baru dapat dipasarkan setelah 4 hari.
"Proses perebusan pun harus hati-hati, karena jika terlalu matang, tempe akan cepat basi atau jika kurang matang, tempe akan panas dan mempengaruhi tekstur serta rasa," ujarnya.
Terkait pandemi covid-19, Musthafa mengatakan jika bisnisnya pun turut terkena imbas. Menurutnya selama pandemi, bisnis ini mengalami penurunan dan merosot hingga 30%.
Selain pandemi, ia juga menerangkan jika omzetnya terjun bebas selama beberapa bulan terakhir dikarenakan harga kedelai melonjak hingga 10.500 rupiah per kilo dari yang sebelumnya hanya 7000 rupiah per kilo.
Berdasarkan keterangannya, hal ini disebabkan oleh badai yang mengakibatkan kondisi gagal panen di Amerika, tempat asal kedelai tersebut diimpor.
Musthafa melanjutkan, jika kemungkinan besar harga bahan baku tersebut baru akan normal pada pertengahan Juni atau Juli tahun ini.
Lebih lanjut, ia pun menerangkan jika penjualannya selama bulan Ramadhan ini justru mengalami penurunan.
Baca Juga: Kobarkan Semangat Kartini, ShopeePay Ajak Perempuan Maju Raih Kesuksesan Bisnis dengan Melek Digital
"Tempe sendiri bukan makanan yang umumnya dikonsumsi saat berbuka atau sahur seperti daging sapi atau daging ayam. Sehingga permintaan cenderung menurun selama bulan Ramadhan dan baru akan normal H+3 lebaran nanti," jelasnya.
Ditanya terkait dengan optimismenya terhadap bisnis tempe dan UMKM, pria tersebut yakin jika bisnis di bidang kuliner akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya populasi masyarakat.
"Namun hal ini harus dibarengi dengan dukungan pemerintah terhadap bisnis skala UMKM seperti ini. Sebagai contoh, masih banyak masyarakat takut untuk mengonsumsi tempe dan tahu, mengingat banyak oknum yang memproduksinya tanpa mempertimbangkan aspek kebersihan," ungkapnya.
Menurut Musthafa, hal seperti inilah yang harus menjadi perhatian bersama, di mana ia mengatakan bisnis yang belum mampu menjamin kualitas konsumsi sebaiknya dibina dan bukan ditutup atau dihentikan produksinya.
"Berkenaan dengan hal ini, jaminan sertifikasi halal dan layak konsumsi juga perlu digalakkan sehingga kualitas terjamin dan harga pun bersaing. Saya pribadi optimis jika UMKM ke depan mampu merambah hingga ke level internasional dan bisa menjadi salah satu penopang ekonomi negara," pungkasnya.
Keyakinannya ini pun ia tuangkan melalui merek dagang yang ia pilih untuk komoditas tersebut. Mengambil nama Tempe H.B yang merupakan akronim dari Harapan Bangsa, Musthafa optimis bisnis tempe tersebut dapat menjadi sarana untuk mencapai kemerdekaan secara finansial. (*)